Beberapa waktu lalu selepas
isya’, saya, iin, dan ayahnya dikejutkan oleh suara anak tetangga yang sedang
menangis di balkon rumahnya. Sebetulnya bukan kali itu saja kami mendengarnya
menangis, namanya juga anak-anak. Tapi kali itu si anak menangis sampai
meraung-raung. Dan yang lebih membuat kami kaget adalah suara si mbah nya yang
berteriak “Diem! Diem!” dengan nada
membentak. Namun si anak yang belum genap 2 tahun itu malah menangis semakin
keras. Akhirnya si anak diajak masuk ke dalam rumah, sehingga suaranya tidak
terdengar lagi, mungkin sungkan juga kalau mengganggu tetangga yang lain. Kami
bertiga sama-sama speechless, lalu
ayahnya iin bilang “Kasihan...mungkin
kangen sama orang tuanya...”
Ya, si anak yang menangis
itu memang tidak tinggal bersama ayah ibunya. Ia tinggal bersama mbah putrinya
dan beberapa saudara yang lain di rumah itu. Ayah dan ibunya bekerja di jakarta
dan baru mengunjungi si anak (di jogja) setiap sabtu pagi, lalu minggu sorenya sudah
kembali lagi ke jakarta.
Suatu hari saya pernah
bertanya pada si mbah putri “Wah apa
nggak capek bu kalau (bapak ibunya si anak) harus bolak balik seperti itu
setiap minggu?” Lalu beliau menjawab “Iya,
saya sudah bilang sama ibunya ke sininya sebulan sekali saja, biar nggak capek..”
Lah??! Sebulan sekali?? Ditinggal seminggu saja si anak sering menangis begitu,
apalagi ditinggal sebulan?
Saya menghela nafas
dalam-dalam. Cerita seperti ini sungguh tidak asing bagi saya, mungkin juga bagi
Anda. Ayah dan ibu sama-sama bekerja, sehingga si anak yang masih kecil
dititipkan pada kakek/nenek/baby sitter/daycare/pembantu/dll. Malah seorang
teman yang juga membantu di sebuah daycare pernah bercerita ada seorang ibu
hamil datang ke daycare itu, melihat-lihat, kemudian dengan yakin berkata “Pokoknya nanti anakku tak titipkan sini
yaa..” Weleh weleh...belum juga lahir, sudah mau dititipin? Dan ternyata
fenomena seperti ini tak hanya terjadi di keluarga dengan ekonomi menengah ke
atas yang punya uang untuk menyewa baby sitter atau daycare, tapi juga keluarga
ekonomi menengah ke bawah. Tetangga saya yang agak jauh pun menitipkan anaknya
yang balita ke mbahnya, sebab si suami jualan di pasar X sementara si istri
jualan di pasar Y.
Memang, setiap orang tua
yang menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain punya alasannya masing-masing,
mulai dari alasan membantu perekonomian keluarga sehingga keduanya sama-sama
bekerja, atau ibu ikut bekerja di luar rumah sebab sudah sekolah tinggi-tinggi
masa’ ijazah dan ilmunya nggak dipakai, alasan agar bisa berkarya dan bermanfaat
untuk orang lain, serta alasan-alasan lainnya. Dan suami atau ayah sebagai
pemimpin di keluarga pun merelakannya, hingga kompak untuk menitipkan anak yang
masih balita atau bahkan bayi ke pihak ketiga.
Mungkin ada yang berpendapat
Kan nggak masalah kami menitipkan anak ke
kakek dan neneknya yang masih keluarga kandung... Kan kami menitipkannya ke
baby sitter yang profesional... Kan sebelum dititipkan di daycare x kami sudah
cek dulu keamanan kebersihan dll nya...
Monggo
monggo saja bapak ibu...hanya,
ada hal mendasar yang harus disadari oleh setiap orang tua, terutama yang
menitipkan anak ke pihak ketiga.
Dalam sebuah seminar yang
videonya saya dapatkan dari youtube, Bu Elly Risman (psikolog dan pakar
parenting) berkata “Bukankah setiap sperma bertemu dengan sel telur, kita jadi baby
sitternya Allah? Lalu kenapa sub kontrakkan anak ke tangan orang lain?”
Yap, ketika sprema bertemu
dengan sel telur dan lahirlah seorang anak, sesungguhnya Allah menitipkan anak
itu pada orang tuanya, bukan pada kakek, nenek, eyang, si mbah, om, tante, daycare,
baby sitter, asisten rumah tangga, dll. Tapi pada AYAH DAN IBUNYA!
Allah meminta orang tua
menjaga, merawat, dan mendidik titipanNya dengan baik, bukan sekedar memberi makan,
pakaian, mainan, sekolah atau rumah.
Anak pun sesungguhnya
membutuhkan kehadiran lahir batin, perhatian, sentuhan, kasih sayang, kata-kata
yang baik dan didikan dari orang tuanya. Bukan dari ayah saja, bukan dari ibu
saja, bukan dari kakek nenek daycare baby sitter dll, namun dari keduanya, dari
AYAH DAN IBUnya. Sungguh, kehadiran fisik dan hati dari ayah dan ibu akan
sangat sangat memberi arti bagi kehidupan seorang anak hingga akhir hayatnya.
Lebih-lebih anak-anak usia bayi dan balita.
Rasulullah SAW membagi
fase umur setiap manusia dalam ruang lingkup parenting dan pendidikan menjadi 3,
yakni fase 7 tahun pertama, 7 tahun kedua, dan 7 tahun ketiga. Fase 7 tahun
pertama adalah pondasi untuk 7 tahun kedua dan 7 tahun ketiga. Bila orang tua
berhasil membesarkan, mendidik dengan tepat, serta menjalin hubungan yang baik
dengan anak di fase 7 tahun pertama (golden
age), ini akan menjadi bekal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, serta memudahkan
hubungan orang tua dengan anak di fase-fase berikitnya. Dan fase itu tak bisa
kita ulang atau putar kembali!
Karena itu, masih di video
yang sama, bu Elly berpesan pada para suami agar berkata pada istrinya “Tinggal di rumah, kamu asuh anak kita, hidup
qona’ah (sederhana), bukan kantor dan uangku yang mencukupkan kita, tapi Allah
yang mencukupkan kita”. Dan berpesan pada para istri “Kurangi sedikit kegiatan kalau punya anak lagi (usia) tanggung di
rumah. Nanti pinterin anak orang, anak sendiri kedodoran”. Saya sepakat,
memang salah satu dari ayah atau ibu harus di rumah untuk mengasuh anak, terutama
yang masih di fase 7 tahun pertama. Di rumah pun tak berarti tidak bisa
mendapat penghasilan dan menambah ilmu, kan? Apalagi sekarang internet dan
teknologi dapat sangat membantu untuk itu.
Satu lagi, menjadi orang
tua adalah pekerjaan yang amat sangat sangat berat, sehingga butuh ILMU yang
cukup dan energi lahir batin yang besar untuk menjalaninya. Tak bisa sekedar
mengandalkan bekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik kita, sebab cara
itu belum tentu tepat. Zaman berubah dan tantangan mendidik anak terus
bertambah. Ilmu dan energi lahir batin itu juga harus dimiliki oleh siapapun
pihak ketiga yang mengasuh anak kita. Tak heran bila si mbah di awal cerita
saya tadi membentak cucunya. Saya yakin bukan karena tidak sayang. Tapi apalah
daya, fisik si mbah/eyang/kakek/nenek memang tidak didesain untuk mengurus anak
kecil.
Cukup banyak artikel
tentang hal-hal apa yang harus dilakukan oleh orang tua sebelum menitipkan
anaknya pada kakek nenek, baby sitter, daycare, dll. Anda bisa mencari dan
membacanya. Saya hanya ingin mengajak setiap orang tua yang menitipkan anaknya
pada pihak ketiga untuk bertanya pada hati nurani masing-masing dan menjawab dengan
jujur “Mengapa saya sub kontrakkan anak ke tangan orang lain? Jawaban apa yang
akan saya beri ketika kelak Allah mempertanyakannya?”. Bila sudah siap
dengan jawabannya, silahkan tentukan langkah selanjutanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar