Senin, 18 November 2019

BELAJAR PARENTING DARI TEJO DAN TOTO


Suatu hari saya dibuat ter-hahahihi sekaligus terinspirasi oleh pemaparan dari budayawan Sujiwo Tejo dalam talkshow ILC bertema “Apa dan siapa yang radikal?” terutama pernyataannya tentang pancasila. Pernyataannya itu ia tujukan untuk menanggapi pernyataan narasumber sebelumnya yakni Irfan Idris Direktur Deradikalisasi BNPT yang mengatakan “Boleh pakai cadar yang penting jangan anti pancasila” .

Sujiwo Tejo berkata “...Pertanyaan saya sekarang, pancasila itu ada nggak sih? Bagi saya nggak ada pak, jujur, yang ada gambar garuda pancasila ada, teks pancasila ada, tapi pancasila itu nggak ada. Siapa yang mau anti terhadap sesuatu yang nggak ada??? Kalau pancasila itu ada, air kita nggak beli, lapangan kerja gampang, perusahaan-perusahaan saldonya nol, karena nggak mengejar keuntungan. Harta tidak ditulis harta, tapi titipan Tuhan.... Itu baru pancasila....Jadi definisi radikal jangan yang anti pancasila pak, anti sesuatu yang ada gitu lho pak.... Pancasila nggak ada menurut saya. Kalau ada, masak iuran kesehatan masyarakat sampai kejet-kejet karena diancam nggak boleh memperpanjang SIM, nggak boleh memperpanjang paspor....”

Tak hanya dibuat tertawa karena gaya pemaparannya yang jenaka dan sungguh sangat benar adanya, tetapi saya juga jadi terinspirasi, sebab menurut hemat saya, tak banyak yang mampu berpikir kritis terhadap sesuatu dan berani mengutarakannya apalagi di depan banyak orang.

Mengapa demikian?

Sebab berpikir kritis dan berani menyuarakannya adalah keterampilan yang penting untuk dimiliki dalam hidup namun tak bisa ujug-ujug ada pada diri seseorang. Keduanya harus dipupuk dan ditempa sejak dini.

Caranya?

Nah ayah bunda yang baik, tentang caranya, izinkan saya berbagi salah satu bab dalam buku cerita terkenal asal negeri sakura yang terinspirasi dari kisah nyata berjudul Toto-chan karangan Tetsuko Kuroyanagi. Salah satu bab itu berjudul “Lalu... uh...”.

Toto-chan adalah seorang anak perempuan usia sekolah dasar kelas 1 yang bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dengan sistem belajar mengajar yang sangat unik. Salah satu kebiasaan di sekolah itu ketika jam istirahat ialah semua murid akan berkumpul di aula, lalu duduk membentuk satu lingkaran besar, kemudian menyanyikan lagu “Yuk kunyah baik-baik semua makananmu” bersama-sama, setelah itu barulah mereka makan bekal mereka masing-masing.

Suatu hari ketika jam istirahat dan anak-anak sedang memakan bekal mereka, Mr. Kobayasi sang kepala sekolah berkata pada mereka “Kurasa kita semua harus belajar berbicara lebih baik. Bagaimana menurut kalian? Mulai sekarang, sementara makan siang, kita akan meminta seseorang bergantian dengan yang lain berdiri di tengah lingkaran dan menceritakan sesuatu kepada kita...

Ada anak yang merasa tak pandai bicara, tapi senang mendengarkan anak lain berbicara di depan. Ada pula yang senang bisa menceritakan sesuatu yang mereka ketahui kepada orang lain.

Lalu kepala sekolah melanjutkan “Kalian tak perlu merasa harus jadi pembicara yang baik. Kalian boleh berbicara tentang apa saja. Kalian boleh berbicara tentang apa yang ingin kalian lakukan. Apa saja. Tapi yang penting, mari kita coba dulu.”

Anak-anak segera mendapati bahwa tidak seperti mengobrol dengan dua-tiga kawan sambil makan siang, berdiri di depan seisi sekolah membutuhkan keberanian dan ternyata cukup sulit. Meski demikian kegiatan baru itu berjalan lancar, sampai pada suatu hari anak yang mendapat giliran maju menolak keras-keras “Aku tak punya sesuatu untuk diceritakan!” katanya. Kepala sekolah pun mendekati meja anak itu.

Jadi...kau tak punya sesuatu untuk diceritakan?” tanya kepala sekolah.

Ya” jawab anak itu singkat.

Kepala sekolah tertawa terbahak-bahak, tak peduli giginya sudah ompong.

Ayo kita coba cari sesuatu untuk kau ceritakan

Mencari sesuatu untuk kuceritakan????”

Coba kau ingat-ingat apa yang kau lakukan tadi pagi setelah bangun dan sebelum berangkat ke sekolah. Apa yang mula-mula kau lakukan?”

Hmmm....” anak itu memulai, lalu berhenti dan menggaruk-garuk kepalanya.

Bagus! Kau bilang ‘hmmm...’, jadi kau pasti punya sesuatu untuk dikatakan. Apa yang kau lakukan setelah ‘hmmm’?”

Hmm...uh...aku bangun tidur,” katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya lebih keras.

Toto-chan dan anak-anak lain merasa geli tapi tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.

Anak itu melanjutkan “Lalu...uh...” dia menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kepala sekolah duduk dan menunggu dengan sabar, memperhatikan anak itu. Wajahnya kepala sekolah tersenyum, tangannya tertumpang di meja, kemudian dia berkata “Bagus sekali! Itu sudah cukup. Kau bangun tidur tadi pagi. Kau telah membuat semua yang ada di sini mengerti itu. Kau tidak harus pandai melucu atau membuat orang tertawa untuk menjadi pembicara yang baik. Yang penting, kau tadi bilang tak punya sesuatu untuk diceritakan, tapi nyatanya kau punya sesuatu untuk bisa kau ceritakan.”

Tapi rupanya anak laki-laki itu tidak segera duduk. Dia malah berkata dengan suara sangat keras “Lalu...uuuh...

Semua anak mencondongkan badan ke depan. Anak laki-laki itu menarik napas panjang lalu melanjutkan “Lalu...uh...mama...uh...berkata...’gosok gigimu’...uh...lalu aku gosok gigiku

Kepala sekolah bertepuk tangan. Semua ikut bertepuk tangan. Mendengar tepuk tangan itu, anak laki-laki itu melanjutkan, dengan suara yang semakin keras “Lalu...uh...

Anak-anak berhanti bertepuk tangan. Mereka menyimak sambil menahan nafas. Tubuh mereka semakin condong ke depan. Akhirnya anak laki-laki itu berkata dengan nada penuh kemenangan “Lalu...uh...aku sampai di sekolah!!!

Salah satu anak dari kelas yang tinggi mencondongkan tubuhnya terlalu ke depan sampai-sampai kehilangan keseimbangan. Mukanya pun terantuk kotak bekalnya. Tapi semua senang sekali karena anak laki-laki itu berhasil menemukan sesuatu untuk diceritakan.

Kepala sekolah bertepuk tangan dengan penuh semangat, begitu pula Toto-chan dan anak-anak lain. Bahkan anak laki-laki “Lalu...uh...” yang masih berdiri di tengah mereka, ikut bertepuk tangan. Bunyi tepuk tangan riuh memenuhi aula. Sampai dewasa, anak itu mungkin tak akan pernah melupakan suara tepuk tangan itu.

Saya pun ikut bertepuk tangan dengan mata berkaca-kaca ketika membaca bab ini hehehe....

Nah ayah bunda yang baik, pada kenyataannya, berpikir dan mengutarakan apa yang kita pikirkan itu di hadapan banyak orang memang tidak mudah. Tak semua kita mampu melakukannya. Apalagi bila hal ini tak pernah dilatih, sejak dini, terutama di rumah.

Barangkali ayah terlalu sibuk mencari nafkah, pulang sudah dalam keadaan lelah, lalu di rumah masih asyik ber-gadget dengan kuota murah meriah, sementara ibu sibuk mengurus setumpuk pekerjaan rumah (dan pekerjaan kantor juga barangkali). Tidak ada yang bertanya pada anak-anak sehingga memancing mereka untuk berpikir dan berbicara. Kalaupun ada yang disampaikan kepada mereka biasanya hanyalah kalimat-kalimat satu arah saja.

Padahal mungkin saja paling tidak sekali dalam hidup ini kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus menyampaikan pendapat kita di depan banyak orang.

Jadi ayah bunda yang baik, yuk mulai kita biasakan di rumah untuk melakukan apa yang dilakukan Mr. Kobayashi kepala sekolah Tomoe Gakuen kepada anak laki-laki “Lalu...uh...” tersebut, yaitu memberikan kesempatan pada anak-anak kita untuk bercerita tentang apa saja pada kita, memancing kata-kata untuk bisa mereka keluarkan dengan memberikan pertanyaan, dan menghargai betul bahkan setiap bunyi yang keluar dari lisan, serta tak lupa mengapresiasinya sesederhana apapun cerita mereka. Sehingga kelak bila situasi itu datang, mereka mampu berpikir tajam dan menyampaikan pemikiran mereka di hadapan banyak orang dengan penuh keberanian.

Semoga bermanfaat.