Jumat, 26 Juni 2020

OBROLAN TENTANG TUHAN


Suatu kali saat sedang makan malam, tiba-tiba anak saya berkata “Alloh itu jahat ya bun.”

Apa???! Sendok dengan nasi hangat dan lauk yang sudah tepat di depan mulut saya, urung saya suapkan.

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Soalnya Alloh ngasih virus corona. Gara-gara virus corona, banyak orang yang sakit, banyak orang yang meninggal. Berarti Alloh jahat kan?”

Hemm...ini serius. Maka makan malam saya, saya tunda dulu.

“Nak, Alloh itu Maha Baik. Dan semua yang Alloh berikan pada kita pasti baik. SE-MU-A.”

“Lha virus corona itu?”

“Itu juga baik.”

“Apa baiknya?”

“Lewat virus corona, sebetulnya Alloh mau ngajarin kita, supaya kita jadi manusia yang lebih baik. Coba kamu ingat-ingat, dulu kita malas cuci tangan. Kadang makan aja kita nggak cuci tangan dulu. Padahal cuci tangan itu untuk kebaikan kita sendiri, biar kita sehat. Nah, sejak Alloh kasih virus corona, kita semua jadi rajin cuci tangan kan? Mau apa-apa cuci tangan dulu. Mau masuk toko, cuci tangan. Habis pegang uang, cuci tangan. Habis main di luar, pulang langsung cuci tangan.”

“Dulu, kalau naik motor, kamu nggak pernah mau pakai masker. Kamu bilang pengap, nggak bisa nafas. Padahal manfaatnya untuk kamu sendiri. Supaya kamu nggak menghirup asap motor, asap mobil, debu. Nah sekarang, ke mana-mana kamu jadi selalu pakai masker. Mungkin awalnya memang terpaksa, pengap, agak susah nafas, tapi lama-lama terbiasa juga. Malah waktu kemarin kamu beli masker gambar frozen, di rumah pun kamu pakai itu maskernya.”

“Ooooo..iya ya....” ia tampak sedang berpikir. Kesempatan. Saya pun menyendok lagi nasi saya. Belum sempat masuk ke mulut, ternyata ia bertanya lagi.

“Lha orang-orang yang sakit karena corona itu, kan kasihan bun. Apa itu artinya Alloh baik?”

Saya letakkan kembali sendok saya.

“Iya, Alloh baik nak. Kalau kita bisa sabar menerima sakit, maka Alloh akan gugurkan dosa-dosa kita. Satu lagi, kamu ingat nggak, dulu waktu PAUD kamu pernah kena diare sampai lemes banget?”

“Ingat...”

“Gimana rasanya?”

“Nggak enak...”

“Jadi, enak sakit atau sehat?”

“Ya sehat lah, bun.”

“Mau sakit lagi?”

“Nggak mau...nggak mau...nggak mau...”

“Nah, lewat sakit, Alloh ngajarin kita betapa enak sekali sehat itu. Sehingga kita akan terus berusaha supaya sehat. Mandi yang bersih, cuci tangan yang bersih, makan sayur, makan buah, berjemur pagi-pagi, daaaan lain-lain.”

“Ooooo....” Dia terdiam lagi sejenak. Tampak sedang mencerna kata-kata saya. Oke, satu suap dulu, pikir saya. Ternyata ia bertanya lagi..

“Lha kalau yang meninggal karena corona itu? Kenapa Alloh membuat orang-orang itu meninggal?”

“Kalau meninggal itu namanya takdir. Sudah Alloh tetapkan. Kita semua ini suatu hari pasti meninggal. Ayah, bunda, kamu, semuanya pasti akan akan meninggal. Yang hidup terus cuma Alloh. Ada yang meninggal karena sakit. Ada yang karena kecelakaan. Ada yang nggak sakit, nggak kecelakaan, lalu meninggal. Macam-macam. Nah, kapan waktunya kita meninggal dan apa penyebabnya, cuma Alloh yang tau. Yang penting kita harus berusaha berbuat baik terus, supaya pas meninggal pas sedang berbuat baik”.

“Oooooooo...gitu.....”

“Jadi, kesimpulannya, Alloh itu baik atau jahat, nak?”

“Baik”

“Maha Baik. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?”

“Nggak...nggak ada.”

Alhamdulillaaaaaah...akhirnya saya bisa makaaaaaaan, seru saya dalam hati.

Tapi makan malam kali itu membuat saya berpikir. Rasanya obrolan-obrolan semacam itu perlu sering-sering dilakukan. Agar anak-anak tahu dan kenal Tuhan nya. Sebab, bak kata pepatah, tak kenal maka kenalan. Eh, maksud saya, tak kenal maka tak sayang.

Jadi, dari mana anak-anak kita akan sayang Tuhan nya bila mereka tak kenal seperti apa Dia. Dan dari mana anak-anak akan patuh pada perintah Tuhan nya, bila dalam hati mereka tak ada rasa sayang pada Pencipta nya. Salah satunya adalah dari obrolan-obrolan kita dengan mereka tentang Tuhan.

-Self reminder-
Semoga bermanfaat.

Jumat, 12 Juni 2020

SILENT-TALK


Beberapa waktu lalu saya terlibat dalam sebuah rapat yang agak lucu. Mengapa “agak” lucu? Sebab, rapat itu sebenarnya bukan rapat untuk membahas komedi, melainkan membahas keamanan komplek perumahan setelah salah satu rumahnya kemasukan maling.

Nah, yang membuatnya lucu ialah proses dan peserta rapatnya. Bagaimana tidak, belum satu peserta selesai mengutarakan pendapatnya, sudah dipotong oleh peserta lainnya. Si peserta yang memotong ini belum selesai bicara, sudah dipotong juga oleh peserta yang lain lagi. Begituuuuuuu terus. Sampai-sampai ada momen di mana dua peserta yang duduk bersebelahan berbicara bersamaan kepada forum, padahal yang mereka bicarakan berbeda. Peserta rapat yang lainnya pun melongo. Lah, ini rapat atau paduan suara sebetulnya???

Alhasil pendapat para peserta tidak bisa tersampaikan dengan tuntas dan dimengerti secara utuh. Dan malah membawa kerugian bagi semua peserta, sebab rapat menjadi lama dan muter-muter di tempat.

Hemm...kejadian agak lucu ini menjadi bahan renungan bagi saya. Mungkin semua orang bisa bicara, namun ternyata tak semuanya bisa mendengarkan (menyimak) dengan baik. Padahal Tuhan memberi kita hanya satu mulut, tetapi mata dan telinga masing-masing diberi Nya dua. Berarti sejatinya, kita diperintahkan untuk mendengar dan melihat (menyimak/memperhatikan) dua kali lebih banyak dari pada bicara. Bukan sebaliknya. Agar apa? Agar kita dapat mengambil hikmah, memetik pelajaran, dan memahami dengan utuh apa-apa yang terjadi di sekitar kita, dan ketika tiba giliran kita untuk bicara maka kita akan dapat berbicara (menyampaikan pendapat/berkomentar) dengan tepat.

Lalu mengapa yang kerap terjadi justru sebaliknya? Semangat 45 ketika diri sendiri bicara, tetapi tak mampu bersabar mendengar saat orang lain yang bicara...

Ini karena ayah bunda yang baik, kemampuan mendengarkan dengan utuh alias menyimak ini memang tidak muncul secara tiba-tiba. Sebagaimana kemampuan bicara yang kita pelajari dan latih sejak kecil dulu, mendengarkan/menyimak ini sejatinya juga butuh dipelajari dan dilatih sejak dini.

Caranya?

Ada satu cara yang menarik untuk melatihnya. Cara ini saya dapatkan dari sebuah cerita pendek berjudul “Silent-Talk” karangan Aya Shofia dalam buku “Benih-Benih Kebaikan” terbitan Wonderful Publishing tahun 2019. Singkat cerita, Arkam yang duduk di kelas 3 SD ditegur oleh gurunya saat jam pelajaran bahasa indonesia. Penyebabnya, ia diajak ngobrol terus oleh teman sebangkunya bernama Rio. Lepas ditegur, rupanya Rio masih juga melanjutkan ceritanya pada Arkam tentang game terbaru yang berhasil ia pecahkan rekornya. Sebenarnya Arkam tak terlalu tertarik dengan cerita Rio, dan merasa tidak enak dengan gurunya, karena Rio bercerita saat guru mereka sedang menjelaskan pelajaran.


Cerpen "Slent-Talk" karangan Aya Shofia

Pulang sekolah, Arkam menceritakan kejadian itu pada ibunya. Di situlah lalu ibunya mengajarkan Arkam untuk membuat kesepakatan Silent-Talk dengan Rio. Jadi Arkam dan Rio harus membuat kesepakatan kapan waktunya mereka berdua tidak boleh bicara dan menyimak betul-betul pelajaran dari guru (silent) dan kapan mereka berdua bisa ngobrol dan saling bercerita (talk).

Nah, sejatinya konsep silent-talk ini bisa kita terapkan juga antara kita dengan anak-anak kita. Saat kita harus bicara pada anak-anak kita (talk), minta pada mereka untuk mendengarkan dulu apa yang akan kita sampaikan (silent). Sebaliknya, saat mereka sedang bicara meski masih terbata-bata (talk), giliran kita mendengarkan sampai mereka selesai mengutarakannya (silent). Jangan memotongnya, kecuali bila kita terpaksa, dengan meminta maaf terlebih dulu pada mereka.

Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya dalam dunia pengasuhan, maka cara terbaik dalam mengajarkan silent-talk ini kepada anak-anak kita adalah dengan TELADAN. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya pula dalam dunia pengasuhan, maka mengajarkan silent-talk ini adalah PROSES, butuh tekad yang bulat, usaha yang kuat, kesabaran yang berlipat, dan doa yang terus dipanjat. Namun demikian, percayalah ayah bunda sekalian, buah dari proses panjang ini akan sangat manis terasa dan menjadi bekal berharga untuk anak-anak kita menjalani kehidupannya.

-Self reminder-
Semoga bermanfaat.