Sabtu, 30 September 2017

KALAU HANYA JADI IBU, UNTUK APA SEKOLAH TINGGI-TINGGI?

Begitu kata mama saya. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang kali beliau katakan kalimat yang sama, baik ketika ketemu langsung maupun lewat telpon. Dan selalu ditutup dengan kalimat “Ayo segera lamar kerja! Ijazahmu jangan hanya disimpan! Mumpung umurmu masih bisa. Sebelum terlambat seperti mama.”

Kata-kata mama seolah menantang batin ini untuk ribut.

Kalau sekarang saya kerja di kantor atau jadi PNS seperti harapan mama, nanti iin bagaimana nasibnya? Nggak mungkin kalau saya bawa-bawa. Sementara ayahnya dari senin sampai jumat kerja dari pagi sampai sore.

Kalau harus dititipkan? Dari lubuk hati saya yang paling dalam, sejujurnya saya tak ingin iin diasuh orang lain, selain saya dan ayahnya. Memang iin sudah mulai sekolah sekarang, tapi hanya 1,5 - 2 jam saja, supaya ia bermain dengan teman-teman seusianya, belajar bersosialisai dengan orang dewasa (guru-gurunya) dalam suasana yang menyenangkan. Selebihnya iin tetap makan, mandi, main, membaca buku, mewarnai, nonton film, kejar-kejaran di dalam rumah, cuci piring, bikin kue, tidur dan gulung-gulung di kasur dengan saya dan ayahnya.

Sampai pada suatu titik bimbang, ketika pulang ke malang, saya berkata pada papa dengan nada pasrah “Aku mau lamar kerja, biar nggak sia-sia papa sama mama nyekolahin aku sampai kuliah....”

Di luar dugaan saya, papa berkata..

“Lho, papa sekolahin kamu tinggi-tinggi bukan untuk lamar kerja, nduk. Kamu memang harus sekolah tinggi SUPAYA KAMU PINTAR. Kalau kamu nggak pintar, bagaimana kamu akan mendidik anakmu?”

Deg!

Saya terdiam...

Kata-kata papa menyadarkan saya pada sebuah tanggung jawab besar yang saya miliki setelah menjadi ibu, yakni MENDIDIK anak.

Sungguh saya merasakan bahwa mendidik anak itu amat sangat tidak mudah. Mengapa?

Pertama, seperti kata Bu Elly Risman, banyak dari kita yang tidak disiapkan oleh orang tua kita untuk menjadi orang tua, termasuk saya. Banyak dari kita yang mendidik dan mengasuh anak hanya berbekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik dan mengasuh kita. Padahal cara itu belum tentu benar, dan belum tentu cocok dengan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Sehingga seringkali kita sebagai orang tua kuwalahan berhadapan dengan anak. Hingga tidak asing terdengar para orang tua mengeluh “Duhh...anak-anak zaman sekarang ini kok....”

Kedua, sebab tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, dengan kurikulum yang runtut rapi, latihan soal dan ulangan, serta penerimaan rapot untuk mengetahui sejauh mana pemahaman ilmu menjadi ayah dan ibu kita serap. Padahal untuk jadi dokter yang ahli ada sekolahnya, untuk jadi pengacara yang handal ada sekolahnya, dll. Namun tak ada sekolah untuk jadi ayah dan ibu yang ahli.

Ketiga, karena anak itu seperti selembar kertas putih. Orang tuanya lah yang punya tanggung jawab utama untuk mewarnainya. Salah mewarnai, meski hanya sedikit saja, akan terbawa hingga ia dewasa nanti.

Keempat, masing-masing orang tua punya inner child. Bila dulu ketika kecil, para orang tua tumbuh dengan bahagia, maka akan terbentuk inner child yang positiv. Ini menjadi bekal yang sangat berguna ketika membesarkan anak-anaknya. Tapi bila dulu saat masih kecil, para orang tua ini pernah mengalami kekerasan baik fisik, verbal, psikologis, maupun seksual dan mendapat pola asuh yang salah, maka akan terbentuk “anak kecil yang takut/marah/kecewa/trauma” dalam dirinya. Dan inner child yang seperti ini akan memunculkan masalah bagi orang tua ketika mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sehingga orang tua seperti ini harus segera menyelesaikan unfinished bussiness dalam dirinya dulu sebelum lebih jauh berhadapan dengan anak-anaknya.

Dengan tantangan-tantangan super berat seperti itu, maka orang tua (termasuk ibu) MEMANG HARUS PINTAR. Dan salah satu jalan untuk menjadi pintar, ialah dengan bersekolah, syukur-syukur bila bisa sampai kuliah.

Dengan bersekolah dan dinamikanya, orang tua bisa mendapat banyak ilmu dan hikmah yang kelak bisa diajarkan pada anak-anaknya. Tapi bagaimana bila ilmu yang dipelajari di kuliah tidak nyambung dengan parenting? Seperti kata seorang teman pada saya “Aku dulu kuliah di jurusan X mbak, masa mau kuajarkan ke anakku?” Tak perlu khawatir, masih bermanfaat kok.

Dengan kuliah, kita jadi terbiasa membaca buku-buku, browsing di internet, ikut seminar, menghadiri kajian, dituntut berpikir kritis, melek informasi, dan belajar memecahkan masalah. Sehingga ketika menjadi ibu, kita pun jadi terbiasa untuk terus menerus belajar, terus menerus mencari ilmu dan informasi. Tak sekedar mengandalkan naluri ataupun cara orang tua kita dulu mendidik kita.

Dengan kuliah kita terbiasa berkomunikasi, berdiskusi dan membangun hubungan dengan banyak teman atau komunitas. Ini sangat bermanfaat karena relasi-relasi itu bisa dipertahankan hingga sekarang, dan malah bisa jadi grup-grup whats app yang bisa saling bertukar banyak informasi termasuk tentang parenting serta bisa saling memotivasi.

Itu semua bisa jadi modal yang sangat bermanfaat dalam mendidik anak.

Sehingga tak akan pernah sia-sia kesempatan untuk bisa bersekolah tinggi, meski sekarang “hanya” menjadi seorang ibu rumah tangga. Tak akan sia-sia ijazah yang didapat dengan perjuangan bertahun-tahun, meski sekarang tak dipakai untuk melamar kerja. Pun tak akan sia-sia ilmu yang didapat hingga berkuliah, meski sekarang lebih banyak di rumah saja. Sebab dengan sekolah, ibu jadi pintar. Sebab IBU MEMANG HARUS PINTAR.

Mari terus belajar!
Mari terus berkarya!

Semoga bermanfaat.

Senin, 25 September 2017

JANGAN REMEHKAN ANAK YANG MENANGIS

Sebetulnya bukan pemandangan yang asing bila ada anak-anak yang menangis di sekolah tempat iin belajar. Maklumlah, mereka semua masih balita. Namun apa yang saya lihat hari itu cukup mengusik hati dan pikiran saya.

Siang itu ketika saya sampai di pintu gerbang untuk menjemput iin, terdengar suara tangisan. Rupanya seorang murid laki-laki yang sedang menangis. Ia duduk di teras kelas. Menangisnya kencang. Air matanya deras. Kelihatan sudah mulai kelelahan, namun masih saja menangis. Di sekelilingnya ada beberapa guru, orang tua murid dan murid lain yang belum dijemput. Kebanyakan dari mereka hanya melihat. Tak satu pun yang menyentuhnya.

Lalu salah satu guru mendekat untuk mengelap air matanya. Tapi guru yang sedari tadi duduk di sebelah si anak berkata dengan dialek jawa yang kurang lebih artinya “Sudah jangan dilap, biar banjir saja sekalian”. Kemudian seorang ibu lain malah berkata “Stooop! Stooop!”. Si anak masih menangis. “Tentu saja masih menangis, dia kan bukan angkot, kok di stop-stop?” pikir saya. Tak lama kemudian guru yang mengelap air matanya tadi pergi karena ada urusan di luar sekolah. Lalu guru yang duduk di sebelah si anak berkata “Nah bu guru itu mau pergi lho...kamu dipanggilin polisi lho...”. Selepas itu saya tidak tahu apa yang terjadi, sebab saya dan iin sudah harus pulang ke rumah.

Yang mengusik hati dan pikiran saya dari kejadian itu ialah bagaimana orang dewasa, baik guru maupun orang dewasa lain di sekitarnya MENGHADAPI anak yang sedang MENANGIS itu (terutama guru, sebab itu terjadi di lingkungan sekolah).

Sejatinya, menangis merupakan respon atas kondisi emosi yang sedang dialami. Menangis bisa dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa, bisa laki-laki ataupun perempuan. Terutama pada anak-anak, menangis adalah reaksi yang paling mungkin untuk mereka lakukan. Terhadap kondisi emosi apa? Macam-macam. Anak-anak dan orang dewasa bisa menangis karena sedang sedih, takut, marah atau sebal, terkejut, terharu, bahagia, dll.

Lalu mengapa menangis pada anak-anak menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh dengan berkata “ah biar saja...nanti juga berhenti sendiri...dia memang biasa menangis...” atau malah dijadikan bahan lucu-lucuan? Sebab menangis bisa menjadi PINTU bagi anak-anak untuk BELAJAR tentang EMOSI APA yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka perlu tahu MENGAPA mereka menangis dan APA yang harus dilakukan setelah menangis. Sebab ini akan menjadi BEKAL yang sangat BERHARGA bagi anak-anak bahkan hingga mereka dewasa, berumah tangga, dan kelak punya anak.

Bukankah sering kita jumpai orang-orang atau malah mungkin kita sendiri, berada dalam kondisi batin yang susah untuk diuraikan. Misalnya kita merasa kesal, kesal karena apa? Kita kesulitan menguraikan penyebabnya. Pokonya kesal atau sebel. Dan lama-lama menumpuk. Lalu stres, galau, baper, dll. Kemudian lari ke tindakan-tindakan yang kurang bermanfaat atau bahkan negativ, seperti nonton sinetron, browsing gosip, muter-muter tanpa tujuan di mall, atau bahkan bagi yang remaja memilih untuk berteman dengan komunitas yang keliru, terjerat pergaulan bebas, dan narkoba...(Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal seperti itu). Salah satu penyebabnya ialah karena tak terlatih sejak dini untuk mengenali emosi, mengelolanya, dan menyalurkannya dalam bentuk yang positiv (tidak merugikan diri sendiri dan orang lain).

Jadi bila ada anak menangis, apa yang mesti dilakukan ?
  1. Lihat kondisinya, apakah ia bisa diajak berkomunikasi atau tidak. Bila ia masih belum stabil atau mungkin sampai gulung-gulung dan meraung-raung, beri ia kesempatan untuk menangis dulu, dengan memastikan bahwa ia tetap aman (tidak melukai dirinya dan sekitarnya).
  2. Bila menangisnya sudah mulai reda, berikan SENTUHAN. Bisa dalam bentuk dipangku, diusap punggungnya, atau dipeluk. Ini sangat bermanfaat karena memberi rasa aman dan tenang baginya. Kita saja yang sudah dewasa, ketika menangis pasti merasa lebih tenang bila diusap punggungnya, dipegang tangannya atau dipeluk kan?
  3. Bila anak yang menangis sudah bisa diajak berkomunikasi, tanyakan padanya mengapa ia menangis. Bila ia belum mampu menjawab, bantulah dengan bertanya lagi apakah ia sedih atau marah atau takut dll. Lalu tanyakan lagi ia sedih atau marah atau takut pada apa atau karena apa.
  4. Selesaikan masalahnya. Jangan menggantung atau membiarkan atau mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Misalnya, bila si anak menangis karena mainannya disita sementara oleh bu guru, sebab di sekolah memang ada peraturan tidak boleh bawa mainan dari rumah, maka jelaskan pada si anak mengapa mainannya disita dan tenangkan ia bahwa mainannya pasti akan dikembalikan bila jam sekolah telah usai atau ketika ia akan pulang.

Tentu keempat hal tersebut bisa jadi sangat kondisional, artinya tergantung pada situasi dan kondisi saat kejadian. Tapi yang jelas, meremehkan anak yang menangis atau menjadikannya bahan lucu-lucuan bagi orang dewasa di sekitarnya, bukanlah tindakan yang bijak, dan akan berdampak bagi masa depannya.

Ini menjadi koreksi bagi saya pribadi.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 17 September 2017

PENTINGNYA MENGENALKAN ANAK PADA TETANGGANYA

Di jogja ini kami tinggal di sebuah perumahan, di mana sebagian besar rumahnya berpagar cukup tinggi. Tetangga kami pun bermacam-macam. Ada yang mau diajak ngobrol, ada yang ketika berpapasan sekedar memberi senyum dan anggukan kepala, tapi ada pula yang ketika bertemu pura-pura tak melihat. Yah...memang tiap orang beda-beda...

Tapi ada satu hal yang menarik perhatian dan mengusik pemikiran saya. Ceritanya, tetangga sebelah rumah kami adalah sebuah keluarga kecil dengan kondisi ekonomi sangat mampu, terdiri dari seorang bapak yang sudah pensiun, seorang ibu yang masih aktiv bekerja sebagai PNS, serta seorang anak laki-laki yang baru saja diterima kerja di sebuah BUMN di Bandung. Mereka bertiga cukup ramah pada kami. Qodarullah, ternyata si bapak didiagnosa terkena kanker, sementara si ibu dipindahtugas ke Semarang. Jadilah si ibu pindah sementara ke Semarang dan si bapak ikut dirawat di sebuah rumah sakit di sana. Agar tidak kosong, rumah mereka pun ditinggali oleh beberapa orang keponakan.

Uniknya, ketika bertemu, para keponakan yang usianya masih muda-muda ini tak pernah bertegur sapa dengan kami. Seringkali ketika berpapasan di jalan, kami sudah siap-siap untuk tersenyum dan mengangguk, namun mereka lewat saja, seolah kami tak ada di situ. Ya sudahlah...tak apa.

Hingga suatu pagi, tiba-tiba para keponakan itu mengetuk pintu rumah kami. “Tumben sekali...ada apa?” Pikir saya... Ternyata mereka mengabarkan bahwa om mereka (si bapak yang terdiagnosa kanker tersebut) meninggal dunia dan jenazahnya akan di bawa ke rumah Jogja siang itu juga. Dengan wajah yang masih syok, mereka meminta tolong kepada kami untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk proses pemandian, pengkafanan, dan pemakaman jenazah, sebab mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Pokonya kami manut saja harus bagaimana...” begitu kata salah seorang dari mereka. Singkat cerita, akhirnya kami dan beberapa tetangga yang lain ikut menolong mengurus jenazah hingga dimakamkan beserta tahlilannya. Barulah sejak kejadian itu, para keponakan itu mau menyapa kami bila bertemu.

Sejak itulah saya makin yakin betapa pentingnya punya tetangga. Sebab meski kita berduit banyak dan kaya raya sekalipun, nyatanya kita ini makhluk sosial, tak bisa hidup sendiri.

Memang, pada kenyataannya ada perbedaan interaksi antara tinggal di lingkungan kampung, tinggal di perumahan, maupun tinggal di apartemen. Di kampung dekat rumah kami, bila ada yang meninggal dunia, maka saat itu juga dan tanpa diminta, para tetangga langsung membantu dan bagi-bagi tugas hingga proses pemakaman dan tahlilan selesai. Sementara di perumahan apalagi di apartemen belum tentu yang tinggal bersebelahan saling kenal. Apalagi seiring berjalannya zaman, hidup terasa makin individualis.

Tapi sekali lagi, kita ini makhluk sosial, perlu bersosialisasi, perlu berinteraksi, perlu silaturahim, perlu saling menolong dalam kebaikan, atau bahasa agamanya adalah Habluminannas. Kepada siapa? Ya selain kepada keluarga dan kerabat, tentu juga pada orang-orang di sekitar kita, termasuk tetangga.

Dan, ada baiknya bila anak-anak (baik yang sudah besar, maupun yang masih kecil) juga dilibatkan untuk membangun hubungan dengan tetangga-tetangganya. Di perumahan tempat kami tinggal, bila ada pertemuan warga, biasanya yang hadir adalah bapak dan ibunya. Giliran bapak atau ibunya keluar kota, mereka enggan mengutus anaknya yang sudah cukup dewasa untuk mewakili. Jadilah para bapak dan ibu saling kenal, namun anak-anaknya saling cuek. Lha bagaimana bila kelak bapak dan ibunya sudah tak ada? Akan sayang sekali bila silaturahimnya terputus.

Lalu bagaimana cara membangun silaturahimnya? Mulai saja dari yang paling sederhana, seperti tersenyum dan menganggukkan kepala bila bertemu, lebih baik lagi bila sempat menyapa “Mari pak...mari bu...atau monggo pak...monggo bu...”, atau ketika memasak lebihkan porsinya lalu ketuk pintunya dan bagikan, jenguk bila ada yang sakit, ikut di pertemuan atau arisan atau pengajian warga, dll. Bila memungkinkan ajak juga anak untuk terlibat. Atau bisa juga mengajak anak kita yang masih kecil untuk main dengan anak tetangga.

Mungkin ini bukan hal yang mudah bagi yang tinggal di lingkungan perumahan maupun apartemen. Tapi, kita mulai saja dari diri kita sendiri, mulai dari hal sederhana yang bisa kita lakukan, dan mulai saat ini, mumpung masih ada waktu di dunia.

Sebagaimana pesan nabi...
"Tidak henti-hentinya Jibril berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira seseorang akan menjadi ahli waris tetangganya." (HR Bukhari no. 6014)


Semoga bermanfaat...

Senin, 11 September 2017

BELAJAR DARI PARA ORANG TUA PENCIPTA GADGET

Bangun tidur lihat HP
Mau mandi lihat HP
Habis mandi lihat HP
Mau sholat lihat HP
Habis sholat lihat HP
Mau makan lihat HP
Habis makan lihat HP
Sambil nyetir motor lihat HP

Begitu kurang lebih bunyi pesan yang saya dapat dari sebuah grup Whats App. Ya, meski hanya sebuah persegi segenggaman tangan, namun HP alias smartphone alias gadget ini memang punya pengaruh yang luar biasa. Ia mampu mengubah rutinitas, sifat, cara berpikir, hingga perilaku manusia.

Kekuatan gadget ini juga mampu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Pernah suatu hari ketika saya dan keluarga sedang makan di restoran, datanglah satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak laki-laki duduk di meja sebelah meja kami. Setelah duduk dan memesan menu, mereka mengambil gadget masing-masing dan langsung sibuk sendiri-sendiri. Ada yang menatap gadget-nya dengan tampang serius, ada pula yang sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian minuman yang mereka pesan datang. Dan mereka pun minum, MASIH sambil menatap gadget masing-masing! Tangan kiri memegang sedotan, sementara tangan kanan memegang gadget dengan jempolnya yang terus bergerak. Hampir tak terjadi obrolan di antara mereka. Padahal mereka adalah satu keluarga yang duduk berdekatan dan berhadapan dalam satu meja! Weleh...weleh...

Rupanya, gadget ini pun tak hanya akrab di tangan orang dewasa, tetapi juga anak-anak, bahkan yang masih balita. Meski masih kecil, tidak sedikit anak-anak sudah lihai mengoperasikan gadget, malah ada juga yang lebih pintar dari orang tuanya. Dari mana mereka bisa tahu caranya? Tentu dari orang terdekat yang notabene adalah orang tuanya. Selain dikenalkan dengan cara diberitahu, tak jarang orang tua masih sibuuuk saja dengan gadgetnya ketika sedang bersama  anak-anak. Ada pula orang tua yang sengaja memberikan gadget pada anaknya agar bisa duduk manis dan tidak rewel. Maka tak heran bila muncul orang-orang dan anak-anak yang kecanduan gadget, tak bisa lepas dari gadget, bahkan hidup serasa berakhir bila gadget-nya hilang atau ketinggalan.

Lantas kalau orang tua awam sudah kecanduan gadget dan mengenalkan gadget pada anak-anaknya, bahkan pada yang masih balita, bagaimana dengan para orang tua pembuat gadget dan teknologinya ini? Dalam sebuah artikel menarik di majalah Intisari edisi November 2015 bertajuk “Kontradiksi Pendidikan Ala Lembah Silikon” disebutkan bahwa...

Alan Eagle yang bekerja di bagian komunikasi eksekutif Google, yang salah satu tugasnya ialah menulis pidato untuk direktur utama Google, bercerita bahwa anak perempuannya yang duduk di kelas 5 SD belum tahu bagaimana cara menggunakan Google. Sedangkan kakaknya yang duduk di kelas 8 baru belajar memakai Google. Sementara di sini anak SD sudah terbiasa googling untuk mengerjakan tugas sekolah. Eagle pun memilih untuk menyekolahkan kedua anaknya di Waldorf, sebuah sekolah alternatif di Amerika Serikat yang minim menggunakan gadget untuk kegiatan belajar mengajar, mengajari muridnya bersosialosasi dengan orang sekitar, dan rutin mengajak murid-muridnya bermain di tanah lapang atau bercocok tanam di lahan sekolah.

Bagaimana dengan Steve Jobs pendiri Apple? Dalam bukunya berjudul “Steve Jobs”, penulis Walter Isaacson menggambarkan keseharian keluarga Jobs di rumah. Setiap malam Steve makan malam bersama dengan keluarganya di sebuah meja makan di dapur mereka. Mereka berdiskusi tentang buku-buku, sejarah, dan lain sebagainya. Tak seorang pun yang mengeluarkan iPad atau gadget lainnya. Anak-anaknya pun tampak tak kecanduan tehadap gadget.

Evan Williams (pendiri Blogger, Twitter, dan Medium) bersama istrinya Sara Williams mengganti iPad dengan ratusan buku bagi kedua anak mereka. “Mereka bisa mengambilnya dan membacanya kapan saja” kata Evan.

Ada pula Pierre Laurent, mantan manajer pemasaran Microsoft dan Intel, menjauhkan anak-anaknya dari gadget hingga mereka cukup besar dan mampu menggunakanya sesuai kebutuhan. Anak-anaknya menyukai cerita, bermain dengan segala sesuatu, bernyanyi, membuat prakarya, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, dan berada di alam.

Wow! Mereka pencipta teknologi yang sehari-hari kita genggam di tangan dan kita lihatiiiin terus, ternyata SADAR bahwa tak seharusnya teknologi mengganti hal-hal berharga dan mendasar dalam hidup kita. Apa saja itu?

Pertama, meskipun gadget semakin hari kian canggih, namun tetap saja mereka mendorong anak-anaknya untuk memiliki kemampuan dasar dalam hidup, seperti bercocok tanam dengan cara tradisional dll. Sehingga ketika gadget atau teknologi tidak ada di tangan mereka, mereka tidak lantas mati atau dunia serasa kiamat. Mereka masih bisa survive!

Kedua, meski saat ini di gadget terdapat bermacam-macam sosial media, yang mampu menghubungkan kita dengan orang-orang dimanapun, nyatanya mereka tetap mengajarkan pada anak-anak untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka secara langsung. Hal ini bisa membuat anak-anak peduli dan empati pada orang lain yang berada di sekitar mereka (bukan peduli pada orang-orang di tempat jauh yang sedang jadi viral di media sosial, namun cuek dengan orang di kanan kiri mereka).

Ketiga, meski dengan gadget canggih dan teknologi digital mereka bisa mendapat ilmu pengetahuan, ternyata mereka tetap mengajarkan dan membiasakan anak-anak mereka untuk membaca BUKU selembar demi selembar. Bagi saya pribadi, membaca buku manual dengan kertas-kertasnya tetap tak bisa tergantikan oleh buku-buku digital atau hasil pencarian google. Selain lebih aman untuk mata, saya sendiri merasa membaca buku manual membuat si pembaca menjadi lebih bijak dan sabar.

Keempat, sebagai orang yang berkecimpung di bidang teknologi dan sehari-hari bergelut dengan gadget, nyatanya para orang tua ini mampu hadir secara utuh baik fisik, pikiran, dan hati ketika sedang bersama anak-anak mereka. Meski mungkin secara kuantitas waktunya tidak banyak, namun mereka membuat waktu kebersamaan ini sangat berkualitas. Tentu hal ini sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan, dan masa depan anak-anak.

Kelima, para orang tua ini tentulah merupakan orang-orang yang update terhadap perkembangan teknologi, akan tetapi mereka tidak serta merta memberikan gadget pada anak-anak mereka begitu saja. Mereka justru memperkenalkan gadget pada saat mereka sudah yakin bahwa anak-anak mereka telah mampu menggunakannya dengan bijak. Tak seperti di sini, dimana bergadget anak orang maka harus bergadget pula anak kita, terlepas dari apakah mereka sudah mampu atau belum menggunakannya dengan bijak.


Semoga kita dapat belajar dari para orang tua pencipta gadget ini. Dan sebagai mana ilmu-ilmu parenting lainnya, bila kita ingin anak kita bijak menggunakan gadget, maka harus diawali dulu dari orang tuanya.