Catatan Pulang Kampung (Capung)
#Part 1
Sejak
dulu saya dan ibu hampir tak pernah ngobrol. Yang ada adalah pembicaraan satu
arah, dan mayoritas lebih kepada perintah untuk beres-beres rumah. Meski secara
fisik ada, namun ibu tak banyak hadir dalam peristiwa-peristiwa di hidup saya.
Saya paham, sebab mengurus empat anak bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat itu
sarana untuk belajar menjadi orang tua tidaklah sebanyak dan semudah seperti saat
ini. Namun barangkali penyebab yang paling mendasar ialah karena ibu memendam
kekecewaan yang amat sangat besar pada bapak sebab bapak meminta ibu tinggal di
rumah untuk mengurus anak-anak dan melarangnya berkarir di luar, sementara ibu
adalah seorang sarjana. Kekecewaan itulah yang sering kali ditumpahkan pada
saya dan ketiga saudara saya yang lain. Karena itulah hubungan saya dengan ibu
tidak romantis.
Sejak
tangisan iin (anak semata wayang saya) pecah ke dunia ini, saya bertekad tidak
ingin iin merasakan kesedihan, kesepian dan kehampaan akan sosok ibu seperti
yang saya rasakan. Saya tak ingin hatinya terluka karena tumpahan emosi negativ
dan kekecewaan saya pada apapun. Saya tidak ingin ia merasa diabaikan dan tidak
diterima kehadirannya di dunia ini. Saya ingin dekat lahir batin dengannya.
Saya ingin hubungan kami romantis. Saya ingin jadi sahabatnya.
Ternyata
tidak mudah...sungguh-sungguh tidak mudah mewujudkannya. Saya masih sering
menumpahkan emosi negativ saya padanya meski sebetulnya bukan karena
kesalahannya. Saya masih sering takluk pada lelahnya mengerjakan pekerjaan
rumah sehari-hari, sehingga saya pun jarang ngobrol dengannya. Lebih banyak
pembicaraan satu arah dan saya jarang bertanya padanya. Saya masih sering
menganggap sambil lalu apa-apa yang ia ceritakan. Hingga suatu hari ia berkata
“Aku
mau ganti bunda aja..”
Deg!
Saya langsung menghentikan aktvitas saya saat itu.
“Kenapa
kamu mau ganti bunda?”
“Karena
bunda suka marah-marah...” jawabnya.
Saya
tarik nafas dalam-dalam...dalaaaaaaam sekali.....
“Oh...kamu
bisa kok ganti bunda, nanti kalau bunda sudah meninggal ya...”
“Tapi
aku nggak mau bunda meninggal, nanti aku kesepian...” ucapnya dengan wajah mau
menangis...
“Hehehe...oke
sayang...” dalam hati saya juga mau meweeek....
Ya
Alloh...mohon ampunan...mohon ampunan....
Percakapan
itu membuat saya sadar...saya ini hampir 24 jam bersamanya, kami tinggal di
rumah yang sama, tapi barangkali kami tidak dekat dan hubungan kami juga tidak
romantis....
Alhamdulillah bertepatan dengan libur sekolah kemarin Alloh takdirkan saya dan iin bisa pergi ke Malang berdua.
Sebetulnya ini agak modal nekat, sebab biasanya kami pergi bertiga dengan
ayahnya. Dan kalau pergi jauh macam pulang kampung ke Malang, biasanya ayahnya
iin lah yang mengurus tiket pulang pergi, bawa-bawa koper atau apapun yang
berat-berat, dan memimpin perjalanan kami. Tapi ini berdua saja. Sehingga tugas
saya lebih berat dari biasanya. Tangan kanan menggandeng iin, tangan kiri
menggandeng koper besar, dan punggung menggendong ransel besar berisi oleh-oleh
dan perbekalan kami. Lebih berat dan lebih repot. Tapi dalam hati saya sudah
bertekad untuk menikmati perjalanan berdua ini dan menjadikannya momen untuk
memperbaiki dan mendekatkan hubungan kami. Jadi, Bismillah!
Qodarullah, perjalanan kami diawali oleh sebuah kejadian yang berhasil membuat kami tertawa. Jadi ceritanya, seharusnya kami di eksekutif satu. Tapi karena saya salah
memperkirakan urutan gerbong dan karena panik hanya pergi berdua sambil membawa
banyak barang, kami malah mengantri masuk ke ekonomi satu. Ketika sudah hampir
masuk pintu, barulah saya sadar kalau kami salah gerbong. Padahal eksekutif
satu letaknya jauh di dekat lokomotif.
“Astaghfirullaaah...kita
salah gerbong, nak!!!”
Alhasil
saya suruh iin berlari ke arah eksekutif satu, sementara saya juga berlari di
belakangnya sambil menarik koper besar.
“Lari
terus yaaa...sampai bunda bilang stop!”
“Di
gerbong sini ya, bun?”
“Bukan!
Masih depan lagi....”
Kami
memang harus cepat, sebab kereta sudah akan berangkat. Alhamdulillaaah akhirnya
kami sampai juga di gerbong eksekutiv satu. Sambil duduk di bangku nomer 1A 1B
dan dengan nafas tersengal-sengal kami tertawa.
“Bunda
siih...salah gerbong...”
“Hahaha..iya
iya...maaf yaa...berdoa dulu yuk”
Bismillah
kereta kami melaju menuju kampung halaman saya.
Delapan
jam perjalanan memang waktu yang cukup lama. Saat iin sudah mulai bosan melihat
pemandangan di jendela dan sudah kenyang makan bekal, akhirnya saya keluarkan
senjata pamungkas, yaitu Youtube hehehe...
“Mau
nonton apa, bun?” tanya iin
Tiba-tiba
terbersit ide.
“Nonton
lagunya doraemon yang himawari yuk...yang dulu iin pernah nonton itu..”
“Oh...oke.”
Saya
dan iin memang sama-sama suka menonton film doraemon dan sama-sama suka sekali
lagu Himawari no Yakusoku. Iin bahkan
sampai meneteskan air mata karena terharu saat pertama kali menonton lagu
penutup film Stand By Me Doraemon
itu. Siapapun yang pernah menonton Doraemon atau membaca komiknya pasti tahu
bahwa Nobita dan Doraemon adalah sahabat yang sangat dekat. Bahkan saking
dekatnya, seringkali Nobita justru bercerita dan meminta bantuan bukan pada ayah
ibunya, tetapi pada Doraemon. Namun tidak jarang pula mereka bertengkar,
apalagi saat Nobita menyalahgunakan alat yang dipinjami Doraemon. Meski
demikian mereka berdua tetap saling menyayangi bahkan sulit sekali bagi mereka
untuk berpisah ketika tugas Doraemon untuk mendampingi Nobita telah usai dan ia
harus kembali ke masa depan seperti yang dikisahkan di film Stand By Me Doraemon.
Sambil
menonton video clip nya di Youtube, saya jadi terpikir. Bersahabat bukan
berarti tak ada konflik. Bersahabat bukan berarti tak pernah bertengkar.
Bersahabat bukan berarti tak pernah marah. Dan bersahabat bukan berarti tanpa
masalah. Sebab konflik, pertengkaran dan masalah adalah sunatullah yang pasti ada selama kita bernyawa dan hidup bersama
orang lain. Yang terpenting adalah tindak lanjutnya untuk segera bertaubat,
meminta maaf, dan memperbaikinya. Sehingga konflik, pertengkaran, dan masalah
bisa membuat persahabatan menjadi lebih erat.
Sambil
memandang iin yang tertidur pulas di kursinya setelah menonton lagu dari film
favorit kami itu, dalam hati saya berkata “Izinkan
bunda memperbaikinya ya nak, karena bunda ingin jadi sahabatmu...”.
PS:
Inilah sepenggal cerita dari pengalaman pulang kampung saya ketika liburan sekolah kemarin. InsyaaAlloh akan ada cerita selanjutnya.
Bagaimana dengan Anda, apakah juga ingin menjadi sahabatnya putra putri Anda?
PS:
Inilah sepenggal cerita dari pengalaman pulang kampung saya ketika liburan sekolah kemarin. InsyaaAlloh akan ada cerita selanjutnya.
Bagaimana dengan Anda, apakah juga ingin menjadi sahabatnya putra putri Anda?
Ya ampun, Mak. Daku pas baca malah terharu. Saya pun ingin sekali bisa menjadi sahabat untuk anak saya sampai ia dewasa kelak
BalasHapusAaamiiin...
HapusSEMANGAT Mak Ipeh 😊