Selasa, 16 Juli 2019

KARENA BUNDA INGIN JADI SAHABATMU


Catatan Pulang Kampung (Capung) 

#Part 1


Sejak dulu saya dan ibu hampir tak pernah ngobrol. Yang ada adalah pembicaraan satu arah, dan mayoritas lebih kepada perintah untuk beres-beres rumah. Meski secara fisik ada, namun ibu tak banyak hadir dalam peristiwa-peristiwa di hidup saya. Saya paham, sebab mengurus empat anak bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat itu sarana untuk belajar menjadi orang tua tidaklah sebanyak dan semudah seperti saat ini. Namun barangkali penyebab yang paling mendasar ialah karena ibu memendam kekecewaan yang amat sangat besar pada bapak sebab bapak meminta ibu tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak dan melarangnya berkarir di luar, sementara ibu adalah seorang sarjana. Kekecewaan itulah yang sering kali ditumpahkan pada saya dan ketiga saudara saya yang lain. Karena itulah hubungan saya dengan ibu tidak romantis.

Sejak tangisan iin (anak semata wayang saya) pecah ke dunia ini, saya bertekad tidak ingin iin merasakan kesedihan, kesepian dan kehampaan akan sosok ibu seperti yang saya rasakan. Saya tak ingin hatinya terluka karena tumpahan emosi negativ dan kekecewaan saya pada apapun. Saya tidak ingin ia merasa diabaikan dan tidak diterima kehadirannya di dunia ini. Saya ingin dekat lahir batin dengannya. Saya ingin hubungan kami romantis. Saya ingin jadi sahabatnya.

Ternyata tidak mudah...sungguh-sungguh tidak mudah mewujudkannya. Saya masih sering menumpahkan emosi negativ saya padanya meski sebetulnya bukan karena kesalahannya. Saya masih sering takluk pada lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari, sehingga saya pun jarang ngobrol dengannya. Lebih banyak pembicaraan satu arah dan saya jarang bertanya padanya. Saya masih sering menganggap sambil lalu apa-apa yang ia ceritakan. Hingga suatu hari ia berkata

“Aku mau ganti bunda aja..”

Deg! Saya langsung menghentikan aktvitas saya saat itu.

“Kenapa kamu mau ganti bunda?”

“Karena bunda suka marah-marah...” jawabnya.

Saya tarik nafas dalam-dalam...dalaaaaaaam sekali.....

“Oh...kamu bisa kok ganti bunda, nanti kalau bunda sudah meninggal ya...”

“Tapi aku nggak mau bunda meninggal, nanti aku kesepian...” ucapnya dengan wajah mau menangis...

“Hehehe...oke sayang...” dalam hati saya juga mau meweeek....

Ya Alloh...mohon ampunan...mohon ampunan....

Percakapan itu membuat saya sadar...saya ini hampir 24 jam bersamanya, kami tinggal di rumah yang sama, tapi barangkali kami tidak dekat dan hubungan kami juga tidak romantis....

Alhamdulillah bertepatan dengan libur sekolah kemarin Alloh takdirkan saya dan iin bisa pergi ke Malang berdua. Sebetulnya ini agak modal nekat, sebab biasanya kami pergi bertiga dengan ayahnya. Dan kalau pergi jauh macam pulang kampung ke Malang, biasanya ayahnya iin lah yang mengurus tiket pulang pergi, bawa-bawa koper atau apapun yang berat-berat, dan memimpin perjalanan kami. Tapi ini berdua saja. Sehingga tugas saya lebih berat dari biasanya. Tangan kanan menggandeng iin, tangan kiri menggandeng koper besar, dan punggung menggendong ransel besar berisi oleh-oleh dan perbekalan kami. Lebih berat dan lebih repot. Tapi dalam hati saya sudah bertekad untuk menikmati perjalanan berdua ini dan menjadikannya momen untuk memperbaiki dan mendekatkan hubungan kami. Jadi, Bismillah!

Qodarullah, perjalanan kami diawali oleh sebuah kejadian yang berhasil membuat kami tertawa. Jadi ceritanya, seharusnya kami di eksekutif satu. Tapi karena saya salah memperkirakan urutan gerbong dan karena panik hanya pergi berdua sambil membawa banyak barang, kami malah mengantri masuk ke ekonomi satu. Ketika sudah hampir masuk pintu, barulah saya sadar kalau kami salah gerbong. Padahal eksekutif satu letaknya jauh di dekat lokomotif.

“Astaghfirullaaah...kita salah gerbong, nak!!!”

Alhasil saya suruh iin berlari ke arah eksekutif satu, sementara saya juga berlari di belakangnya sambil menarik koper besar.

“Lari terus yaaa...sampai bunda bilang stop!”

“Di gerbong sini ya, bun?”

“Bukan! Masih depan lagi....”

Kami memang harus cepat, sebab kereta sudah akan berangkat. Alhamdulillaaah akhirnya kami sampai juga di gerbong eksekutiv satu. Sambil duduk di bangku nomer 1A 1B dan dengan nafas tersengal-sengal kami tertawa.

“Bunda siih...salah gerbong...”

“Hahaha..iya iya...maaf yaa...berdoa dulu yuk”

Bismillah kereta kami melaju menuju kampung halaman saya.

Delapan jam perjalanan memang waktu yang cukup lama. Saat iin sudah mulai bosan melihat pemandangan di jendela dan sudah kenyang makan bekal, akhirnya saya keluarkan senjata pamungkas, yaitu Youtube hehehe...

“Mau nonton apa, bun?” tanya iin

Tiba-tiba terbersit ide.
“Nonton lagunya doraemon yang himawari yuk...yang dulu iin pernah nonton itu..”

“Oh...oke.”

Saya dan iin memang sama-sama suka menonton film doraemon dan sama-sama suka sekali lagu Himawari no Yakusoku. Iin bahkan sampai meneteskan air mata karena terharu saat pertama kali menonton lagu penutup film Stand By Me Doraemon itu. Siapapun yang pernah menonton Doraemon atau membaca komiknya pasti tahu bahwa Nobita dan Doraemon adalah sahabat yang sangat dekat. Bahkan saking dekatnya, seringkali Nobita justru bercerita dan meminta bantuan bukan pada ayah ibunya, tetapi pada Doraemon. Namun tidak jarang pula mereka bertengkar, apalagi saat Nobita menyalahgunakan alat yang dipinjami Doraemon. Meski demikian mereka berdua tetap saling menyayangi bahkan sulit sekali bagi mereka untuk berpisah ketika tugas Doraemon untuk mendampingi Nobita telah usai dan ia harus kembali ke masa depan seperti yang dikisahkan di film Stand By Me Doraemon.

Sambil menonton video clip nya di Youtube, saya jadi terpikir. Bersahabat bukan berarti tak ada konflik. Bersahabat bukan berarti tak pernah bertengkar. Bersahabat bukan berarti tak pernah marah. Dan bersahabat bukan berarti tanpa masalah. Sebab konflik, pertengkaran dan masalah adalah sunatullah yang pasti ada selama kita bernyawa dan hidup bersama orang lain. Yang terpenting adalah tindak lanjutnya untuk segera bertaubat, meminta maaf, dan memperbaikinya. Sehingga konflik, pertengkaran, dan masalah bisa membuat persahabatan menjadi lebih erat.

Sambil memandang iin yang tertidur pulas di kursinya setelah menonton lagu dari film favorit kami itu, dalam hati saya berkata “Izinkan bunda memperbaikinya ya nak, karena bunda ingin jadi sahabatmu...”.

PS:
Inilah sepenggal cerita dari pengalaman pulang kampung saya ketika liburan sekolah kemarin. InsyaaAlloh akan ada cerita selanjutnya.
Bagaimana dengan Anda, apakah juga ingin menjadi sahabatnya putra putri Anda?  



2 komentar:

  1. Ya ampun, Mak. Daku pas baca malah terharu. Saya pun ingin sekali bisa menjadi sahabat untuk anak saya sampai ia dewasa kelak

    BalasHapus