Begitu kata
mama saya. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang kali beliau katakan kalimat
yang sama, baik ketika ketemu langsung maupun lewat telpon. Dan selalu ditutup
dengan kalimat “Ayo segera lamar kerja! Ijazahmu
jangan hanya disimpan! Mumpung umurmu masih bisa. Sebelum terlambat seperti
mama.”
Kata-kata
mama seolah menantang batin ini untuk ribut.
Kalau
sekarang saya kerja di kantor atau jadi PNS seperti harapan mama, nanti iin
bagaimana nasibnya? Nggak mungkin kalau saya bawa-bawa. Sementara ayahnya dari
senin sampai jumat kerja dari pagi sampai sore.
Kalau harus
dititipkan? Dari lubuk hati saya yang paling dalam, sejujurnya saya tak ingin
iin diasuh orang lain, selain saya dan ayahnya. Memang iin sudah mulai sekolah
sekarang, tapi hanya 1,5 - 2 jam saja, supaya ia bermain dengan teman-teman
seusianya, belajar bersosialisai dengan orang dewasa (guru-gurunya) dalam
suasana yang menyenangkan. Selebihnya iin tetap makan, mandi, main, membaca
buku, mewarnai, nonton film, kejar-kejaran di dalam rumah, cuci piring, bikin
kue, tidur dan gulung-gulung di kasur dengan saya dan ayahnya.
Sampai pada
suatu titik bimbang, ketika pulang ke malang, saya berkata pada papa dengan nada
pasrah “Aku mau lamar kerja, biar nggak
sia-sia papa sama mama nyekolahin aku sampai kuliah....”
Di luar
dugaan saya, papa berkata..
“Lho, papa sekolahin kamu tinggi-tinggi bukan untuk
lamar kerja, nduk. Kamu memang harus sekolah tinggi SUPAYA KAMU PINTAR. Kalau kamu nggak pintar, bagaimana kamu akan
mendidik anakmu?”
Deg!
Saya
terdiam...
Kata-kata
papa menyadarkan saya pada sebuah tanggung jawab besar yang saya miliki setelah
menjadi ibu, yakni MENDIDIK anak.
Sungguh saya
merasakan bahwa mendidik anak itu amat sangat tidak mudah. Mengapa?
Pertama, seperti
kata Bu Elly Risman, banyak dari kita yang tidak disiapkan oleh orang tua kita
untuk menjadi orang tua, termasuk saya. Banyak dari kita yang mendidik dan
mengasuh anak hanya berbekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik dan
mengasuh kita. Padahal cara itu belum tentu benar, dan belum tentu cocok dengan
zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Sehingga seringkali kita sebagai orang tua
kuwalahan berhadapan dengan anak. Hingga tidak asing terdengar para orang tua
mengeluh “Duhh...anak-anak zaman sekarang
ini kok....”
Kedua, sebab
tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, dengan kurikulum yang runtut rapi,
latihan soal dan ulangan, serta penerimaan rapot untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman ilmu menjadi ayah dan ibu kita serap. Padahal untuk jadi dokter yang
ahli ada sekolahnya, untuk jadi pengacara yang handal ada sekolahnya, dll.
Namun tak ada sekolah untuk jadi ayah dan ibu yang ahli.
Ketiga,
karena anak itu seperti selembar kertas putih. Orang tuanya lah yang punya
tanggung jawab utama untuk mewarnainya. Salah mewarnai, meski hanya sedikit
saja, akan terbawa hingga ia dewasa nanti.
Keempat,
masing-masing orang tua punya inner child.
Bila dulu ketika kecil, para orang tua tumbuh dengan bahagia, maka akan
terbentuk inner child yang positiv.
Ini menjadi bekal yang sangat berguna ketika membesarkan anak-anaknya. Tapi
bila dulu saat masih kecil, para orang tua ini pernah mengalami kekerasan baik
fisik, verbal, psikologis, maupun seksual dan mendapat pola asuh yang salah,
maka akan terbentuk “anak kecil yang takut/marah/kecewa/trauma” dalam dirinya.
Dan inner child yang seperti ini akan
memunculkan masalah bagi orang tua ketika mendidik dan membesarkan
anak-anaknya. Sehingga orang tua seperti ini harus segera menyelesaikan unfinished bussiness dalam dirinya dulu
sebelum lebih jauh berhadapan dengan anak-anaknya.
Dengan tantangan-tantangan super berat seperti itu, maka orang tua (termasuk ibu) MEMANG HARUS PINTAR. Dan salah
satu jalan untuk menjadi pintar, ialah dengan bersekolah, syukur-syukur bila
bisa sampai kuliah.
Dengan bersekolah
dan dinamikanya, orang tua bisa mendapat banyak ilmu dan hikmah yang kelak bisa
diajarkan pada anak-anaknya. Tapi bagaimana bila ilmu yang dipelajari di kuliah
tidak nyambung dengan parenting? Seperti kata seorang teman pada saya “Aku dulu
kuliah di jurusan X mbak, masa mau kuajarkan ke anakku?” Tak perlu khawatir,
masih bermanfaat kok.
Dengan
kuliah, kita jadi terbiasa membaca buku-buku, browsing di internet, ikut
seminar, menghadiri kajian, dituntut berpikir kritis, melek informasi, dan belajar memecahkan masalah. Sehingga ketika
menjadi ibu, kita pun jadi terbiasa untuk terus menerus belajar, terus menerus mencari
ilmu dan informasi. Tak sekedar mengandalkan naluri ataupun cara orang tua kita
dulu mendidik kita.
Dengan
kuliah kita terbiasa berkomunikasi, berdiskusi dan membangun hubungan dengan
banyak teman atau komunitas. Ini sangat bermanfaat karena relasi-relasi itu
bisa dipertahankan hingga sekarang, dan malah bisa jadi grup-grup whats app
yang bisa saling bertukar banyak informasi termasuk tentang parenting serta
bisa saling memotivasi.
Itu semua
bisa jadi modal yang sangat bermanfaat dalam mendidik anak.
Sehingga tak
akan pernah sia-sia kesempatan untuk bisa bersekolah tinggi, meski sekarang
“hanya” menjadi seorang ibu rumah tangga. Tak akan sia-sia ijazah yang didapat
dengan perjuangan bertahun-tahun, meski sekarang tak dipakai untuk melamar
kerja. Pun tak akan sia-sia ilmu yang didapat hingga berkuliah, meski sekarang lebih banyak di rumah saja. Sebab dengan sekolah, ibu jadi pintar. Sebab IBU MEMANG HARUS PINTAR.
Mari terus
belajar!
Mari terus
berkarya!
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar