Bangun tidur
lihat HP
Mau mandi
lihat HP
Habis mandi
lihat HP
Mau sholat
lihat HP
Habis sholat
lihat HP
Mau makan
lihat HP
Habis makan
lihat HP
Sambil
nyetir motor lihat HP
Begitu
kurang lebih bunyi pesan yang saya dapat dari sebuah grup Whats App. Ya, meski
hanya sebuah persegi segenggaman tangan, namun HP alias smartphone alias gadget
ini memang punya pengaruh yang luar biasa. Ia mampu mengubah rutinitas, sifat,
cara berpikir, hingga perilaku manusia.
Kekuatan gadget
ini juga mampu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Pernah suatu
hari ketika saya dan keluarga sedang makan di restoran, datanglah satu keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak laki-laki duduk di meja sebelah meja
kami. Setelah duduk dan memesan menu, mereka mengambil gadget masing-masing dan
langsung sibuk sendiri-sendiri. Ada yang menatap gadget-nya dengan tampang
serius, ada pula yang sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian minuman
yang mereka pesan datang. Dan mereka pun minum, MASIH sambil menatap gadget masing-masing!
Tangan kiri memegang sedotan, sementara tangan kanan memegang gadget dengan
jempolnya yang terus bergerak. Hampir tak terjadi obrolan di antara mereka.
Padahal mereka adalah satu keluarga yang duduk berdekatan dan berhadapan dalam
satu meja! Weleh...weleh...
Rupanya,
gadget ini pun tak hanya akrab di tangan orang dewasa, tetapi juga anak-anak,
bahkan yang masih balita. Meski masih kecil, tidak sedikit anak-anak sudah
lihai mengoperasikan gadget, malah ada juga yang lebih pintar dari orang
tuanya. Dari mana mereka bisa tahu caranya? Tentu dari orang terdekat yang
notabene adalah orang tuanya. Selain dikenalkan dengan cara diberitahu, tak
jarang orang tua masih sibuuuk saja dengan gadgetnya ketika sedang bersama anak-anak. Ada pula orang tua yang sengaja memberikan
gadget pada anaknya agar bisa duduk manis dan tidak rewel. Maka tak heran bila
muncul orang-orang dan anak-anak yang kecanduan gadget, tak bisa lepas dari
gadget, bahkan hidup serasa berakhir bila gadget-nya hilang atau ketinggalan.
Lantas kalau
orang tua awam sudah kecanduan gadget dan mengenalkan gadget pada anak-anaknya,
bahkan pada yang masih balita, bagaimana dengan para orang tua pembuat gadget
dan teknologinya ini? Dalam sebuah artikel menarik di majalah Intisari edisi
November 2015 bertajuk “Kontradiksi Pendidikan Ala Lembah Silikon” disebutkan
bahwa...
Alan Eagle
yang bekerja di bagian komunikasi eksekutif Google, yang salah satu tugasnya
ialah menulis pidato untuk direktur utama Google, bercerita bahwa anak
perempuannya yang duduk di kelas 5 SD belum tahu bagaimana cara menggunakan
Google. Sedangkan kakaknya yang duduk di kelas 8 baru belajar memakai Google.
Sementara di sini anak SD sudah terbiasa googling
untuk mengerjakan tugas sekolah. Eagle pun memilih untuk menyekolahkan kedua
anaknya di Waldorf, sebuah sekolah alternatif di Amerika Serikat yang minim
menggunakan gadget untuk kegiatan belajar mengajar, mengajari muridnya
bersosialosasi dengan orang sekitar, dan rutin mengajak murid-muridnya bermain
di tanah lapang atau bercocok tanam di lahan sekolah.
Bagaimana
dengan Steve Jobs pendiri Apple? Dalam bukunya berjudul “Steve Jobs”, penulis
Walter Isaacson menggambarkan keseharian keluarga Jobs di rumah. Setiap malam
Steve makan malam bersama dengan keluarganya di sebuah meja makan di dapur
mereka. Mereka berdiskusi tentang buku-buku, sejarah, dan lain sebagainya. Tak
seorang pun yang mengeluarkan iPad atau gadget lainnya. Anak-anaknya pun tampak
tak kecanduan tehadap gadget.
Evan Williams
(pendiri Blogger, Twitter, dan Medium) bersama istrinya Sara Williams mengganti
iPad dengan ratusan buku bagi kedua anak mereka. “Mereka bisa mengambilnya dan
membacanya kapan saja” kata Evan.
Ada pula Pierre
Laurent, mantan manajer pemasaran Microsoft dan Intel, menjauhkan anak-anaknya
dari gadget hingga mereka cukup besar dan mampu menggunakanya sesuai kebutuhan.
Anak-anaknya menyukai cerita, bermain dengan segala sesuatu, bernyanyi, membuat
prakarya, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, dan berada di alam.
Wow!
Mereka pencipta teknologi yang sehari-hari kita genggam di tangan dan kita
lihatiiiin terus, ternyata SADAR bahwa tak seharusnya teknologi mengganti
hal-hal berharga dan mendasar dalam hidup kita. Apa saja itu?
Pertama, meskipun gadget semakin hari kian
canggih, namun tetap saja mereka mendorong anak-anaknya untuk memiliki
kemampuan dasar dalam hidup, seperti bercocok tanam dengan cara tradisional dll.
Sehingga ketika gadget atau teknologi tidak ada di tangan mereka, mereka tidak lantas
mati atau dunia serasa kiamat. Mereka masih bisa survive!
Kedua, meski saat ini di gadget terdapat
bermacam-macam sosial media, yang mampu menghubungkan kita dengan orang-orang
dimanapun, nyatanya mereka tetap mengajarkan pada anak-anak untuk
bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka secara langsung. Hal ini
bisa membuat anak-anak peduli dan empati pada orang lain yang berada di sekitar
mereka (bukan peduli pada orang-orang di tempat jauh yang sedang jadi viral di
media sosial, namun cuek dengan orang di kanan kiri mereka).
Ketiga, meski dengan gadget canggih dan
teknologi digital mereka bisa mendapat ilmu pengetahuan, ternyata mereka tetap
mengajarkan dan membiasakan anak-anak mereka untuk membaca BUKU selembar demi
selembar. Bagi saya pribadi, membaca buku manual dengan kertas-kertasnya tetap
tak bisa tergantikan oleh buku-buku digital atau hasil pencarian google. Selain
lebih aman untuk mata, saya sendiri merasa membaca buku manual membuat si
pembaca menjadi lebih bijak dan sabar.
Keempat, sebagai orang yang berkecimpung di
bidang teknologi dan sehari-hari bergelut dengan gadget, nyatanya para orang
tua ini mampu hadir secara utuh baik fisik, pikiran, dan hati ketika sedang
bersama anak-anak mereka. Meski mungkin secara kuantitas waktunya tidak banyak,
namun mereka membuat waktu kebersamaan ini sangat berkualitas. Tentu hal ini
sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan, dan masa depan anak-anak.
Kelima, para orang tua ini tentulah merupakan
orang-orang yang update terhadap perkembangan teknologi, akan tetapi mereka
tidak serta merta memberikan gadget pada anak-anak mereka begitu saja. Mereka
justru memperkenalkan gadget pada saat mereka sudah yakin bahwa anak-anak
mereka telah mampu menggunakannya dengan bijak. Tak seperti di sini, dimana
bergadget anak orang maka harus bergadget pula anak kita, terlepas dari apakah
mereka sudah mampu atau belum menggunakannya dengan bijak.
Semoga kita dapat
belajar dari para orang tua pencipta gadget ini. Dan sebagai mana ilmu-ilmu
parenting lainnya, bila kita ingin anak kita bijak menggunakan gadget, maka
harus diawali dulu dari orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar