Sabtu, 09 Mei 2020

DI RUMAH SAJA MENGISI JIWA



Salah satu kegiatan yang ampuh mengusir jenuh selama di rumah saja bagi saya ialah membaca buku. Alhamdulillaaah beberapa buku fiksi bisa saya khatamkan. Dan semuanya meninggalkan kesan yang mendalam. Salah satunya ialah buku Si Anak Pintar karangan Tere Liye.

Buku terbitan Republika tahun 2018 ini bercerita tentang masa kecil Pukat (tokoh utama dalam buku ini) seorang anak laki-laki kelas 5 SD beserta Bapak Mamaknya, ketiga saudaranya, dan seluruh penduduk kampungnya di Sumatera.

Di sampul belakang buku setebal 345 halaman ini tertulis kalimat “Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini adalah mahkotanya”. Setuju. Sebab buku ini (sebagaimana buku karangan Tere Liye lainnya) memberikan banyak pelajaran kehidupan. Termasuk pelajaran tentang parenting. Salah satunya tentang mengisi jiwa anak.

Bagi Anda yang sudah maupun belum membaca buku ini, izinkan saya menceritakan kembali salah satu bab-nya yang berjudul “Untung-Rugi”.


Suatu kali Pukat dan Burlian (adiknya) menemani Mamak mereka berjualan duku di pasar kalangan. Pasar ini dibuka sejak pukul enam pagi selama empat jam saja di sebuah lapangan. Hanya seminggu sekali adanya.

Para pedagangnya menggunakan tikar, terpal, atau alas lainnya lantas sembarang menghamparkan dagangannya. Nah karena panen duku keluarga pukat sangat melimpah dan tak habis-habis meski sudah dimakan sendiri setiap hari dan dibagi-bagikan ke tetangga, maka Mamak memutuskan menjualnya di pasar kalangan.

Datanglah pembeli pertama.

“Buahnya baru, bu?” tanyanya.

“Baru dipetik kemarin.” Mamak mengangguk.

“Satu tumpukan berapa?” Pembeli itu tertarik.

“Lima ribu.”

“Tiga ribu bisa tidak?”

Mamak mengangguk ringan. Pukat terkejut. Langsung hilang rasa ngantuknya pagi itu. Gampang sekali Mamak ditawar? Biasanya pedagang lain keras kepala tidak mau mengalah dan pembelinya juga keras kepala memaksa.

“Murah sekali, Mak?” Pukat berbisik protes.

“Biar saja. Penglaris.” Mamak memasukkan tumpukan duku ke dalam kantong plastik lalu memberikannya pada si pembeli. Pembeli itu tersenyum. Transaksi selesai.

Tak lama kemudian dua pembeli lain mendekat. Ternyata masih terhitung saudara yang tinggal di kampung lain.

“Duku ladang sendiri, Kak Nung?”

Mamak mengangguk.

“Tolong bungkuskan dua tumpukan.”

Ternyata Mamak menumpahkan lebih banyak duku ke dalam kantong plastik. Membuatnya hampir dua kali lebih banyak dari yang diminta. Pembeli itu tertawa senang, menyerahkan uang, transaksi selesai.

“Mak, kenapa dikasih banyak sekali?” Pukat protes saat punggung pembeli tadi hilang ditelan kerumunan pengunjung pasar.

“Biar saja. Masih saudara kita, “ Mamak menjawab ringan. Baiklah, masih masuk akal, semasuk akal saat pembeli pertama tadi.

“Ah, mahal sekali. Di tempat sebelah harganya cuma dua ribu satu tumpukan.” Pembeli berikutnya menawar. Mamak mengangguk sepakat, sama sekali tidak berniat menawar balik, lalu menyuruh Pukat membungkuskannya. Pukat menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas berbisik “Mana mungkin lapak sebelah menjual seharga itu. Kita jual lima ribu saja itu sudah paling murah sedunia, Mak.”

“Biar saja. Kita tidak rugi ini.”

“Rugi, Mak! Seharusnya kita bisa menjual lebih mahal.” Protes Pukat.

“Kau ini dari tadi pagi berisik.” Mamak melotot.

Pukat menghela napas putus asa. “Bagaimana mungkin aku tidak berisik? Mamak melanggar seluruh tata tertib standar berjualan di pasar kalangan.” Pikirnya.

Baru pukul delapan, ternyata tiga keranjang duku yang dibawa sudah habis terjual.

“Gulanya sekilo berapa?” Selesai jualan, Mamak membeli keperluan rumah tangga untuk seminggu ke depan.

“Tiga ribu delapan ratus. Ini gula putih kelas satu.” Si penjual menepuk-nepuk karung gulanya.

Mamak mengangguk, tersenyum, minta dibungkuskan dua kilogram. Pukat lagi-lagi menepuk jidat. Kalau yang ini ia sudah tahu, ini kelakukan Mamak sejak dulu. Setiap kali berbelanja, Mamak tidak pernah menawar harga yang diminta.

Setibanya di rumah, terjadilah dialog antara Pukat dan Burlian (adiknya) dengan Bapak.

“Banyak sekali contoh kebaikan sederhana di dunia ini yang semakin pudar, Pukat. Besok lusa, saat kau melihat dunia, pindah dari kampung ini, kau akan melihat lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan kecil yang hilang, digantikan kesombongan dan keserakahan hidup.” Bapak menyeka bibir, kopi luwaknya meninggalkan bekas.

“Pasar misalnya. Jika kau memprotes cara Mamak kau berjualan tadi pagi, itu karena kau masih memahami pasar sebagai tempat jual-beli. Untung-rugi. Mahal-murah. Kau belum memahami pasar sebagai bagian kehidupan kita, tempat untuk berbuat kebaikan, menebalkan rasa jujur dan prasangka baik. Oi, bukankah kau tahu, agama kita meneladani begitu banyak adab bertransaksi yang indah di pasar?”

“Jual-beli itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik, memberikan barang yang benar, tanpa menipu, senang hati melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan, niscaya ia mendapat keuntungan yang berlipat-lipat.” Lanjut Bapak.

“Tidak mungkin! Bagaimana kita untung berlipat-lipat kalau menjual lebih murah?” Pukat protes. Penjelasan bapak tidak bisa diterima oleh nalarnya.

“Itu karena kau menghitung keuntungan yang terlihat saja. Oi, rasa senang yang muncul dari proses kebaikan itu tidak bisa dibeli dengan uang segunung. Kalian masih terlalu kecil untuk mengerti. Sayangnya, hari ini, esok-esok lusa, akan lebih banyak orang dewasa yang tahu urusan ini, tetapi tetap pura-pura tidak mengerti. Kalian tahu, hal ini juga berlaku sebaliknya. Barang siapa yang membeli dengan santun, ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar, nisacaya bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya telah mendapatkan harga yang lebih murah......”

“Bagaimana akan mendapatkan harga yang lebih murah kalau tidak ditawar, Pak?” Kali ini Burlian yang menyela, menghentikan gerakan tangannya menyendok sup jagung.

“Kenapa tidak? Itu bisa terjadi jika pedagang sudah datang dengan pemahaman yang baik, menjual dengan harga yang baik, tidak menipu. Maka buat apa lagi pembeli menawar?” Ucap bapak.


Itulah sedikit penggalan bab “Untung-Rugi” dalam buku Si Anak Pintar.

Sebetulnya ada banyak lagi obrolan antara Bapak maupun tokoh-tokoh lainnya dengan Pukat. Dan semua obrolan itu berkesan. Sungguh sarat akan pelajaran kehidupan. Termasuk ketika Bapak menjelaskan tentang hakikat sesungguhnya dari jual-beli dan cara bijak memandang pasar yang sudah mulai pudar saat ini. Dan penjelasan Bapak itu rupanya melekat kuat dalam diri Pukat hingga ia dewasa.

Begitulah ayah bunda yang baik, sesungguhnya ngobrol adalah sarana yang sangat ampuh untuk mengisi jiwa anak-anak kita dengan nilai-nilai kebaikan yang kelak akan menjadi bekal mereka menjalani kehidupan ini.  Sayangnya, kegiatan ngobrol antara orang tua dengan anak ini mulai pudar, tergantikan oleh kesibukan orang tua dan anak yang ngobrol dengan gadget-nya sendiri-sendiri.

“Ah, setiap hari saya juga sudah ngomong kok sama anak saya, sudah saya nasehatin ini itu, sampai capek mulut saya. Tapi anak sekarang itu memang susah dikasih tau. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Matanya ke Hapeeee teruuusss.....dst dst.....”

Nah, inilah pentingnya kita paham dulu apa itu NGOBROL, terutama ngobrol yang enak. Sehingga tak perlu sampai berbusa-busa mulut kita, namun setiap kata yang kita sampaikan bisa tertanam kuat di jiwanya.

Pertama, ngobrol itu dua arah, kalau hanya satu arah namanya ceramah. Kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya (baik orang tua maupun anak) punya kesempatan yang sama untuk bicara.

Kedua, ngobrol itu gantian bukan barengan. Kalau yang satu bicara, maka yang lain harus sabar mendengarkan. Kalau semuanya sama-sama biacara, lantas siapa yang mendengarkan? Dan mendengarkan ini ya benar-benar menyimak, bukan cuma sepintas lalu.

Ketiga, ngobrol itu posisi tubuh kita setara, sama-sama berdiri, sama-sama duduk, atau sama-sama rebahan. Kalau yang satu berdiri sementara yang satunya lagi duduk kan kasihan, yang berdiri bisa kesemutan kakinya sementara yang duduk bisa pegel lehernya karena mendongak terus hehehe...

Keempat, ngobrol itu supaya enak, kondisikan tempat dan suasana yang enak pula. Matikan dulu TV di hadapan. Singkirkan dulu gadget di genggaman. Kalau perlu sediakan camilan dan minuman.

Mungkin ada di antara kita yang kesulitan ngobrol dengan anak karena memang tak terbiasa. Tapi yuk Bismillah kita mulai ayah bunda. Mulai dengan niat yang baik. Mulai dengan bertanya yang sederhana dulu saja, seperti

Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?

Atau “Nak, dulu waktu ayah/bunda masih seumurmu.......

Atau “Apakah kamu kangen bertemu teman-teman dan guru-gurumu di sekolah?

Dan lain-lain...

Mungkin terasa agak canggung. Tak apa, ibarat naik sepeda, kita selalu butuh kayuhan pertama yang biasanya agak berat terasa, tapi kayuhan-kayuhan berikutnya akan lebih ringan rasanya.

Mumpung juga kita lebih banyak di rumah saja karena wabah corona. Sama-sama kita isi jiwa anak-anak kita dengan nilai-nilai kebaikan dan pelajaran-pelajaran kehidupan. Salah satunya melalui obrolan-obrolan. Sehingga kelak anak-anak kita bertumbuh secara utuh, dengan jiwa dan raga yang tangguh. Sebelum waktu terus berputar, dan tak terasa mereka bertambah besar, lalu terlanjur lebih dekat dengan teman-temannya di luar.

-Self reminder-
#cerita ramadhan dari rumah saja

2 komentar:

  1. Betul, Mbak.
    Mengobrol (dari hati ke hati) dengan anak bisa jadi cara bonding juga, mempererat ikatan orangtua dan anak.
    Dicicil mulai anak kecil, biar nanti anak udah agak gedean "enggak lepas".
    Bismillah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali mbak Muna Fitria 😊👍
      SEMANGAT!!! 😀

      Hapus