Salah satu kegiatan yang ampuh
mengusir jenuh selama di rumah saja bagi saya ialah membaca buku.
Alhamdulillaaah beberapa buku fiksi bisa saya khatamkan. Dan semuanya
meninggalkan kesan yang mendalam. Salah satunya ialah buku Si Anak Pintar
karangan Tere Liye.
Buku terbitan Republika tahun 2018
ini bercerita tentang masa kecil Pukat (tokoh utama dalam buku ini) seorang
anak laki-laki kelas 5 SD beserta Bapak Mamaknya, ketiga saudaranya, dan seluruh
penduduk kampungnya di Sumatera.
Di sampul belakang buku setebal 345
halaman ini tertulis kalimat “Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini
adalah mahkotanya”. Setuju. Sebab buku ini (sebagaimana buku karangan Tere Liye
lainnya) memberikan banyak pelajaran kehidupan. Termasuk pelajaran tentang
parenting. Salah satunya tentang mengisi jiwa anak.
Bagi Anda yang sudah maupun belum
membaca buku ini, izinkan saya menceritakan kembali salah satu bab-nya yang
berjudul “Untung-Rugi”.
Suatu
kali Pukat dan Burlian (adiknya) menemani Mamak mereka berjualan duku di pasar
kalangan. Pasar ini dibuka sejak pukul enam pagi selama empat jam saja di
sebuah lapangan. Hanya seminggu sekali adanya.
Para
pedagangnya menggunakan tikar, terpal, atau alas lainnya lantas sembarang
menghamparkan dagangannya. Nah karena panen duku keluarga pukat sangat melimpah
dan tak habis-habis meski sudah dimakan sendiri setiap hari dan dibagi-bagikan
ke tetangga, maka Mamak memutuskan menjualnya di pasar kalangan.
Datanglah
pembeli pertama.
“Buahnya
baru, bu?” tanyanya.
“Baru
dipetik kemarin.” Mamak mengangguk.
“Satu
tumpukan berapa?” Pembeli itu tertarik.
“Lima
ribu.”
“Tiga
ribu bisa tidak?”
Mamak
mengangguk ringan. Pukat terkejut. Langsung hilang rasa ngantuknya pagi itu.
Gampang sekali Mamak ditawar? Biasanya pedagang lain keras kepala tidak mau
mengalah dan pembelinya juga keras kepala memaksa.
“Murah
sekali, Mak?” Pukat berbisik protes.
“Biar
saja. Penglaris.” Mamak memasukkan tumpukan duku ke dalam kantong plastik lalu
memberikannya pada si pembeli. Pembeli itu tersenyum. Transaksi selesai.
Tak
lama kemudian dua pembeli lain mendekat. Ternyata masih terhitung saudara yang
tinggal di kampung lain.
“Duku
ladang sendiri, Kak Nung?”
Mamak
mengangguk.
“Tolong
bungkuskan dua tumpukan.”
Ternyata
Mamak menumpahkan lebih banyak duku ke dalam kantong plastik. Membuatnya hampir
dua kali lebih banyak dari yang diminta. Pembeli itu tertawa senang,
menyerahkan uang, transaksi selesai.
“Mak,
kenapa dikasih banyak sekali?” Pukat protes saat punggung pembeli tadi hilang
ditelan kerumunan pengunjung pasar.
“Biar
saja. Masih saudara kita, “ Mamak menjawab ringan. Baiklah, masih masuk akal,
semasuk akal saat pembeli pertama tadi.
“Ah,
mahal sekali. Di tempat sebelah harganya cuma dua ribu satu tumpukan.” Pembeli
berikutnya menawar. Mamak mengangguk sepakat, sama sekali tidak berniat menawar
balik, lalu menyuruh Pukat membungkuskannya. Pukat menggaruk kepalanya yang
tidak gatal lantas berbisik “Mana mungkin lapak sebelah menjual seharga itu.
Kita jual lima ribu saja itu sudah paling murah sedunia, Mak.”
“Biar
saja. Kita tidak rugi ini.”
“Rugi,
Mak! Seharusnya kita bisa menjual lebih mahal.” Protes Pukat.
“Kau
ini dari tadi pagi berisik.” Mamak melotot.
Pukat
menghela napas putus asa. “Bagaimana mungkin aku tidak berisik? Mamak melanggar
seluruh tata tertib standar berjualan di pasar kalangan.” Pikirnya.
Baru
pukul delapan, ternyata tiga keranjang duku yang dibawa sudah habis terjual.
“Gulanya
sekilo berapa?” Selesai jualan, Mamak membeli keperluan rumah tangga untuk
seminggu ke depan.
“Tiga
ribu delapan ratus. Ini gula putih kelas satu.” Si penjual menepuk-nepuk karung
gulanya.
Mamak
mengangguk, tersenyum, minta dibungkuskan dua kilogram. Pukat lagi-lagi menepuk
jidat. Kalau yang ini ia sudah tahu, ini kelakukan Mamak sejak dulu. Setiap
kali berbelanja, Mamak tidak pernah menawar harga yang diminta.
Setibanya
di rumah, terjadilah dialog antara Pukat dan Burlian (adiknya) dengan Bapak.
“Banyak
sekali contoh kebaikan sederhana di dunia ini yang semakin pudar, Pukat. Besok
lusa, saat kau melihat dunia, pindah dari kampung ini, kau akan melihat lebih
banyak lagi kebaikan-kebaikan kecil yang hilang, digantikan kesombongan dan
keserakahan hidup.” Bapak menyeka bibir, kopi luwaknya meninggalkan bekas.
“Pasar
misalnya. Jika kau memprotes cara Mamak kau berjualan tadi pagi, itu karena kau
masih memahami pasar sebagai tempat jual-beli. Untung-rugi. Mahal-murah. Kau
belum memahami pasar sebagai bagian kehidupan kita, tempat untuk berbuat
kebaikan, menebalkan rasa jujur dan prasangka baik. Oi, bukankah kau tahu,
agama kita meneladani begitu banyak adab bertransaksi yang indah di pasar?”
“Jual-beli
itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik, memberikan barang yang benar,
tanpa menipu, senang hati melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan,
niscaya ia mendapat keuntungan yang berlipat-lipat.” Lanjut Bapak.
“Tidak
mungkin! Bagaimana kita untung berlipat-lipat kalau menjual lebih murah?” Pukat
protes. Penjelasan bapak tidak bisa diterima oleh nalarnya.
“Itu
karena kau menghitung keuntungan yang terlihat saja. Oi, rasa senang yang
muncul dari proses kebaikan itu tidak bisa dibeli dengan uang segunung. Kalian
masih terlalu kecil untuk mengerti. Sayangnya, hari ini, esok-esok lusa, akan
lebih banyak orang dewasa yang tahu urusan ini, tetapi tetap pura-pura tidak
mengerti. Kalian tahu, hal ini juga berlaku sebaliknya. Barang siapa yang
membeli dengan santun, ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar,
nisacaya bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya
telah mendapatkan harga yang lebih murah......”
“Bagaimana
akan mendapatkan harga yang lebih murah kalau tidak ditawar, Pak?” Kali ini
Burlian yang menyela, menghentikan gerakan tangannya menyendok sup jagung.
“Kenapa
tidak? Itu bisa terjadi jika pedagang sudah datang dengan pemahaman yang baik,
menjual dengan harga yang baik, tidak menipu. Maka buat apa lagi pembeli
menawar?” Ucap bapak.
Itulah sedikit penggalan bab “Untung-Rugi”
dalam buku Si Anak Pintar.
Sebetulnya ada banyak lagi obrolan
antara Bapak maupun tokoh-tokoh lainnya dengan Pukat. Dan semua obrolan itu
berkesan. Sungguh sarat akan pelajaran kehidupan. Termasuk ketika Bapak
menjelaskan tentang hakikat sesungguhnya dari jual-beli dan cara bijak memandang
pasar yang sudah mulai pudar saat ini. Dan penjelasan Bapak itu rupanya melekat
kuat dalam diri Pukat hingga ia dewasa.
Begitulah ayah bunda yang baik,
sesungguhnya ngobrol adalah sarana yang sangat ampuh untuk mengisi jiwa
anak-anak kita dengan nilai-nilai kebaikan yang kelak akan menjadi bekal mereka
menjalani kehidupan ini. Sayangnya,
kegiatan ngobrol antara orang tua dengan anak ini mulai pudar, tergantikan oleh
kesibukan orang tua dan anak yang ngobrol dengan gadget-nya sendiri-sendiri.
“Ah,
setiap hari saya juga sudah ngomong kok sama anak saya, sudah saya nasehatin
ini itu, sampai capek mulut saya. Tapi anak sekarang itu memang susah dikasih
tau. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Matanya ke Hapeeee teruuusss.....dst
dst.....”
Nah, inilah pentingnya kita paham dulu
apa itu NGOBROL, terutama ngobrol yang enak. Sehingga tak perlu sampai berbusa-busa
mulut kita, namun setiap kata yang kita sampaikan bisa tertanam kuat di
jiwanya.
Pertama, ngobrol itu dua arah, kalau hanya
satu arah namanya ceramah. Kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya (baik
orang tua maupun anak) punya kesempatan yang sama untuk bicara.
Kedua, ngobrol itu gantian bukan
barengan. Kalau yang satu bicara, maka yang lain harus sabar mendengarkan.
Kalau semuanya sama-sama biacara, lantas siapa yang mendengarkan? Dan
mendengarkan ini ya benar-benar menyimak, bukan cuma sepintas lalu.
Ketiga, ngobrol itu posisi tubuh kita
setara, sama-sama berdiri, sama-sama duduk, atau sama-sama rebahan. Kalau yang
satu berdiri sementara yang satunya lagi duduk kan kasihan, yang berdiri bisa
kesemutan kakinya sementara yang duduk bisa pegel lehernya karena mendongak
terus hehehe...
Keempat, ngobrol itu supaya enak,
kondisikan tempat dan suasana yang enak pula. Matikan dulu TV di hadapan.
Singkirkan dulu gadget di genggaman. Kalau perlu sediakan camilan dan minuman.
Mungkin ada di antara kita yang
kesulitan ngobrol dengan anak karena memang tak terbiasa. Tapi yuk Bismillah kita
mulai ayah bunda. Mulai dengan niat yang baik. Mulai dengan bertanya yang
sederhana dulu saja, seperti
“Bagaimana
kabarmu hari ini, Nak?”
Atau “Nak, dulu waktu ayah/bunda masih seumurmu.......”
Atau “Apakah kamu kangen bertemu teman-teman dan guru-gurumu di sekolah?”
Dan lain-lain...
Mungkin terasa agak canggung. Tak
apa, ibarat naik sepeda, kita selalu butuh kayuhan pertama yang biasanya agak
berat terasa, tapi kayuhan-kayuhan berikutnya akan lebih ringan rasanya.
Mumpung juga kita lebih banyak di
rumah saja karena wabah corona. Sama-sama kita isi jiwa anak-anak kita dengan
nilai-nilai kebaikan dan pelajaran-pelajaran kehidupan. Salah satunya melalui
obrolan-obrolan. Sehingga kelak anak-anak kita bertumbuh secara utuh, dengan
jiwa dan raga yang tangguh. Sebelum waktu terus berputar, dan tak terasa mereka
bertambah besar, lalu terlanjur lebih dekat dengan teman-temannya di luar.
-Self reminder-
#cerita ramadhan dari rumah saja
Betul, Mbak.
BalasHapusMengobrol (dari hati ke hati) dengan anak bisa jadi cara bonding juga, mempererat ikatan orangtua dan anak.
Dicicil mulai anak kecil, biar nanti anak udah agak gedean "enggak lepas".
Bismillah.
Setuju sekali mbak Muna Fitria 😊👍
HapusSEMANGAT!!! 😀