Beberapa
waktu lalu seorang ibu bercerita pada saya bahwa anaknya didorong dan dipukul
kepalanya oleh temannya di sekolah......yang masih PAUD! Rupanya tidak hanya
anak si ibu itu yang pernah mengalami hal serupa di sekolah itu.
Lalu
saya tanya bagaimana respon gurunya. Si ibu berkata bila si anak ini menyakiti
temannya, maka gurunya akan mendekatinya dan menuntunnya untuk meminta maaf
pada temannya yang masih menangis karena kaget dan kesakitan. Si anak pun
meminta maaf sambil cengengesan (tidak
serius) dan setelah itu tetap mengulangi perbuatannya lagi. Begitu terus.
Hingga ibu-ibu wali murid lainnya sudah hafal dengan perilakunya, bahkan ada
yang menjulukinya preman-nya PAUD. Sedih hati saya mendengarnya, apalagi belum
genap balita sudah bisa menyakiti temannya.
Karena
masih penasaran, saya bertanya lagi tentang orang tua si anak. Lalu si ibu
bercerita bahwa ia kerap kali melihat ibu si anak ini membentak, meneriaki, dan
pernah juga mencubit anaknya, bahkan ketika sedang ada di depan ibu-ibu yang lain.
Bagaimana dengan ayahnya? Ayahnya tidak
pernah mengantar maupun menjemput si anak ke sekolah karena bekerja di luar
negeri.
Ayah
bunda sekalian, mungkin sudah berulang-ulang kali kita membaca, menonton,
melihat dan mendengar kasus-kasus bullying, atau bahkan mengalaminya sendiri,
entah kita yang mengalami atau anak-anak kita. Kecenderungan untuk menyakiti
atau menindas orang lain yang dirasa lebih lemah baik secara fisik maupun
verbal alias bullying bukanlah sesuatu yang ujug-ujug
(tiba-tiba) dilakukan oleh
seseorang. Pasti ada sejarahnya dan pastilah ada penyebabnya sehingga seseorang
(baik dewasa, remaja, apalagi anak-anak yang notabene masih suci bersih)
melakukan bullying. Bila penyebabnya ini terjadi ketika masih anak-anak dan
tidak segera diatasi, maka kemungkinan besar perilaku mem-bully akan berlanjut
hingga ia remaja bahkan dewasa.
Khusus
untuk kasus yang diceritakan seorang ibu di awal tulisan saya ini, saya percaya
bahwa si anak yang kerap kali menyakiti temannya ini bisa melakukan hal seperti
itu karena 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, ia pernah dan sering kali
melihat orang yang menyakiti orang lain. Kemungkinan kedua, ia yang menjadi
korban, pernah dan sering disakiti orang disekitarnya. Salah satu atau kedua
kemungkinan ini bisa membuat si anak MENIRU perilaku tersebut dan melakukannya
kepada teman sebaya atau yang dia rasa lebih lemah darinya. Dan ketika
mendengar bahwa ibu si anak juga kerap kali membentak, meneriaki, bahkan
mencubit si anak, maka tidak heran lah saya.
Meski
saya tidak kenal dengan ibu si anak itu, tapi saya yakin bahwa tidak ada ibu
waras di dunia ini yang punya keinginan dan sengaja menyakiti darah dagingnya sendiri.
Di samping karena kurangnya ilmu dan memiliki inner child yang tak bahagia, penyebab lain seorang ibu menyakiti
anaknya (entah dalam bentuk memarahi, membentak, mencubit, dll) adalah karena
ibu sedang lelah fisik, hati, jiwa, dan pikirannya.
Karena
itulah ibu yang juga manusia biasa sejatinya juga membutuhkan istirahat,
refreshing, me time, ganti suasana,
teman curhat, maupun bertemu orang lain. Dan di sinilah AYAH HARUS BERPERAN.
Tentu
ayah juga lelah dengan semua kesibukan dan ke-stres-an mencari nahkah. Tapi tak
usah lah mengukur siapa yang lebih lelah. Cukup dengan sadar dan sekuat tenaga
saling membantu, agar baik ayah maupun ibu sama-sama punya kesempatan untuk
me-refresh-kan diri. Tak harus dengan cara yang muluk-muluk atau mahal, bisa
dengan yang sederhana dan murah seperti ayah mengambil alih sejenak untuk
bermain atau mengurus anak-anak, sehingga ibu bisa mandi agar tubuh dan pikiran
lebih segar, bisa makan dulu (sebab logika tanpa logistik jadinya anarki
hehehe...), bisa sesekali facial, pijat, atau creambath di salon, bisa ikut
pengajian agar tambah ilmu dan bisa bertemu orang lain.
Atau
sesekali ayah mengajak ibu dan anak-anak naik motor keliling perumahan, makan
di luar, jalan-jalan di mall (nggak harus belanja, tapi kalau sambil belanja ya
lebih baik hehehe...), dll. Atau bisa juga dengan bersedia mendengarkan
curhatan dan cerita ibu seharian itu. Mungkin ibu akan bercerita ini dan itu, ngalor ngidul, dari satu tema lompat ke
tema yang lain (maklumlah perempuan memang diberi kapasitas berbicara lebih
banyak oleh Allah) tapi cukup dengarkan saja dengan penuh perhatian, maka ibu
akan merasa lega.
Intinya
adalah agar ibu merasa bahagia lahir dan batinnya. Sebab bila ibu bahagia, maka
seisi rumah akan ikut bahagia. Bila ibu bahagia, maka ibu bisa berpikir dan
bertindak lebih bijak dan waras, termasuk ketika menghadapi anak-anak. Tapi
jika ibu sedih, jenuh, sumpek, jengkel, dan stress maka seisi rumah akan kena
dampaknya juga. Termasuk berpotensi menciptakan pelaku bullying.
Dan
satu lagi yang menjadi perhatian saya dari cerita ibu itu, yakni kondisi long distance marriage. Tentu kondisi dan
kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda. Karena sesuatu dan lain hal ayah harus
tinggal terpisah dengan ibu dan anak-anak. Tapi tolong diusahakan
sungguh-sungguh semaksimaaaal mungkin agar ayah bisa tinggal bersama ibu dan
anak-anak. Terutama dengan ibu.
Mungkin
ini terdengar agak tabu, tapi kita yang sudah dewasa apalagi sudah berumah
tangga sama-sama tahu bahwa kita memiliki satu kebutuhan biologis yang sama
pentingnya seperti makan, yakni kebutuhan untuk berhubungan suami-istri. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi dengan baik, maka akan membawa dampak negativ
baik bagi suami maupun istri, seperti perasaan tidak tenang, tidak semangat,
stress, cenderung mudah marah, dll. Yang juga bisa berdampak pada anak-anak.
Jadi
ayah bunda, usahakanlah untuk berkumpul dan tinggal dalam satu rumah, saling
menolong, saling support, saling meringankan, saling menyayangi, saling
mendoakan, saling mengingatkan agar anak-anak tumbuh utuh dan bahagia jiwa dan raganya. Dan agar rantai bullying itu bisa terputus.
Semoga
bermanfaat.