Sabtu, 24 Februari 2018

MEMUTUS MATA RANTAI BULLYING

Beberapa waktu lalu seorang ibu bercerita pada saya bahwa anaknya didorong dan dipukul kepalanya oleh temannya di sekolah......yang masih PAUD! Rupanya tidak hanya anak si ibu itu yang pernah mengalami hal serupa di sekolah itu.

Lalu saya tanya bagaimana respon gurunya. Si ibu berkata bila si anak ini menyakiti temannya, maka gurunya akan mendekatinya dan menuntunnya untuk meminta maaf pada temannya yang masih menangis karena kaget dan kesakitan. Si anak pun meminta maaf sambil cengengesan (tidak serius) dan setelah itu tetap mengulangi perbuatannya lagi. Begitu terus. Hingga ibu-ibu wali murid lainnya sudah hafal dengan perilakunya, bahkan ada yang menjulukinya preman-nya PAUD. Sedih hati saya mendengarnya, apalagi belum genap balita sudah bisa menyakiti temannya.

Karena masih penasaran, saya bertanya lagi tentang orang tua si anak. Lalu si ibu bercerita bahwa ia kerap kali melihat ibu si anak ini membentak, meneriaki, dan pernah juga mencubit anaknya, bahkan ketika sedang ada di depan ibu-ibu yang lain. Bagaimana dengan  ayahnya? Ayahnya tidak pernah mengantar maupun menjemput si anak ke sekolah karena bekerja di luar negeri.

Ayah bunda sekalian, mungkin sudah berulang-ulang kali kita membaca, menonton, melihat dan mendengar kasus-kasus bullying, atau bahkan mengalaminya sendiri, entah kita yang mengalami atau anak-anak kita. Kecenderungan untuk menyakiti atau menindas orang lain yang dirasa lebih lemah baik secara fisik maupun verbal alias bullying bukanlah sesuatu yang ujug-ujug (tiba-tiba) dilakukan oleh seseorang. Pasti ada sejarahnya dan pastilah ada penyebabnya sehingga seseorang (baik dewasa, remaja, apalagi anak-anak yang notabene masih suci bersih) melakukan bullying. Bila penyebabnya ini terjadi ketika masih anak-anak dan tidak segera diatasi, maka kemungkinan besar perilaku mem-bully akan berlanjut hingga ia remaja bahkan dewasa.

Khusus untuk kasus yang diceritakan seorang ibu di awal tulisan saya ini, saya percaya bahwa si anak yang kerap kali menyakiti temannya ini bisa melakukan hal seperti itu karena 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, ia pernah dan sering kali melihat orang yang menyakiti orang lain. Kemungkinan kedua, ia yang menjadi korban, pernah dan sering disakiti orang disekitarnya. Salah satu atau kedua kemungkinan ini bisa membuat si anak MENIRU perilaku tersebut dan melakukannya kepada teman sebaya atau yang dia rasa lebih lemah darinya. Dan ketika mendengar bahwa ibu si anak juga kerap kali membentak, meneriaki, bahkan mencubit si anak, maka tidak heran lah saya.

Meski saya tidak kenal dengan ibu si anak itu, tapi saya yakin bahwa tidak ada ibu waras di dunia ini yang punya keinginan dan sengaja menyakiti darah dagingnya sendiri. Di samping karena kurangnya ilmu dan memiliki inner child yang tak bahagia, penyebab lain seorang ibu menyakiti anaknya (entah dalam bentuk memarahi, membentak, mencubit, dll) adalah karena ibu sedang lelah fisik, hati, jiwa, dan pikirannya.

Karena itulah ibu yang juga manusia biasa sejatinya juga membutuhkan istirahat, refreshing, me time, ganti suasana, teman curhat, maupun bertemu orang lain. Dan di sinilah AYAH HARUS BERPERAN.

Tentu ayah juga lelah dengan semua kesibukan dan ke-stres-an mencari nahkah. Tapi tak usah lah mengukur siapa yang lebih lelah. Cukup dengan sadar dan sekuat tenaga saling membantu, agar baik ayah maupun ibu sama-sama punya kesempatan untuk me-refresh-kan diri. Tak harus dengan cara yang muluk-muluk atau mahal, bisa dengan yang sederhana dan murah seperti ayah mengambil alih sejenak untuk bermain atau mengurus anak-anak, sehingga ibu bisa mandi agar tubuh dan pikiran lebih segar, bisa makan dulu (sebab logika tanpa logistik jadinya anarki hehehe...), bisa sesekali facial, pijat, atau creambath di salon, bisa ikut pengajian agar tambah ilmu dan bisa bertemu orang lain.

Atau sesekali ayah mengajak ibu dan anak-anak naik motor keliling perumahan, makan di luar, jalan-jalan di mall (nggak harus belanja, tapi kalau sambil belanja ya lebih baik hehehe...), dll. Atau bisa juga dengan bersedia mendengarkan curhatan dan cerita ibu seharian itu. Mungkin ibu akan bercerita ini dan itu, ngalor ngidul, dari satu tema lompat ke tema yang lain (maklumlah perempuan memang diberi kapasitas berbicara lebih banyak oleh Allah) tapi cukup dengarkan saja dengan penuh perhatian, maka ibu akan merasa lega.

Intinya adalah agar ibu merasa bahagia lahir dan batinnya. Sebab bila ibu bahagia, maka seisi rumah akan ikut bahagia. Bila ibu bahagia, maka ibu bisa berpikir dan bertindak lebih bijak dan waras, termasuk ketika menghadapi anak-anak. Tapi jika ibu sedih, jenuh, sumpek, jengkel, dan stress maka seisi rumah akan kena dampaknya juga. Termasuk berpotensi menciptakan pelaku bullying.

Dan satu lagi yang menjadi perhatian saya dari cerita ibu itu, yakni kondisi long distance marriage. Tentu kondisi dan kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda. Karena sesuatu dan lain hal ayah harus tinggal terpisah dengan ibu dan anak-anak. Tapi tolong diusahakan sungguh-sungguh semaksimaaaal mungkin agar ayah bisa tinggal bersama ibu dan anak-anak. Terutama dengan ibu.

Mungkin ini terdengar agak tabu, tapi kita yang sudah dewasa apalagi sudah berumah tangga sama-sama tahu bahwa kita memiliki satu kebutuhan biologis yang sama pentingnya seperti makan, yakni kebutuhan untuk berhubungan suami-istri. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi dengan baik, maka akan membawa dampak negativ baik bagi suami maupun istri, seperti perasaan tidak tenang, tidak semangat, stress, cenderung mudah marah, dll. Yang juga bisa berdampak pada anak-anak.

Jadi ayah bunda, usahakanlah untuk berkumpul dan tinggal dalam satu rumah, saling menolong, saling support, saling meringankan, saling menyayangi, saling mendoakan, saling mengingatkan agar anak-anak tumbuh utuh dan bahagia jiwa dan raganya. Dan agar rantai bullying itu bisa terputus.


Semoga bermanfaat.