Suatu hari saya dibuat ter-hahahihi sekaligus
terinspirasi oleh pemaparan dari budayawan Sujiwo Tejo dalam talkshow ILC bertema
“Apa dan siapa yang radikal?” terutama pernyataannya tentang pancasila.
Pernyataannya itu ia tujukan untuk menanggapi pernyataan narasumber sebelumnya
yakni Irfan Idris Direktur Deradikalisasi BNPT yang mengatakan “Boleh pakai cadar yang penting jangan anti
pancasila” .
Sujiwo Tejo berkata “...Pertanyaan saya sekarang, pancasila itu ada
nggak sih? Bagi saya nggak ada pak, jujur, yang ada gambar garuda pancasila
ada, teks pancasila ada, tapi pancasila itu nggak ada. Siapa yang mau anti
terhadap sesuatu yang nggak ada??? Kalau pancasila itu ada, air kita nggak
beli, lapangan kerja gampang, perusahaan-perusahaan saldonya nol, karena nggak
mengejar keuntungan. Harta tidak ditulis harta, tapi titipan Tuhan.... Itu baru
pancasila....Jadi definisi radikal jangan yang anti pancasila pak, anti sesuatu
yang ada gitu lho pak.... Pancasila nggak ada menurut saya. Kalau ada, masak
iuran kesehatan masyarakat sampai kejet-kejet karena diancam nggak boleh
memperpanjang SIM, nggak boleh memperpanjang paspor....”
Tak hanya dibuat tertawa karena gaya
pemaparannya yang jenaka dan sungguh sangat benar adanya, tetapi saya juga jadi
terinspirasi, sebab menurut hemat saya, tak banyak yang mampu berpikir kritis terhadap sesuatu dan berani mengutarakannya apalagi di depan banyak orang.
Mengapa demikian?
Sebab berpikir kritis dan berani
menyuarakannya adalah keterampilan yang penting untuk dimiliki dalam hidup
namun tak bisa ujug-ujug ada pada
diri seseorang. Keduanya harus dipupuk dan ditempa sejak dini.
Caranya?
Nah ayah bunda yang baik, tentang
caranya, izinkan saya berbagi salah satu bab dalam buku cerita terkenal asal
negeri sakura yang terinspirasi dari kisah nyata berjudul Toto-chan karangan Tetsuko Kuroyanagi. Salah satu bab itu berjudul
“Lalu... uh...”.
Toto-chan adalah seorang anak
perempuan usia sekolah dasar kelas 1 yang bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah
dengan sistem belajar mengajar yang sangat unik. Salah satu kebiasaan di
sekolah itu ketika jam istirahat ialah semua murid akan berkumpul di aula, lalu
duduk membentuk satu lingkaran besar, kemudian menyanyikan lagu “Yuk kunyah
baik-baik semua makananmu” bersama-sama, setelah itu barulah mereka makan bekal
mereka masing-masing.
Suatu hari ketika jam istirahat dan
anak-anak sedang memakan bekal mereka, Mr. Kobayasi sang kepala sekolah berkata
pada mereka “Kurasa kita semua harus
belajar berbicara lebih baik. Bagaimana menurut kalian? Mulai sekarang,
sementara makan siang, kita akan meminta seseorang bergantian dengan yang lain
berdiri di tengah lingkaran dan menceritakan sesuatu kepada kita...”
Ada anak yang merasa tak pandai
bicara, tapi senang mendengarkan anak lain berbicara di depan. Ada pula yang
senang bisa menceritakan sesuatu yang mereka ketahui kepada orang lain.
Lalu kepala sekolah melanjutkan “Kalian tak perlu merasa harus jadi pembicara
yang baik. Kalian boleh berbicara tentang apa saja. Kalian boleh berbicara
tentang apa yang ingin kalian lakukan. Apa saja. Tapi yang penting, mari kita coba
dulu.”
Anak-anak segera mendapati bahwa
tidak seperti mengobrol dengan dua-tiga kawan sambil makan siang, berdiri di
depan seisi sekolah membutuhkan keberanian dan ternyata cukup sulit. Meski
demikian kegiatan baru itu berjalan lancar, sampai pada suatu hari anak yang
mendapat giliran maju menolak keras-keras “Aku
tak punya sesuatu untuk diceritakan!” katanya. Kepala sekolah pun mendekati
meja anak itu.
“Jadi...kau
tak punya sesuatu untuk diceritakan?” tanya kepala sekolah.
“Ya”
jawab anak itu singkat.
Kepala sekolah tertawa
terbahak-bahak, tak peduli giginya sudah ompong.
“Ayo
kita coba cari sesuatu untuk kau ceritakan”
“Mencari
sesuatu untuk kuceritakan????”
“Coba
kau ingat-ingat apa yang kau lakukan tadi pagi setelah bangun dan sebelum
berangkat ke sekolah. Apa yang mula-mula kau lakukan?”
“Hmmm....”
anak itu memulai, lalu berhenti dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Bagus!
Kau bilang ‘hmmm...’, jadi kau pasti punya sesuatu untuk dikatakan. Apa yang
kau lakukan setelah ‘hmmm’?”
“Hmm...uh...aku
bangun tidur,” katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya lebih keras.
Toto-chan dan anak-anak lain merasa
geli tapi tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.
Anak itu melanjutkan “Lalu...uh...” dia menggaruk-garuk
kepalanya lagi. Kepala sekolah duduk dan menunggu dengan sabar, memperhatikan
anak itu. Wajahnya kepala sekolah tersenyum, tangannya tertumpang di meja,
kemudian dia berkata “Bagus sekali! Itu
sudah cukup. Kau bangun tidur tadi pagi. Kau telah membuat semua yang ada di
sini mengerti itu. Kau tidak harus pandai melucu atau membuat orang tertawa
untuk menjadi pembicara yang baik. Yang penting, kau tadi bilang tak punya
sesuatu untuk diceritakan, tapi nyatanya kau punya sesuatu untuk bisa kau
ceritakan.”
Tapi rupanya anak laki-laki itu
tidak segera duduk. Dia malah berkata dengan suara sangat keras “Lalu...uuuh...”
Semua anak mencondongkan badan ke
depan. Anak laki-laki itu menarik napas panjang lalu melanjutkan “Lalu...uh...mama...uh...berkata...’gosok
gigimu’...uh...lalu aku gosok gigiku”
Kepala sekolah bertepuk tangan.
Semua ikut bertepuk tangan. Mendengar tepuk tangan itu, anak laki-laki itu
melanjutkan, dengan suara yang semakin keras “Lalu...uh...”
Anak-anak berhanti bertepuk tangan.
Mereka menyimak sambil menahan nafas. Tubuh mereka semakin condong ke depan.
Akhirnya anak laki-laki itu berkata dengan nada penuh kemenangan “Lalu...uh...aku sampai di sekolah!!!”
Salah satu anak dari kelas yang
tinggi mencondongkan tubuhnya terlalu ke depan sampai-sampai kehilangan
keseimbangan. Mukanya pun terantuk kotak bekalnya. Tapi semua senang sekali
karena anak laki-laki itu berhasil menemukan sesuatu untuk diceritakan.
Kepala sekolah bertepuk tangan
dengan penuh semangat, begitu pula Toto-chan dan anak-anak lain. Bahkan anak
laki-laki “Lalu...uh...” yang masih berdiri di tengah mereka, ikut bertepuk
tangan. Bunyi tepuk tangan riuh memenuhi aula. Sampai dewasa, anak itu mungkin
tak akan pernah melupakan suara tepuk tangan itu.
Saya pun ikut bertepuk tangan dengan
mata berkaca-kaca ketika membaca bab ini hehehe....
Nah ayah bunda yang baik, pada kenyataannya,
berpikir dan mengutarakan apa yang kita pikirkan itu di hadapan banyak orang
memang tidak mudah. Tak semua kita mampu melakukannya. Apalagi bila hal ini tak
pernah dilatih, sejak dini, terutama di rumah.
Barangkali ayah terlalu sibuk mencari
nafkah, pulang sudah dalam keadaan lelah, lalu di rumah masih asyik ber-gadget
dengan kuota murah meriah, sementara ibu sibuk mengurus setumpuk pekerjaan
rumah (dan pekerjaan kantor juga barangkali). Tidak ada yang bertanya pada
anak-anak sehingga memancing mereka untuk berpikir dan berbicara. Kalaupun ada
yang disampaikan kepada mereka biasanya hanyalah kalimat-kalimat satu arah saja.
Padahal mungkin saja paling tidak
sekali dalam hidup ini kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus
menyampaikan pendapat kita di depan banyak orang.
Jadi ayah bunda yang baik, yuk mulai
kita biasakan di rumah untuk melakukan apa yang dilakukan Mr. Kobayashi kepala
sekolah Tomoe Gakuen kepada anak laki-laki “Lalu...uh...” tersebut, yaitu
memberikan kesempatan pada anak-anak kita untuk bercerita tentang apa saja pada
kita, memancing kata-kata untuk bisa mereka keluarkan dengan memberikan
pertanyaan, dan menghargai betul bahkan setiap bunyi yang keluar dari lisan,
serta tak lupa mengapresiasinya sesederhana apapun cerita mereka. Sehingga
kelak bila situasi itu datang, mereka mampu berpikir tajam dan menyampaikan
pemikiran mereka di hadapan banyak orang dengan penuh keberanian.
Semoga bermanfaat.