Rabu, 11 September 2019

PENTINGNYA NGOBROL ENAK DENGAN ANAK



Masih tentang mengajari anak bicara.

Izinkan saya membawa anda flashback ke tahun 2004. Tahun di mana saya menjadi mahasiswa baru di sebuah universitas. Ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya dan masih saya ingat sampai sekarang.

Saat itu, sebagai mahasiswa baru, saya dan teman-teman se-angkatan diwajibkan untuk mengikuti acara malam keakraban selama dua hari satu malam di sebuah daerah wisata alam. Acara ini bertujuan untuk membuat kami saling mengenal satu angkatan, mengenal kakak-kakak senior kami, mengenal dosen-dosen kami, dan mengenal apa saja yang akan kami pelajari selama berkuliah nanti.

Hari pertama acara berjalan menarik. Banyak ilmu yang kami dapatkan melalui pemberian materi dan games-games seru. Malamnya acara ditutup dengan api unggun dan penampilan dari kami yang sudah dibagi dalam beberapa kelompok. Selepas acara api unggun, kami dipersilahkan istirahat di tenda peserta.

Karena banyaknya persiapan yang harus kami lakukan, lelahnya perjalanan dari kampus hingga tempat tujuan, dan padatnya acara hari itu, kami pun tertidur pulas. Tiba-tiba, bak petir di siang bolong, dini hari kami dikagetkan oleh kegaduhan dari para senior yang masuk ke tenda peserta dan membentak-bentak kami untuk segera bangun dan keluar dengan cepat. Dengan setengah sadar dan agak linglung kami bangun lalu bergegas bersepatu dan keluar dari tenda. Kami pun disuruh berbaris di dekat bekas api unggun. 

Para senior terus membentaki kami. Tak sedikit pula hujatan dan makian yang mereka lontarkan pada kami. Singkat cerita, kata mereka, ada salah satu teman kami yang kedapatan membawa botol minuman keras di tas nya. Dan mereka meminta pertanggungjawaban kami semua. Dalam keadaan kedinginan, kelelahan dan pikiran yang masih loading karena dibangunkan secara mendadak, tidak ada dari kami yang menjawab. Kami belum bisa berpikir dengan utuh. Para senior terus menekan dengan bentakan-bentakan. Sampai akhirnya ada salah seorang teman kami yang sungguh berani mengacungkan tangan. Walaupun dengan kondisi yang belum loading sepenuhnya juga, ia berkata “Kalau yang kedapatan membawa botol minuman keras adalah satu orang, kenapa yang disuruh bertanggung jawab malah satu angkatan, bukan kah kami menyiapkan tas kami sendiri-sendiri di rumah masing-masing, jadi jelas itu bukan tanggung jawab kami dan silahkan minta pertanggungjawaban pada yang bersangkutan!”

Kemampuannya memikirkan jawaban yang masuk akal dan keberaniannya untuk mengungkapkan walau ditekanan bertubi-tubi secara psikologis oleh banyak orang itu begitu berkesan bagi saya, sebab tak semua orang mampu begitu. Banyak juga yang tak mampu bergagasan atau berpikir kritis terhadap sesuatu yang terjadi. Dan tidak sedikit pula yang sejatinya bisa berpikir namun tak cukup berani untuk berbicara tentang kebenaran sehingga lebih memilih diam saja agar “selamat”. Padahal kemampuan berpikir dengan kritis dan keberanian menyampaikan pendapat adalah dua bekal penting yang perlu dimiliki setiap manusia agar tak mudah terseret arus apa-apa yang sedang hits saat ini dan mampu survive dalam hidup.

Nah, kedua bekal itu tentu tak bisa langsung muncul pada diri seseorang. Ia adalah hasil dari sebuah proses panjang pemupukan dan pembelajaran tentang kemampuan berpikir dan keberanian berpendapat. Sehingga tentu akan lebih baik bila proses pembelajaran dan pemupukan ini dimulai sejak seseorang masih anak-anak.

Oleh siapa?
Tentu saja yang utama adalah oleh kita semua, orang tuanya.

Caranya?
Salah satunya ialah dengan NGOBROL bersama anak.

Mengapa mengobrol?
Sebab dengan ngobrol, selain kedekatan dan komunikasi di antara orang tua dan anak dapat terbangun dengan baik, sejatinya kita sedang memancing mereka untuk berpikir dan memberikan kesempatan pada mereka untuk membicarakan pemikirannya. Tentu saja ngobrol nya haruslah ngobrol yang enak. Yang seperti apakah itu? Mari kita lihat pada diri ayah bunda.

Pertama, ketika ayah bunda sedang ngobrol, lebih enak jika ayah bunda sama-sama duduk atau yang satu duduk sementara yang satu lagi berdiri? Tentu akan lebih nyaman jika ayah dan bunda sama-sama duduk, bukan? Apalagi dengan santai dan dengan pandangan mata atau eye level yang sejajar.

Kedua, ketika ayah bunda sedang ngobrol, apakah lebih nyaman bila ayah bunda saling menatap atau salah satu sedang melihat yang lain seperti sedang melihat HP atau televisi? Sudah barang tentu lebih nyaman kalau ayah bunda saling menatap kan? Sebab ayah bunda akan merasa didengarkan, dihargai dan tidak dianggap sambil lalu saja.

Ketiga, ketika ayah bunda sedang ngobrol, lebih enak jika pembicaraannya terjadi dua arah (artinya baik ayah maupun bunda punya kesempatan yang sama untuk berbicara) atau satu arah saja? Saya yakin ayah bunda akan memilih pembicaraan dua arah, sebab kalau hanya salah satu pihak saja yang terus-terusaaaaan bicara sementara yang lain tidak diberi kesempatan, maka itu bukanlah ngobrol melainkan pidato.

Dan keempat, ayah bunda lebih suka ngobrol berjauh-jauhan misalnya yang satu di dapur dan yang satu di teras depan atau ngobrolnya berdekatan? Jelas pasti memilih ngobrol berdekat-dekatan ya, sebab bisa sambil saling berhadapan, saling melihat, perhatian akan lebih fokus, dan tidak perlu berteriak-teriak hehehe...

Jadi, sudah pernah kah ayah bunda ngobrol dengan anak? Semoga ayah bunda semua menjawab “Sudaaaaah” bahkan “Seriiiiiiing” atau “Setiap hariiiiii”. Sebab tak sedikit orang tua yang lebih suka pidato panjang lebar dengan anak, dengan posisi berjarak, lalu orang tua berdiri kalau perlu kedua tangan di pinggang sementara anaknya duduk dan harus mendongak ke atas, atau anaknya sedang berusaha untuk membuka obrolan dengan bercerita tentang temannya atau apa yang sedang menarik perhatiannya, namun orang tuanya justru fokus pada HP atau pada acara di televisi. Bila ayah bunda yang ada di posisi anak, apakah ayah bunda masih akan suka ngobrol dengan orang tua yang seperti itu? Dan bila yang seperti itu terjadi terus menerus, maka lama-kelamaan hubungan ayah bunda dengan anak bisa makin menjauh walaupun tinggal dalam satu rumah dan setiap hari bertemu, dan tak usah heran bila di suatu titik waktu nanti ayah bunda merasa tidak paham dengan kemauan anak bahkan merasa tidak mengenal mereka lagi, atau bahkan anak-anak menjadi mudah sekali terseret arus ini dan itu yang sedang hits hanya karena teman-temannya begitu, yang belum tentu arus itu bermanfaat bagi mereka bahkan bisa merugikan diri mereka sendiri. Na’udzubilllahimindzalik...

Dengan demikian ayah bunda yang baik, yuk biasakan ngobrol yang enak dengan anak-anak, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang mampu berpikir kritis, berani menentukan pilihan sikap, dan tak takut menyuarakannya. Mulai saja dengan bertanya pada mereka dan dengarkan dengan segenap jiwa raga jawaban-jawabannya.

Semoga bermanfaat.