Rabu, 26 Desember 2018

AYAH BUNDA, APAKAH KITA MENGENALI ANAK KITA SENDIRI?



Sebuah pertanyaan super penting yang patut kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Mumpung sedang berada di penghujung tahun dan hendak berganti tahun yang baru. Meski sebetulnya tak harus menunggu pergantian tahun.

Mengapa saya sebut super penting?

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton sebuah film bertajuk “SEARCHING”. Bagi Anda yang belum menontonnya, izinkanlah saya bercerita sedikit tentang film produksi Bazelevs Company, Screen Gems, dan Stage 6 Films ini tanpa membocorkan ending ceritanya yang mengejutkan agar Anda tetap penasaran dan akhirnya memutuskan untuk menontonnya juga hehehe....

Film bergenre thriller yang disutradarai oleh Aneesh Chaganty ini berkisah tentang seorang ayah bernama David Kim yang tengah mencari putrinya bernama Margot yang tiba-tiba menghilang.

Awalnya David hidup bahagia bersama istrinya (Pam) dan Margot. Mereka rajin sekali merekam moment-moment bahagia, terutama sejak Margot lahir dan melengkapi kehidupan mereka. Namun suasana mulai berubah ketika Pam dinyatakan mengidap kanker. Meski sempat berjuang bersama, akhirnya Pam meninggal dunia. Dan mulai lah sejak saat itu hanya ada David dan Margot.

Meski tinggal serumah, David dan Margot lebih sering berkomunikasi via smartphone, baik chat maupun video call. David merasa semua baik-baik saja. Hingga suatu hari David menelpon Margot via video call. Margot mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah salah satu temannya untuk belajar biologi bersama. Margot berjanji akan pulang meski larut malam. Ternyata keeseokan paginya Margot tak ada di rumah. David mencoba menelpon Margot, namun selalu masuk ke kotak pesan. Ia terus mengirim pesan teks pada Margot, namun pesan-pesannya tak kunjung dibalas. Mulai lah David merasa khawatir.

Kekhawatiran David bertambah, manakala ia menemukan bahwa Margot yang harusnya saat itu sedang les piano, ternyata ia tak ada di tempat les dan bahkan gurunya memberi tahu David bahwa Margot sudah berhenti les sejak enam bulan yang lalu! David sungguh terkejut karena ia tidak tahu manahu akan hal ini, apalagi ia masih terus memberikan uang les piano pada Margot.

Karena tak kunjung mendapat kabar dari Margot, David memutuskan untuk menghubungi polisi. Polisi pun membantu menemukan Margot melalui detektiv Rosemary Vick.

Detektiv Vick meminta David untuk mulai mengumpulkan informasi tentang keberadaan Margot melalui teman-temannya. Ternyata David baru sadar bahwa ia sama sekali tidak tahu siapa teman-teman Margot! Syukurlah Margot meninggalkan laptopnya di dapur dan David pun mulai menelusuri teman-teman Margot melalui laptop Margot dan akun media sosialnya. Dimulai dari facebook Margot, tapi David tidak tahu apa password akun facebook Margot. Dan setelah berusaha keras, akhirnya David bisa masuk ke dalam facebook Margot dan mulai menghubungi teman-temannya.

Selama masa pencarian, dengan dibantu polisi, fakta demi fakta tentang Margot  tak henti-hentinya membuat David terkejut. Melalui detektiv Vick, David mendapat informasi bahwa pada malam di mana Margot berjanji akan pulang selepas kerja kelompok biologi, rupanya Margot justru berkendara ke luar kota. Tak hanya itu, polisi bahkan menemukan bahwa uang piano yang selama ini diberikan oleh David justru disimpan oleh Margot di bank lalu Margot mentransfer uang itu ke sebuah rekening yang ternyata juga milik Margot sendiri. Semacam alur yang biasa terjadi pada praktek pencucian uang dan biasa digunakan juga oleh para pemakai narkoba.

Hari demi hari berlalu. Kejadian hilangnya Margot pun menjadi viral di dunia maya dengan berbagai macam tagar. Beragam komentar dari netizen mengalir, mulai dari dukungan, ungkapan turut berduka hingga menyalahkan David yang tidak bisa melindungi Margot bahkan ada juga yang beranggapan bahwa David menculik putrinya sendiri.

Di tengah keputusasaan karena tak kunjung mendapat titik cerah dari keberadaan Margot, David berkata pada Detektiv Vick:

I don’t know her...I don’t know my daughter....

Bagi saya, pernyataan David ini adalah titik penting dari film ini sekaligus alarm bagi kita para orang tua.

Apakah kita sungguh mengenali anak-anak kita?

Meski mereka buah dari sperma dan sel telur kita, lahir dari rahim kita, sehari-hari bersama kita, tinggal di rumah yang sama dengan kita, dll...apakah kita sungguh mengenali mereka? Tentu hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya....dengan jujur.

Suatu hari seorang ibu dibuat terkejut sebab pagi-pagi ia mendapati putranya tergeletak di teras rumah dan ketika ibu itu mencoba membangunkannya, putranya malah muntah-muntah. Rupanya putranya mabuk setelah semalam dugem. Dan ternyata ibu itu tidak pernah tahu kalau putranya kerap kali dugem apalagi sampai mabuk.

Di lain kesempatan, seorang ibu lain bercerita dengan penuh kebanggan bahwa anak laki-lakinya ketika TK dulu sudah hafal banyak surat pendek bahkan seringkali jadi imam ketika sholat bersama teman-teman TK nya. Dan dengan penuh keyakinan pula si ibu berkata pada saudara-saudaranya bahwa sudah tertanam ketakwaan pada diri anak laki-lakinya itu sejak kecil. Sementara si ibu tidak pernah tahu bahwa kini ketika sudah dewasa, anak laki-lakinya itu justru malas sekali membaca Al Quran, sering menunda-nunda sholat, bahkan pernah mengkhianati istrinya.

Beberapa waktu yang lalu pun seorang artis senior tanah air dibuat terkejut bukan kepalang ketika polisi menangkap anak dan saudara-saudaranya sedang menikmati narkoba bersama-sama. Sementara selama ini yang ia tahu adalah anaknya baik-baik saja.

Astaghfirullahaladzim......

Ayah bunda yang baik, kita ini memang bukan cctv yang bisa memantau anak kita 24 jam, dan sungguh memang yang paling mengenali anak kita hanyalah dirinya sendiri dan Tuhan.

Akan tetapi ayah bunda, bagaimana pun juga kita ini adalah orang tua dari anak-anak kita. Kita lah yang akan dihisab pertama kali alias paling dimintai pertanggungjawaban tentang anak kita oleh Allah SWT kelak. Sehingga kita memang patut bertanya pada diri kita masing-masing, apakah saya sungguh kenal pada anak saya sendiri?

Apalagi di era teknologi yang kian pesat seperti sekarang, smartphone dan internet kerap kali menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Gadget beserta beragam aplikasinya macam games, media sosial, portal berita, dll di dalamnya membuat kita tahu bahkan selalu update dengan kejadian-kejadian yang jauh dari kita, namun justru abai pada hal-hal yang ada di dekat kita. Kita menjadi akrab dengan orang-orang yang berada jauh dari kita, tapi kita jarang sekali berkomunikasi bahkan tidak begitu kenal pada orang yang tinggal serumah dengan kita. Bisa jadi kita pun seperti David, tidak tahu password media sosial anak kita, tidak kenal siapa teman-teman dekatnya, tidak tahu apa aktivitas mereka, dll. Padahal kita serumah dengan mereka!

Jadi ayah bunda, di momentum penghujung tahun ini, ketimbang kita merayakannya dengan pesta hura-hura dan hingar bingar panggung musik serta terompet dan kembang api, alangkah jauuuuuuh lebih baik bila kita gunakan untuk bermuhasabah dan evaluasi diri, baik sebagai suami, sebagai istri, sebagai pribadi, dll termasuk sebagai orang tua dari anak-anak kita. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri dan jawab dengan jujur apa adanya. Sujud dengan sujud terdalam untuk memohon ampunanNya dan Minta pada Nya agar Dia membimbing kita untuk memperbaiki semuanya.

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 01 Desember 2018

AYAH BUNDA BOLEH MARAH KOK, ASALKAN...



Beberapa waktu lalu tetangga dekat rumah memarahi anaknya yang masih balita. Suara kerasnya terdengar sampai rumah saya dan nada bicaranya yang membentak-bentak membuat si anak tak berhenti menangis. Saya yang saat itu sedang membersihkan halaman depan hanya bisa mengelus dada sambil berkata dalam hati “Tega juga ibunya marah-marah begitu. Padahal anaknya sangat lucu dan menggemaskan sekali...”.

Seketika itu juga Allah langsung menyentil saya dan seolah berkata “Memangnya kamu nggak pernah memarahi dan membentak anakmu???”

O iya ya....langsung tepok jidat... dan istighfar banyak-banyak...

Ayah bunda sekalian, tentang marah ini, ada pertanyaan untuk Anda (dan tentu juga untuk saya)...

Misalnya saja, Pak Presiden memiliki anak yang masih kecil lalu menitipkannya pada Anda, berani tidak Anda memarahi dan membentaknya, apalagi sampai mencubit atau memukulnya?

Saya yakin ayah bunda akan kompak menjawab “Ya enggak laaaaaaaah...yang benar saja.....”. Saya pun demikian.

Kalau saya tanya lagi, kenapa?

Besar kemungkinan Anda juga akan kompak menjawab “Ya karena itu kan anak orang lain, bukan anak saya, anaknya presiden lagi....mana berani saya menyakitinya...”

Nah, di sinilah poin menariknya.

Kita (terutama yang punya “bakat” marah) bisa jadi akan dengan mudah mengomeli, mengata-ngatai anak dengan kasar, membentak, mencubit, menjewer, bahkan memukul anak kita sendiri. Apalagi ketika kita sedang lelah lahir dan batin, sedang stres, sedang jenuh bin penat, sedang ada masalah dengan pasangan, sedang ada masalah di kantor, dll. Kesalahan keciiiiil saja yang dilakukan oleh anak kita bisa membuat kita “meledak”.

Tapi bila yang melakukan kesalahan itu adalah anak presiden, hampir pasti kita tidak akan berani memarahinya. Apalagi bila Pak Presidennya ada di situ juga dan melihat. Barangkali kita akan berkata “Ah...nggak apa-apa kooooook...namanya juga anak-anak ya kaaaaan...” sambil dipaksa-paksakan tersenyum dan sekuaaaaaaat tenaga meredam emosi.

Padahal ayah bunda...

Sadarkah kita...

Bahwa yang kita lahirkan, yang setiap hari ada di rumah, di dekat kita, dan kita sebut sebagai anak kita itu SESUNGGUHNYA juga BUKAN milik kita.

Anak-anak itu adalah MILIK ALLAH, Presiden dari segala presiden, dan Raja dari segala raja. Kita ini hanya dititipi saja oleh Allah untuk mengasuh dan merawat mereka sampai batas waktu tertentu.

Lalu kenapa kita berani memarahi, membentak, menjewer, mencubit, apalagi sampai memukulnya? Padahal suatu hari nanti Allah akan mengambil kembali titipanNya dan meminta laporan pertanggungjawaban kita....

Astaghfirullahaladzim.....

Kalau boleh jujur dari lubuk hati yang paling dalam, saya yakin 100% bahwa tak ada satu orang tua waras pun di dunia ini yang ingin memarahi anaknya dalam bentuk melukai perasaannya apalagi sampai menyakiti fisiknya.

Tapi mengapa masih saja sulit untuk tidak memarahi anak?

Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, ayah bunda:

Pertama, karena dulu kita dibesarkan juga dengan dimarah-marahi, sering dibentak-bentak, dikata-katai kasar, dicubit, dijewer, bahkan dipukul pun pernah.

Ayah bunda mungkin sudah sering mendengar bahwa anak itu ibarat giant sponge (mudah sekali menyerap semua yang dilihat, didengar, dan dialaminya) sekaligus peniru paling ulung. Bukan kah kita semua ini adalah anak dari orang tua kita. Jadi sudah pasti gaya pengasuhan orang tua kita dulu akan berpengaruh pada bagaimana kita mengasuh anak-anak kita sekarang. Sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bahwa buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Jadi walau dalam hati sesungguhnya kita tak ingin, tapi akhirnya kita pun marah-marah juga ke anak.

Kedua, karena kita sedang sangat capek, baik capek secara fisik, apalagi bila batin ikut lelah dan iman sedang turun, ditambah sedang ada masalah dengan pasangan, dengan orang tua, mertua, atasan di kantor, dll. Kalau kata orang, sedang episode senggol bacok hehehe... Dan sasaran yang paaaaling empuk untuk melampiaskan semua sampah emosi itu adalah anak, apalagi yang masih kecil dan belum berdaya untuk membela dirinya yang sesungguhnya tidak salah apa-apa....

Istighfar lagi.... 

Jadi, kita harus bagaimana???

Ayah bunda yang baik, kita harus sadari terlebih dahulu bahwa sesungguhnya Allah itu menganugerahi kita emosi LENGKAP, ada senang, ada sedih, ada takut, ada jijik, termasuk juga marah.

Jadi boleh saja kita merasa marah, termasuk bila anak-anak kita melakukan kesalahan, apalagi bila mereka melanggar aturan yang sudah disepakati bersama. Tapiiiiiiiiii.....ada beberapa hal yang harus kita pahami dan kita lakukan:

Pertama, kita marah karena perbuatan salah yang dilakukan anak, bukan karena personal anak kita. Jadi sejajarkan mata kita dengan matanya lalu katakan padanya “Ayah/bunda marah karena kamu melakukan ini, tapi ayah/bunda tetap sayang padamu”. Dengan cara ini pesan yang ingin kita sampaikan akan lebih mudah masuk dan dimengerti oleh anak.

Sebaliknya, jika kita mengomel tanpa henti, membentak, melabelinya nakal, apalagi mencubit atau memukulnya, maka anak tidak akan mengerti bahwa ia baru saja melakukan kesalahan. Yang ia pahami justru dua hal, pertama bahwa mengomel, membentak, mencubit, dan memukul itu boleh dilakukan bila kita marah, dan kemungkinan besar ia akan menirunya dan melakukannya juga. Kedua, ia justru merasa bahwa ia tidak disayang oleh orang tuanya. Dan bila hal ini terjadi terus menerus, ia akan merasa tidak berharga, tidak diinginkan, tidak berarti, dan akan tumbuh menjadi pribadi yang tak memiliki nilai diri. Ini sungguh berbahaya bagi anak dan masa depannya.

Kedua, wajar bila emosi kita mudah sekali tersulut ketika sedang lelah. Sehingga sejatinya setiap kita, baik ayah maupun bunda, sama-sama butuh istirahat dan refreshing, untuk memulihkan kembali jiwa dan raga, serta men-charge energi agar siap mengahadapi hari, termasuk juga menghadapi anak-anak.

Tentu istirahat dan refresing-nya harus disesuaikan pula dengan kondisi kita saat ini yang sudah tak lajang lagi dan sudah punya keluarga yang Allah amanahi. Sehingga ayah bunda bisa mengomunikasikan ini dengan pasangan, agar ada waktu untuk me-time barang sebentar.

Kalaupun ternyata pasangan kita tak bisa diajak bekerja sama, maka ayah bunda harus mengusahakan sendiri untuk ada kesempatan istirahat/refreshing/me-time. Tak harus yang mahal dan besar, bisa dengan cara-cara yang sederhana, seperti mandi supaya segar kembali, minum secangkir teh hangat, dll.

Ketiga, bila ayah bunda sedang merasa sangat sangat sangat emosi, bahkan rasanya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, lalu kita mendapati anak kita melakukan kesalahan, maka kita HARUS SEGERA keluar dari situasi itu. Bukan berarti keluar dari rumah, tapi keluar dari situasi.

Kata Baginda Rosul SAW “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, maka berbaringlah. Jika kamu masih marah padahal sudah dalam keadaan berbaring, maka segera bangkit dan ambil air wudhu untuk bersuci, lalu lakukan sholat sunnah dua rokaat.”

Inilah yang saya maksud dengan keluar dari situasi itu. Harus ada movement, harus ada pergerakan yang bisa memecahkan ketegangan. Misalnya pergi ke dapur untuk minum, pergi ke halaman untuk bernafas, dll. Sebab bila tidak, maka bara emosi akan semakin besar dan mendorong kita melakukan hal-hal yang bisa menyakiti anak.

Jika sudah terlanjur???

Tak apa ayah bunda. Kita ini manusia. Bukan malaikat. Dan Allah sudah tentu tahu itu. Jadi segera MOHON AMPUN. Mohon ampun banyak-banyak dan bertaubat sungguh-sungguh. Lalu lakukan hal yang tak kalah penting, yakni MINTA MAAF pada anak dan sampaikan padanya bahwa kita tetap menyayanginya dan ia pun boleh mengingatkan kita bila kita marah.

Memang tak mudah. Namun bukan berarti tak mungkin untuk dilakukan. Jadi mari kembali pada Allah Sang Penggenggam diri dan hati agar dibimbing selalu dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak. Sebab tak ada daya dan kekuatan selain dari Allah SWT.

Sebagaimana pesan nabi “Siapakah yang kalian anggap paling perkasa? Kami menjawab : orang-orang yang tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Nabi bersabda : Bukan itu, melainkan orang-orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah.” (HR. Muslim)

Tulisan ini adalah pengingat bagi saya pribadi.
Dan semoga juga bermanfaat untuk Anda.

Kamis, 25 Oktober 2018

NAK, KAMU CANTIK DAN ITU FAKTA!


Seingat saya, dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, istilah bullying belum lah se-terkenal sekarang. Malahan rasanya di sekolah tidak ada yang menyebut-nyebut kata bullying. Namun demikian praktek-prakteknya sudah ada, baik dalam bentuk verbal maupun non verbal.

Saat itu, saya yang Allah takdirkan berambut keriting kerap kali menjadi bahan gurauan, lucu-lucuan, bahkan ejekan dari teman-teman sekelas. Mereka sering memanggil saya tidak dengan nama saya, tetapi dengan panggilan kribo atau miting alias mie kriting.

Awalnya saya tak terlalu menanggapi gurauan dan ejekan mereka. Namun karena dilakukan berulang-ulang, dan hampir seisi kelas melakukannya, ternyata gurauan dan ejekan tentang rambut saya itu berpengaruh juga pada diri saya. Mulailah muncul rasa risih, rendah diri, minder, dan merasa tidak cantik.

Hingga puncaknya ketika suatu hari di jam pelajaran akuntansi, ibu guru meminta saya dan teman saya yang laki-laki (dan berambut keriting juga) untuk maju ke depan kelas mengerjakan soal di papan tulis. Sontak hampir seisi kelas menertawakan kami dan berkata “Ada duo kriboooo hahahaha...”. Duuuuuuuuh.....saya maluuuuuuu sekali dan ingin rasanya menangis saat itu juga karena sakit hati dengan ejekan mereka. Tapi saya tahan sekuat tenaga, sebab tak mungkin saya menangis di depan seisi kelas.

Selepas kejadian itu muncullah pertanyaan dalam benak saya “Apa ada yang salah bila rambut saya keriting? Saya kan terima jadi, tidak pernah request pada Allah mau rambut seperti apa”. Dan karena kejadian itu terjadi pada saat saya remaja dan masa-masanya puber, sehingga sudah mulai memikirkan penampilan, maka semakin galau lah hati ini.

Di saat yang bersamaan rupanya sedang booming teknik meluruskan rambut alias rebonding. Lalu terpikirlah dalam benak saya untuk me-rebonding rambut. Tujuannya hanya satu, agar tidak jadi bahan ejekan lagi. Saya pun mencari info harga rebonding di salon dekat rumah.

Sayangnya, hubungan saya dengan orang tua saya tidak dekat dan komunikasi di antara kami juga tidak lancar, sehingga saya cenderung tertutup pada mereka. Karena itulah tak mungkin meminta uang dalam jumlah segitu pada mereka, apalagi dengan alasan untuk rebonding karena dibully teman-teman. Alhasil saya menabung sendiri. Saya rela tidak jajan ketika jam istirahat dan sekuat tenaga menahan air liur melihat teman-teman saya makan nasi goreng, tahu telor, dll dengan lahap selepas pelajaran olah raga agar ada uang yang bisa saya sisihkan untuk rebonding. Setelah beberapa waktu akhirnya terkumpulah uang sejumlah harga rebonding di salon dekat rumah itu.

Namun muncul masalah baru, saya tidak cukup berani untuk datang ke salon itu seorang diri. Apalagi saya belum pernah melihat dan melakukan rebonding sebelumnya. Lalu saya putuskan untuk bercerita pada kakak perempuan saya dengan harapan dia mau menemani saya ke salon. Di sinilah titik balik saya. Semula saya mengira bahwa kakak akan mau menemani saya rebonding di salon, karena menurut saya jarak umur kami tak terlalu jauh dan kami sama-sama perempuan, jadi dia pasti bisa memahami kondisi saya, bisa menerima alasan saya ingin rebonding, dan mau menemani saya ke salon. Ternyata Allah berkehendak lain.

Dengan mantap kakak saya berkata

“Dek, SEMUA PEREMPUAN itu Allah ciptakan CANTIK. Tidak ada satupun ciptaan Allah yang jelek. Kamu dengan rambut keritingmu itu SAMA cantiknya dengan teman-temanmu yang rambutnya lurus. Jadi simpan kembali uangmu. Gunakan untuk kebutuhan yang lain. Tak ada yang perlu diubah dari penampilanmu, sebab kamu sudah cantik!” Lalu ia tersenyum.

Huaaaaaaaaaaaa....pecahlah tangisan saya mendengar perkataan kakak saya itu. “Terima kasih kak....terima kasih....terima kasih....” kata saya berulang kali sambil terisak-isak. Sejak saat itu saya tak pernah ambil pusing lagi setiap kali teman-teman saya mengejek rambut saya. Saya katakan kepada mereka dengan nada melawan dan tangan di pinggang “Emang kenapa kalau gue keriting? Masalah buat lo?!!!”

Kejadian itu begitu melekat kuat dalam ingatan saya meski sudah belasan tahun berlalu. Dan sangat menjadi perhatian saya saat kini saya sudah menjadi orang tua. Mengapa?

Sebab ayah bunda sekalian, sadarkah kita bahwa media massa, media sosial dan lingkungan sekitar membentuk deskripsi perempuan cantik yang identik dengan kulit putih, rambut panjang hitam lurus, dan tubuh tinggi kurus dengan kaki jenjang. Betapa banyak iklan produk-produk kecantikan yang menjanjikan kulit menjadi putih cemerlang dalam kurun waktu singkat kepada konsumennya. Betapa tidak sedikit iklan shampo yang menggambarkan rambut indah itu adalah rambut yang panjang, hitam, dan lurus. Dan itu semua dengan model-model iklannya yang bertubuh tinggi kurus.

Gempuran deskripsi ini sungguh sangat dahsyat. Hingga tak sedikit perempuan yang kemudian merasa minder dan tidak percaya diri dengan fisiknya yang tidak sesuai dengan deskripsi cantik itu. Kemudian mereka melakukan treatment-treatment kecantikan dari yang harganya murah meriah hingga yang mahal agar bisa sesuai.

Dan itu pun bisa juga terjadi pada anak-anak perempuan kita! Apalagi bila mereka sudah remaja, sudah memasuki masa puber, sudah mulai memperhatikan penampilannya, dan sudah mulai tertarik pada lawan jenisnya. Sangat mungkin mereka menjadi minder, tidak percaya diri dengan keadaan fisik mereka, dan merasa tidak cantik. Ditambah lagi bila fisik mereka itu menjadi bahan ejekan atau bullying orang lain, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Sama seperti yang pernah saya alami dulu.

Sayangnya, saat itu orang tua saya tidak tahu menahu tentang kejadian itu dan tidak hadir ketika saya mengalami pergolakan batin itu. Syukurlah kakak saya menggantikannya sehingga saya tidak sampai melakukan hal-hal keliru yang sesungguhnya tidak perlu dan menjadi punya keberanian menghadapi bullying dari teman-teman karena fisik saya.

Namun demikian bagi saya sungguh amat sangat penting sekali bahkan wajib bagi orang tua (ayah dan bunda) untuk tidak abai terhadap hal ini dan hadir bagi anak-anak ketika mereka merasa minder dengan penampilan bahkan dibully oleh orang lain.

Mengapa?

Alasan pertama dan yang paling utama ya karena kita ini orang tuanya. Kita lah yang diberi tanggung jawab penuh oleh Allah untuk mengasuh dan mendidik mereka dalam segala hal. Termasuk membangkitkan rasa syukur dan percaya diri dengan apapun kondisi fisik mereka.

Kita lah yang sesungguhnya berkewajiban meyakinkan mereka bahwa Allah itu Maha Hebat dan Maha Kreativ dalam menciptakan segala sesuatu, sehingga Allah menciptakan perempuan itu dengan fisik yang beraneka ragam. Ada yang kulitnya putih, kuning langsat, sawo matang, coklat gelap, dll. Ada yang berambut lurus, keriting, bergelombang, dll. Ada yang matanya besar, ada yang sipit, dll. Ada yang tubuhnya tinggi dan ada pula yang tidak. Ada yang kurus dan ada yang tidak. Dan masih banyaaaak lagi keanekaragamannya. Tapi semuanya itu punya satu kesamaan, yaitu SAMA-SAMA CANTIK! Sebab semuanya buatan Allah. Bahkan Allah sendiri yang mengatakan dalam salah satu ayatNya bahwa Dia menciptakan manusia itu dengan sebaik-baik bentuk.

Tentu sebelum menjelaskan semua itu, terlebih dulu kita harus menjadi teman ngobrol yang nyaman dan aman bagi mereka. Nyaman karena kita bersedia mendengarkan dengan penuh perhatian dan menghargai apapun curahan hati mereka. Aman karena kita tidak akan menceritakannya pada orang lain yang bisa membuat mereka malu.

Alasan kedua ialah agar mereka tidak salah langkah dalam menghadapi situasi tersebut. Apalagi mereka masih remaja. Dengan kondisi kejiawaan yang belum matang dan stabil, serta besarnya pengaruh teman sebaya dan lingkungan, sangat mungkin mereka melakukan hal-hal yang malah merugikan bahkan membahayakan diri mereka sendiri. 

Di sinilah orang tua harus berperan membimbing mereka tentang apa-apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasinya. Ajaklah mereka menggali potensi diri, menemukan passion, dan menekuninya dengan sungguh-sungguh. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak berguna seperti bully-an orang lain dan mereka justru bisa menunjukkan kemampuan yang mereka miliki dengan penuh percaya diri, bangga dengan diri mereka, bersyukur atasnya, dan bersinar terang dengan apapun kondisi fisik mereka.

Jadi ayah bunda, bila anak-anak perempuan kita merasa tidak cantik dengan kondisi fisiknya apalagi sampai dibully orang lain, maka peluk erat mereka dengan segenap jiwa raga, lalu tatap mata mereka lekat-lekat, dan katakan padanya dengan mantap “Nak, kamu cantik dan itu fakta!”

Semoga bermanfaat.

Minggu, 14 Oktober 2018

AYAH BUNDA HARUS BELAJAR MENERIMA



Sometimes, life doesn’t go the way we plan.
Ada kalanya yang terjadi dalam hidup tidaklah sesuai dengan yang kita inginkan dan kita rencanakan. Dalam hal apapun, mulai dari rumah tangga, mengasuh anak, pekerjaan, pertemanan, percintaan, dll.

Misalnya, kita ingin punya pasangan yang setia hingga akhir usia, ternyata di tengah perjalanan rumah tangga, ia mengingkari janjinya dan melalaikan tanggung jawabnya.

Atau, setelah menikah dan menunggu bertahun-tahun untuk punya momongan, ternyata Allah ambil kembali buah hati kita sebelum ia sempat lahir ke dunia.

Atau suatu hari bagai tersambar petir di siang bolong, kita mendapati bahwa anak kita terlanjur kecanduan gadget, kecanduan game, bahkan pornografi, sebab selama ini kita merasa sibuk dengan pekerjaan sehingga tak ada waktu yang kita berikan untuk benar-benar mengasuh dan menemani mereka.

Atau kita ingin memberi nafkah bagi keluarga sekaligus menjadi usahawan yang berjaya, sudah membuat proposal, sudah memeras otak menggali ide-ide kreativ, sudah mengeluarkan biaya dan tenaga, ternyata hasilnya jauh dari harapan, ditipu partner sendiri pula.

Alhasil kita merasa sedih, kecewa, sakit hati, gagal, dan menyesal.
Lalu, nasehat apa biasanya yang kita dapat ketika mengalami kondisi seperti itu?

Ya, MOVE ON!

Alias bangkit dari kesedihan, kegagalan, penyesalan yang berkepanjangan plus rasa sakit dan kepedihan yang menyertainya, lalu melanjutkan kembali perjalanan hidup, sebab the show must go on!

Memang betul, kita harus move on, dan harus segera, agar waktu yang kita miliki tak terkuras di peristiwa itu saja. Tapi taukah ayah bunda, bahwa sesungguhnya ada satu tahapan lagi yang harus kita penuhi terlebih dahulu sebelum bangkit atau move on. Satu tahapan yang justru sangat sangat penting namun seringkali terlupakan dan terlewatkan sebab kita buru-buru ingin atau harus move on.

Apa itu???

Tahap MENERIMA kejadian itu.

Ya, menerimanya dengan hati yang lapang, lapaaaaaaang sekali, selapang samudera tak bertepi. Penerimaan tanpa kata “tapi....”. Atau dalam bahasa agamanya disebut dengan IKHLAS.

Mungkin tidak mudah awalnya, sebab biasanya kejadian-kejadian yang tak sesuai harapan ini membawa dampak kesedihan, kekecewan, penyesalan, mungkin juga kepedihan di hati. Akan tetapi, semoga beberapa hal ini bisa membantu kita menerimanya dengan lapang dada.

Pertama, kita harus yakin dulu, haqqul yakin, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raga bahwa tidak ada satu kejadian pun yang terjadi kecuali sudah dengan IZIN ALLAH. Bahkan sehelai daun yang jatuh dari pohonnya adalah karena Allah mengizinkan. Tak ada yang namanya kebetulan apalagi kecolongan bagi Allah. Jadi kejadian apapun yang menimpa kita semua (termasuk yang tak sesuai dengan harapan kita itu) juga terjadi lantaran Allah mengizinkannya terjadi. Oke?

Nah bila kita sudah meyakini bahwa Allah mengizinkan kejadian itu terjadi pada diri kita, maka tahap yang kedua ialah meyakini dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raga pula bahwa Allah tidak pernah, sekali lagi, ALLAH TIDAK PERNAH MENYAKITI hamba-hambaNya. Allah tidak pernah berniat jahat terhadap hamba-hambaNya. Allah itu yang paling sayang dan yang paling cinta pada kita. Tak ada satupun yang mampu menyamai apalagi menandingi besarnya cinta dan kasih sayang Allah pada kita. Jadi, semua yang terjadi (termasuk yang tidak sesuai harapan kita itu) sesungguhnya adalah bentuk kasih sayang Allah pada kita.

Lho? Kalau Allah memang sayang, kok kita diberi sakit, sedih, gagal, dan kawan-kawannya?

Nah, inilah step yang ketiga. Di sinilah saatnya kita menggunakan anugerah Allah yang hanya diberikan Nya kepada manusia, yakni akal. Bukankah dalam Al Quran berkali-kali Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal pikiran? Jadi sekarang saatnya kita berpikir untuk menemukan jawaban dari pertanyaan MENGAPA Allah mengizinkan kejadian itu terjadi. Mari kita gunakan akal kita untuk flasback ke belakang, untuk bermuhasabah, untuk evaluasi diri, adakah sesuatu yang pernah kita perbuat di masa lalu sehingga Allah mengizinkan kejadian itu terjadi? Atau pelajaran apa yang sesungguhnya ingin Allah berikan pada kita?

Dalam sebuah forum pengajian, seorang ustadz pernah bercerita. Suatu kali ia sedang berkunjung ke pondok pesantren yang sedang dibangunnya untuk mengecek sampai di mana proses pembangunannya. Ketika naik ke lantai tiga, iseng-iseng sang ustadz menjatuhkan selembar uang seratus ribu rupiah. Ternyata tanpa melihat ke atas, tukang yang sedang berada di lantai bawah langsung memungut uang itu. Lalu ia jatuhkan lagi selembar uang seratus ribu dan tukang itu pun langsung mengambilnya. Begitu ia jatuhkan sebuah bata, tukang itu tadi terkejut dan langsung mendongak ke atas.

Ayah bunda sekalian, bisa jadi seperti itulah kita. Ketika Allah berikan peristiwa yang membuat kita sedih, sakit, kecewa, merasa gagal, dll barulah kita “mendongak ke atas”, barulah kita kembali padaNya. Sehingga boleh jadi melalui peristiwa itu, Allah sesungguhnya ingin berjumpa dengan kita di sujud-sujud yang panjang, di sunyinya sepertiga malam, di kesungguhan taubat dan khusyuk nya doa-doa kita.

Nah, bila kita sudah menerima dengan lapang dada, sudah yakin 100% bahwa kejadian itu atas izin Allah dan karena besarnya sayang Allah pada kita, dan sudah kita temukan jawaban penyebabnya, barulah kita MOVE ON. Saatnya kita berdiri, bergerak, dan melangkah lagi, dengan sebuah harapan besar agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dalam hal rumah tangga, dalam hal menjadi orang tua, dalam hal pekerjaan, dll.

Terakhir, mungkin muncul pertanyaan, mengapa tahap MENERIMA ini sangat penting?

Sebab, setiap kejadian (termasuk yang tidak sesuai harapan itu) beserta perasaan-perasaan yang ditimbulkannya erat hubungannya dengan HATI. Sementara hati kita ini diciptakan tidak selalu stabil, mudah terbolak-balik, kadang bisa semangat, tapi ada kalanya pula down, kadang bisa bangkit, tapi kalau teringat kembali akan kejadian itu kita merasa sedih lagi.

Nah, agar kita benar-benar bisa MOVE, benar-benar bisa ON lagi, dan agar kita bisa berdiri tegak lagi melanjutkan perjalanan hidup ini, maka tidak ada jalan lain selain MENERIMAnya terlebih dahulu dengan ikhlas yang totalitas. Sehingga kita bisa mulai melangkah lagi dengan langkah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, dengan menjadikan yang terjadi itu sebagai spion yang cukup sesekali dilihat dengan senyum keikhlasan karena kita akan maju terus ke depan.

Jadi ayah bunda....
Selamat menerima,
Selamat MOVE ON!

Kamis, 02 Agustus 2018

AYAH BUNDA, MENGASUH ITU MEMBENTUK KENANGAN



Lembar monokrom hitam putih
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan ku mengenal cinta
Bila bukan karena hati baikmu

Apakah ada di antara ayah bunda yang punya foto kenangan masa kecil bersama orang tua? Baik foto bersama mereka maupun foto Anda yang diambil atau dipotret oleh mereka, baik yang warnanya masih hitam putih seperti lirik lagu “Monokrom” dari Tulus, maupun yang sudah berwarna.

Apa yang Anda rasakan ketika melihatnya? Mungkin ingatan Anda akan melayang ke puluhan tahun silam saat Anda masih anak-anak, masih lucu-lucunya, polos-polosnya, dekil-dekilnya, atau masih nakal-nakalnya. Saat dimana Anda adalah manusia paling bahagia karena tidak perlu mempedulikan apa yang terjadi dengan dunia dan tetap merasa aman-aman saja, sebab ada AYAH dan IBU anda. Lalu Anda berkata “Foto ini dulu waktuuu....” sambil senyum-senyum sendiri, sambil geleng-geleng kepala, atau sambil terharu karena foto itu mengingatkan Anda pada mereka berdua.

Wah...sungguh kenangan yang sangat berkesan ya...

Lalu kita kembali ke masa kini. Foto-foto di zaman sekarang memang sudah tidak hitam putih lagi (kecuali yang sudah diedit) dan sudah jarang sekali dicetak pada lembaran seperti jaman dulu, namun kegiatan memfoto-nya tetap ada, bahkan boleh dikatakan makin menggila dengan hadirnya sebuah benda persegi segenggaman tangan bernama smartphone.

Fitur kamera dengan ketajaman gambar yang semakin akurat pada smartphone membuat para penggunanya tak pernah lupa mengabadikan setiap momen dalam hidupnya, mulai dari momen-momen istimewa hingga momen-momen yang sesungguhnya tidaklah penting untuk direkam, lalu membaginya pada keluarga, teman, bahkan pada dunia melalui aplikasi media sosial.

Smartphone dengan kameranya ini juga berhasil memberikan dampaknya pada para orang tua zaman sekarang. Salah satunya ialah menjadikan ayah dan bunda jauh lebih fokus pada mengabadikan setiap momen dalam hidup anaknya, baik dalam bentuk foto maupun video, lalu men-share-nya di media sosial. 

Pernahkah ayah bunda melihat (atau mungkin mengalami sendiri) ketika sedang berlibur, rekreasi, jalan-jalan atau bermain bersama anak-anak, ayah bunda secara spontan langsung mengeluarkan smartphone lalu sibuk mencari angle yang pas untuk memfoto anak atau merekamnya. Ayah bunda lebih memilih berkata “Ayo berdiri di situ...geser ke kanan sedikiiit...agak maju lagi biar keliahatan ombaknya...senyuuum...” atau “Ayo pegang kelincinya, dek... sambil lihat sini yaaa...cheeeees”  atau “Berdiri di dekat gajahnya situuu....mana gayanyaaa..” dan jepret jepret jepret...share.

Atau ketika sedang bermain di playground mall, tak sedikit orang tua yang justru sibuk memotret maupun merekam anaknya yang sedang bermain lalu minggir ke tepi dan khusyuk meng-share hasil jepretannya di media sosial dengan harapan mendapat komentar dan like.

Tentu bukan berarti memfoto ataupun memvideo mereka dan kemudian men-share-nya tidak boleh. Itu boleh, sah-sah saja, tidak dilarang, dan hak setiap orang. Hasilnya pun bisa dijadikan update kabar bagi keluarga, saudara, maupun teman-teman. Namun semoga ayah bunda, termasuk saya, tidak lupa pada hal lain yang lebih mendasar dan lebih penting untuk dilakukan. Apa itu? MEMBENTUK KENANGAN pada setiap momen itu.

Ya, karena tanpa kenangan, maka foto-foto itu hanyalah foto belaka dan video-video itu hanyalah rekaman semata. Tidak ada yang membekas. Tidak ada yang berkesan. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada sesuatu yang sungguh-sungguh berarti bagi anak-anak ketika suatu hari nanti mereka melihatnya kembali. Tidak ada sesuatu yang akhirnya turut andil membentuk kepribadian dan berpengaruh positiv bagi tumbuh kembang mereka.

Lalu bagaimana caranya agar kenangan itu bisa terbentuk pada foto dan videonya?

Caranya ialah dengan menjadikan momen-momen yang difoto maupun divideo itu sebagai sarana untuk membangun attachment alias kedekatan dan komunikasi ayah bunda dengan anak-anak, serta berilah kesan positiv pada momen-momen itu.

Jadi, misalnya suatu hari ayah bunda dan anak-anak pergi ke pantai, ajaklah mereka ngobrol. “Ini namanya pantai, nak... Indah sekali ya... Ciptaan siapa? Yang ini namanya pasir, adek boleh pegang...bisa dibentuk lho...yuk kita bikin istana dari pasir...”. Ayah bunda bisa merekam keasyikannya membuat istana pasir dan setelah selesai berfotolah bersamanya dan istananya, lalu katakan padanya “Istana buatan adek adalah istana terbagus yang pernah ayah bunda lihat (beri jempol)”. Lalu sepulang dari pantai, tanyakan pada mereka “Suka nggak dek ke pantai? Apa yang paling adek suka?” dll.

Atau ketika anak ayah dan bunda berulang tahun. Di samping sibuk merekam jalannya acara syukuran maupun ber-swafoto dengannya, jangan lupa untuk memeluk dan menciumnya dengan segenap jiwa raga dan hati lalu katakan padanya “Selamat ulang tahun, nak. Semoga Allah selalu menyayangimu.”

Intinya ayah bunda, jangan hanya berfokus pada memfoto atau merekam momen anak Anda semata, tapi bentuklah kenangannya. Karena membentuk kenangan adalah bagian dari mengasuh mereka juga. Hingga bila suatu hari nanti mereka melihat kembali foto-foto dan video-video itu, mereka bisa berkata...
Di mana pun kalian berada
Ku kirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah
Kau melukis aku...
(“Monokrom” by Tulus)