Sabtu, 28 Oktober 2017

ANAKKU, BUTUH DAN INGIN ITU BERBEDA

Sebulan yang lalu saya dan 12 ibu wali murid yang lain ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menjadi komite orang tua di sekolah tempat iin belajar. Bagi saya ini adalah pengalaman pertama terlibat di dalam komite orang tua yang tugasnya membantu sekolah mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk para murid.

Tak lama setelah dibentuk, ketua komite mengundang kami untuk rapat perdana guna menyusun program kerja kami selama setahun. Dan salah satu programnya ialah pengadaan seragam untuk komite, berbentuk gamis lengkap dengan jilbabnya seharga kurang lebih Rp 150.000 rupiah per orang.

Saya pun bertanya pada ibu ketua, apakah sesungguhnya seragam ini memang diperlukan? Maksud saya, bila tanpa seragam komite masih bisa bekerja, lalu mengapa harus beli seragam? Kan masing-masing anggota pasti sudah punya cukup banyak baju yang layak dipakai untuk berbagai kegiatan. Selain itu biaya Rp 150.000 per orang bisa dihemat untuk kebutuhan lain, baik untuk kebutuhan pribadi masing-masing anggota, maupun kebutuhan program komite yang lain.

Ibu ketua pun menjawab bahwa seragam berfungsi sebagai identitas komite. Sebab ketika ada acara atau kegiatan, biasanya komite juga berfungsi sebagai panitia, sementara wali murid yang lain sebagai peserta.

Lalu saya berkata, “Kalau begitu bagaimana kalau saat acara kita bikin kartu identitas atau pin saja? Itu cukup bisa membedakan mana yang panitia dan mana yang peserta, dan yang pasti lebih hemat”

Kemudian seorang ibu menanggapi “Tahun-tahun sebelumnya kan komite selalu punya seragam, kalau sekarang kita nggak punya seragam ya jadi lain sendiri dan rasanya aneh...”

Sementara ibu yang lain lagi berkata “Kalau ada seragam, saya jadi nggak bingung menentukan besok mau pakai baju apa...”

Singkat cerita, 12 ibu setuju ada seragam, dan hanya saya sendiri yang tidak. Sebab saya merasa program seragam tidaklah substantiv, maksudnya bila tidak ada pun sesungguhnya tak masalah. Dan kita bisa lebih memfokuskan pikiran, waktu, tenaga, biaya, dan bensin untuk program lain yang lebih berdampak serta bermanfaat bagi para murid. Tapi kalau tetap ingin bikin seragam pun ya monggo-monggo saja...

Selepas rapat, saya mengirim pesan pribadi pada bu ketua lewat whats app. Saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya tidak ikut beli seragam karena saya harus berhemat, tapi insyaAllah itu tidak mengurangi semangat dan niat saya berkontribusi di komite.

Lalu mulailah ke-12 ibu-ibu itu sibuk memilih bahan, survey model gamis, mencari penjahit, dan mengukur baju. Sebagian ibu-ibu menitipkan baju gamis pribadinya pada ibu ketua untuk contoh ukuran. Sementara sebagian ibu-ibu lainnya langsung datang dan mengukur di penjahitnya. Rupanya ibu-ibu yang datang langsung ke penjahit malah jadi mencoba baju-baju lainnya di sana dan berfoto lalu diupload di grup whats app komite. Dan ini membuat ibu-ibu yang tadinya hanya titip contoh baju, jadi ingin ke penjahitnya juga untuk lihat-lihat dan kalau ada yang cocok jadi ingin beli. Wah wah wah...kalau ini sih namanya memang suka beli baju baru hehehe...

Menariknya, di saat yang bersamaan, sebagian ibu-ibu komite ini mengeluhkan anaknya yang suka minta dibelikan jajan. Berangkat sekolah minta dibelikan jajan, pulang sekolah minta dibelikan jajan, sore hari pun minta uang untuk beli makanan di warung tetangga. Belum lagi kalau mampir di mini market pasti anak-anaknya minta dibelikan sesuatu, minimal sepuluh ribu rupiah pasti melayang.

Memang, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya.

Dari sini saya jadi berpikir betapa pentingnya kita bisa membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan. Sepintas nampak sama, dan seringkali kita menyebutnya kebutuhan padahal sesungguhnya itu adalah keinginan. Mengapa ini menjadi penting? Sebab menyadari dengan jujur tentang perbedaan kebutuhan dan keinginan menjadi salah satu kunci dalam pengaturan keuangan, baik bagi yang hidupnya masih single maupun yang sudah berkeluarga. Terutama bagi yang sudah berumah tangga, kesalahan dalam pengaturan keuangan seringkali menimbulkan masalah bahkan bisa mengganggu keharmonisan.

Lalu bagaimana cara membedakannya?

Saya mengutip dari www.finansialku.com, ada beberapa pertanyaan yang bisa kita ajukan pada diri kita sendiri sebelum membeli sesuatu, agar kita tahu apakah itu kebutuhan atau keinginan.

Pertama, apakah benda tersebut memang kita butuhkan saat ini?
Jika iya, maka kita bisa lanjut ke pertanyaan kedua. Namun jika tidak, maka sudah pasti itu hanya keinginan kita. Kita perlu berpikir dua kali untuk memenuhi keinginan. Yakni apakah memang ada anggaran untuk memenuhi keinginan tanpa mengganggu anggaran untuk kebutuhan.

Kedua, bagaimana jika kita tidak membelinya saat ini?
Jika kita merasa tidak apa-apa atau sesungguhnya tidak masalah, maka itu adalah keinginan kita, bukan kebutuhan. Kita harus berpikir dua kali untuk membelinya. Jika kita harus membelinya untuk saat ini juga, maka lanjut ke pertanyaan ketiga ya.

Ketiga, apakah harus benda tersebut?
Apakah ada benda pengganti lainnya yang dapat memenuhi kebutuhan kita? Jika masih ada benda pengganti lainnya, tanyakan ulang dari pertanyaan pertama untuk benda pengganti tersebut. Jika tidak ada benda pengganti lainnya, maka itu berarti bahwa benda tersebut adalah yang memang kita BUTUH-kan untuk saat ini.

Lalu apakah tidak boleh memenuhi keinginan? Tentu boleh dan sah-sah saja, selama (sekali lagi) pemenuhannya tidak mengganggu anggaran kita untuk memenuhi kebutuhan. Atau dengan kata lain, prioritaskan kebutuhan atau hal-hal yang substantiv terlebih dahulu, setelah itu baru keinginan.

Dan alangkah baiknya jika kebiasaan membedakan mana yang butuh dan mana yang ingin ini kita tumbuhkan pada diri anak-anak kita juga. Tentu harus dimulai dari orang tuanya dulu.

Sejak iin masih kecil dan bisa saya ajak pergi belanja, saya selalu berkata padanya “Yuk kita belanja untuk beli kebutuhan”. Lalu saya tulis dulu apa-apa saja yang hendak dibeli. Ketika beranjak lebih besar, iin pun bertanya “Kebutuhan itu apa bun?” Dan saya menjawab “Kita mau beli beras, sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng, dll...karena sudah pada habis. Kalau nggak beli sekarang, nanti kita nggak bisa makan, nggak bisa mandi, nggak bisa nyuci baju...”

Suatu kali di akhir bulan di mana kondisi keuangan sudah mepet, iin berkata pada saya..
“Bunda, aku mau beli susu..”
“Wah maaf ya nak, sekarang bunda nggak punya uang untuk beli susu. InsyaAllah kita beli susu minggu depan kalau ayah sudah gajian...”
“Tapi itu di dompet bunda ada uang...”
“Itu uangnya untuk beli sayur dan lauk..”
“Tapi aku mau susu...”
“Sabar ya, insyaAllah minggu depan kita beli susu. Nggak minum susu pun kita masih bisa hidup hehehe...”
Dan syukurlah iin nggak memaksa lagi...

Tentu cara kami mengajari iin ini masih jauh dari sempurna. Tapi saya dan ayahnya selalu berharap agar iin tumbuh menjadi orang yang bisa membedakan mana yang butuh dan mana yang ingin. Apalagi kelak jika sudah berumah tangga, iin akan jadi menteri keuangan dalam keluarganya.

Tentu harus diawali dari orang tuanya dulu.

Dan ini menjadi pengingat bagi saya pribadi.


Semoga bermanfaat.

Senin, 23 Oktober 2017

AYAH DAN BUNDA JUGA PERLU “MACET” SEBENTAR

Saya teringat sebuah tulisan yang pernah dibuat oleh seorang teman beberapa tahun lalu. Saat itu ia akan kembali ke kota asalnya setelah beberapa hari liburan di Jogja. Dalam perjalanan menuju stasiun tugu sore itu, ternyata ia terjebak macet yang cukup parah. Maklumlah, jogja pun macet ketika jam berangkat dan pulang kantor.

Padahal tadi berangkat dari hotel sudah buru-buru sekali, tapi kena macet juga, yaah apa boleh buat. Menggerutu atau mengutuki kemacetan sebab sudah mendekati waktu keberangkatan kereta pun tak ada gunanya. Akhirnya nikmati saja kemacetan itu sambil terus berdoa agar tak ketinggalan kereta. Begitu tulis teman saya.

Singkat cerita, rupanya kemacetan itu justru memberinya waktu untuk memperhatikan keadaan sekitar, sebab sejak dari hotel tadi, yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya sampai di stasiun kereta as soon as possible. Ia pun jadi bisa memperhatikan penjual krupuk dan hiasan mobil di lampu merah yang sedang berjuang mencari rezeki di tengah kepulan asap kendaraan dan teriknya matahari. Ia juga jadi bisa memperhatikan anak-anak kecil yang mengamen ala kadarnya dari satu mobil ke mobil lain untuk bisa makan sesuap nasi. Pemandangan-pemandangan itu membuat teman saya tersadar dan jadi banyak bersyukur atas rezeki yang Allah beri padanya selama ini. Padahal sebelumnya seringkali ia merasa kurang itu dan ini. Ternyata dalam hidup ini kita memang perlu “macet”. Begitu kalimat terakhir dalam tulisan teman saya.

Saya setuju dengannya. Kita memang perlu “macet” alias berhenti sebentar dari segala aktivitas hidup yang terus menerus kita lakukan dari waktu ke waktu.

Sebab macet membuat kita jadi punya waktu untuk melihat lebih banyak hal. Macet membuat kita bisa mengingat kembali perjalanan waktu serta apa saja yang sudah dan belum kita capai sampai detik ini. Macet membuat kita jadi bisa menangkap keindahan-keindahan yang Allah sisipkan dalam hidup kita, yang mungkin selama ini tak pernah kita sadari, sebab kita terus menerus disibukkan oleh rutinitas dan serasa diburu-buru oleh waktu. Macet juga bisa membuat kita punya waktu sejenak untuk merenungi dan mengevaluasi diri.

Ayah dan bunda pun butuh macet juga sebentar.

Di tengah rutinitas ayah yang senin sampai jumat bahkan sabtu menjemput rezeki, pergi pagi atau malah subuh dan baru sampai di rumah sore hari bahkan larut malam, ketika pulang pun pekerjaan lengkap dengan stresnya masih dibawa ke rumah... Ayah perlu macet sebentar..

Perhatikan seisi rumah, bersyukurlah bahwa Allah memberi tempat untuk berteduh, berlindung, beristirahat, dan membangun rumah tangga meski tak semegah istana. Adakah bagian-bagian rumah yang perlu diperbaiki agar terasa semakin baiti jannati?

Perhatikan kondisi istri, sudah bahagiakah ia? Sudah bertanggung jawabkah ayah selama ini sebagai suami? Ingat kembali bagaimana perjuangan dan deg-degan nya ayah dulu ketika mengucapkan akad di depan orang tuanya dan disaksikan oleh Allah beserta malaikat-malaikatNya..

Perhatikan anak-anak, betapa lucunya mereka dari waktu ke waktu, betapa cerdasnya mereka dengan beragam pertanyaan yang polos namun kritis. Betapa sesungguhnya mereka selalu menanti-nanti ayahnya pulang karena tak sabar ingin segera bermain bersama dan melepas rindu. Perhatikan bagaimana keadaan lahir dan batinnya, apakah mereka sudah mendapatkan ayah yang seutuhnya? Ingat kembali ketika dulu mendampingi istri berjuang melahirkan dan mengumandangkan adzan di telinga kecil mereka...

Begitu pula dengan bunda.

Bunda juga perlu macet sejenak dari rutinitas mengurus pekerjaan rumah tangga yang seolah tak pernah ada habisnya, dari mengurus anak-anak sejak mereka bangun tidur hingga tidur kembali, pun dari pekerjaan di kantor atau bisnis yang sedang ditekuni.

Perhatikan keadaan suami, sudah bahagiakah ia? Sudahkah bunda menjadi istri yang sholihah baginya? Ingat kembali apa yang membuat bunda bersedia menerima pinangan ayah dan siap membangun rumah tangga bersamanya.

Perhatikan anak-anak. Meski setiap hari bahkan setiap saat selalu bersama mereka, barangkali justru karena terlalu sering bersama, bunda jadi tidak begitu menyadari betapa lucu dan menggemaskannya mereka. Pikirkan kembali betapa sesungguhnya mereka begitu cerdas, kreativ dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar untuk belajar, meski itu akhirnya membuat rumah seperti kapal pecah. Kenang kembali kalau dulu saat masih bayi mereka selalu mau dicium-cium dan dipeluk-peluk, sedangkan sekarang mereka mulai enggan untuk dicium dan dipeluk karena merasa bukan anak kecil lagi. Dan masih banyak lagi... Betapa harus bersyukurnya bunda.

Itu semua tak akan bisa dilakukan oleh ayah dan bunda jika ayah dan bunda terus menerus disibukkan dengan rutinitas sehari-hari, selesai satu pekerjaan harus langsung lanjut ke pekerjaan berikutnya, bahkan seringkali beberapa pekerjaan harus diselesaikan secara bersamaan karena selalu diburu-buru oleh waktu. Sehingga yang ada hanya lelah, stres, jenuh dan mengeluh kurang syukur. Sampai tak terasa waktu begitu cepat berlalu, anak-anak pun sudah tumbuh besar, sibuk meraih mimpi-mimpi dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri.

Jadi ayah bunda, luangkanlah waktu untuk macet sebentar, evaluasi diri dan sekitar, maka ayah bunda akan temukan, betapa banyak nikmat yang Allah anugerahkan.


Semoga bermanfaat. 

Minggu, 15 Oktober 2017

SEBAB ANAK PUN PERLU JATUH, SAKIT, DAN MENANGIS

Suatu kali saat sedang bermain di halaman kantor kecamatan, iin terjatuh dari ayunan. Spontan saya berteriak pada ayahnya yang berada tidak jauh dari iin.. “Yah, tolongin iin!” Tapi bukannya segera menghampiri dan menolong iin, ayahnya hanya berkata “Sakit nggak, in? Bangun yuk..”

Saya melongo...”Lah, kok cuma tanya??!!!!”

Lalu saya segera berlari menghampiri iin dan membantunya berdiri, sambil mengusap-ngusap bagian yang sekiranya sakit. Alhamdulillah iin baik-baik saja.

Ketika sudah di rumah barulah saya bertanya dengan nada protes.

“Kok ayah tadi diem aja sih waktu iin jatuh?! Nggak segera nolongin!”
“Lho, siapa yang diem aja???”
“Ayah!”
“Aku nggak diem aja... Kalau iin jatuh itu, lihat dulu, kira-kira sakitnya parah nggak, apa perlu ditolong atau dia bisa bangun sendiri. Jangan buru-buru ditolong...” katanya dengan santai.

Jujur saja, saat itu saya tak bisa menerima perkataan itu. Sebab kalau iin jatuh, spontan secara naluri saya langsung bergerak menolongnya. Dan bagi saya itu adalah naluri dasar yang mestinya dimiliki oleh orang tua, khususnya ibu, dan tentu juga ayah.

Beberapa waktu setelah itu, ketika sedang diuji oleh Allah dan merasa “jatuh” serta sakit, barulah saya sadar, bahwa dalam hidup ini setiap orang pasti pernah jatuh.

Bukan jatuh cinta yang berbunga-bunga seperti ABG yang sedang kasmaran, melainkan jatuh karena sedang diuji kesabaran dan keimanannya. Jatuh yang membuat hati sakit, sedih, dan patah semangat. Bentuknya bisa bermacam-macam.

Dan ketika sedang jatuh seperti itu, maka biasanya nasihat terbaik yang kita dapat ialah bangkit dan lanjutkan kembali hidup ini, atau yang istilah sekarangnya adalah “Move On”.

Barulah saya bisa menerima perkataan ayahnya iin.

Ternyata anak memang perlu jatuh, agar ia belajar bagaimana caranya bangun, bagaimana caranya berdiri dan bagaimana caranya untuk bangkit kembali. Mungkin bentuk jatuhnya masih bentuk jatuh yang harfiah, yakni benar-benar jatuh di lantai atau di tanah atau di jalan. Tapi ini bisa jadi modal baginya untuk menghadapi bentuk jatuh lainnya di kemudian hari.

Jadi, bila suatu saat anak kita jatuh, dekati ia dan berikan kata-kata penenang seperti “Nggak apa-apa, sayang...” lalu beri kesempatan untuk berusaha bangun sendiri “Yuk bangun...” atau “Yuk berdiri lagi...”. Bila ia tak mampu bangun sendiri, barulah ulurkan tangan untuk membantunya. Namun bila jatuhnya benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan secepatnya, maka segeralah berikan pertolongan.

Menariknya, tak jarang para orang tua melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu sebab nanti bisa jatuh. Misalnya “Jangan lari! Nanti jatuh”, “Jangan lompat-lompat! Nanti kamu jatuh!”, “Nggak usah naik tangga! Nanti jatuh, sakit lho!” dll. Padahal dengan lari, lompat, naik tangga, dan aktivitas-aktivitas lainnya sebenarnya anak sedang bereksplorasi dan belajar mengenal sekitarnya. 

Lha kalau nanti jatuh bagaimana? Ya anak pun akan belajar cara untuk bangkit, berdiri, berlari lebih kencang, dan melompat lebih tinggi. Yang sesungguhnya itu semua akan mereka butuhkan dalam menjalani kehidupannya kelak.

Tapi kalau jatuh kan sakit? Betul, anak pun perlu merasakan sakit. Mengapa? Supaya ia belajar bagaimana cara untuk sembuh, dan agar ia bisa berempati pada orang lain yang sakit.

Setelah jatuh, merasakan sakit, biasanya anak akan menangis. Bagi saya, menangis adalah hal yang wajar dan sah-sah saja dilakukan, apalagi oleh anak-anak. Karena Allah memang menganugerahi kita air mata dengan sejuta manfaatnya, termasuk untuk menangis.  Menangis sendiri mampu membuat perasaan jadi lega dan bisa melembutkan hati. Dan bagi saya, SIAPAPUN BOLEH MENANGIS, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Jadi jangan pernah melarang anak laki-laki untuk menangis, dengan mengatakan “Anak laki-laki itu harus kuat! Nggak boleh nangis!” Padahal Rosulullah yang merupakan laki-laki super kuat bin tangguh lahir batin saja menangis.

Asal...

Nah ada syaratnya...

Anak-anak boleh menangis karena alasan yang tepat. Seperti karena jatuh dan merasa sakit, atau karena sedang sedih, atau karena takut pada sesuatu, atau karena terharu. Persilahkan mereka menangis agar mereka belajar mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosinya. Setelah itu tenangkan ia.

Bukan menangis karena hal-hal yang sejatinya tak perlu untuk menangis. Misalnya menangis karena minta sesuatu. Ajarkan anak untuk bisa dan biasa menyampaikan keinginan dengan berbicara baik-baik, bukan dengan menangis.

Jadi sesungguhnya, dari jatuh, sakit, dan menangis anak mendapat kesempatan untuk belajar banyak hal, yang akan menjadi bekal berharga baginya di kemudian hari.

Ini juga sebagai pengingat bagi saya pribadi.


Semoga bermanfaat.