Rabu, 26 Desember 2018

AYAH BUNDA, APAKAH KITA MENGENALI ANAK KITA SENDIRI?



Sebuah pertanyaan super penting yang patut kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Mumpung sedang berada di penghujung tahun dan hendak berganti tahun yang baru. Meski sebetulnya tak harus menunggu pergantian tahun.

Mengapa saya sebut super penting?

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton sebuah film bertajuk “SEARCHING”. Bagi Anda yang belum menontonnya, izinkanlah saya bercerita sedikit tentang film produksi Bazelevs Company, Screen Gems, dan Stage 6 Films ini tanpa membocorkan ending ceritanya yang mengejutkan agar Anda tetap penasaran dan akhirnya memutuskan untuk menontonnya juga hehehe....

Film bergenre thriller yang disutradarai oleh Aneesh Chaganty ini berkisah tentang seorang ayah bernama David Kim yang tengah mencari putrinya bernama Margot yang tiba-tiba menghilang.

Awalnya David hidup bahagia bersama istrinya (Pam) dan Margot. Mereka rajin sekali merekam moment-moment bahagia, terutama sejak Margot lahir dan melengkapi kehidupan mereka. Namun suasana mulai berubah ketika Pam dinyatakan mengidap kanker. Meski sempat berjuang bersama, akhirnya Pam meninggal dunia. Dan mulai lah sejak saat itu hanya ada David dan Margot.

Meski tinggal serumah, David dan Margot lebih sering berkomunikasi via smartphone, baik chat maupun video call. David merasa semua baik-baik saja. Hingga suatu hari David menelpon Margot via video call. Margot mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah salah satu temannya untuk belajar biologi bersama. Margot berjanji akan pulang meski larut malam. Ternyata keeseokan paginya Margot tak ada di rumah. David mencoba menelpon Margot, namun selalu masuk ke kotak pesan. Ia terus mengirim pesan teks pada Margot, namun pesan-pesannya tak kunjung dibalas. Mulai lah David merasa khawatir.

Kekhawatiran David bertambah, manakala ia menemukan bahwa Margot yang harusnya saat itu sedang les piano, ternyata ia tak ada di tempat les dan bahkan gurunya memberi tahu David bahwa Margot sudah berhenti les sejak enam bulan yang lalu! David sungguh terkejut karena ia tidak tahu manahu akan hal ini, apalagi ia masih terus memberikan uang les piano pada Margot.

Karena tak kunjung mendapat kabar dari Margot, David memutuskan untuk menghubungi polisi. Polisi pun membantu menemukan Margot melalui detektiv Rosemary Vick.

Detektiv Vick meminta David untuk mulai mengumpulkan informasi tentang keberadaan Margot melalui teman-temannya. Ternyata David baru sadar bahwa ia sama sekali tidak tahu siapa teman-teman Margot! Syukurlah Margot meninggalkan laptopnya di dapur dan David pun mulai menelusuri teman-teman Margot melalui laptop Margot dan akun media sosialnya. Dimulai dari facebook Margot, tapi David tidak tahu apa password akun facebook Margot. Dan setelah berusaha keras, akhirnya David bisa masuk ke dalam facebook Margot dan mulai menghubungi teman-temannya.

Selama masa pencarian, dengan dibantu polisi, fakta demi fakta tentang Margot  tak henti-hentinya membuat David terkejut. Melalui detektiv Vick, David mendapat informasi bahwa pada malam di mana Margot berjanji akan pulang selepas kerja kelompok biologi, rupanya Margot justru berkendara ke luar kota. Tak hanya itu, polisi bahkan menemukan bahwa uang piano yang selama ini diberikan oleh David justru disimpan oleh Margot di bank lalu Margot mentransfer uang itu ke sebuah rekening yang ternyata juga milik Margot sendiri. Semacam alur yang biasa terjadi pada praktek pencucian uang dan biasa digunakan juga oleh para pemakai narkoba.

Hari demi hari berlalu. Kejadian hilangnya Margot pun menjadi viral di dunia maya dengan berbagai macam tagar. Beragam komentar dari netizen mengalir, mulai dari dukungan, ungkapan turut berduka hingga menyalahkan David yang tidak bisa melindungi Margot bahkan ada juga yang beranggapan bahwa David menculik putrinya sendiri.

Di tengah keputusasaan karena tak kunjung mendapat titik cerah dari keberadaan Margot, David berkata pada Detektiv Vick:

I don’t know her...I don’t know my daughter....

Bagi saya, pernyataan David ini adalah titik penting dari film ini sekaligus alarm bagi kita para orang tua.

Apakah kita sungguh mengenali anak-anak kita?

Meski mereka buah dari sperma dan sel telur kita, lahir dari rahim kita, sehari-hari bersama kita, tinggal di rumah yang sama dengan kita, dll...apakah kita sungguh mengenali mereka? Tentu hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya....dengan jujur.

Suatu hari seorang ibu dibuat terkejut sebab pagi-pagi ia mendapati putranya tergeletak di teras rumah dan ketika ibu itu mencoba membangunkannya, putranya malah muntah-muntah. Rupanya putranya mabuk setelah semalam dugem. Dan ternyata ibu itu tidak pernah tahu kalau putranya kerap kali dugem apalagi sampai mabuk.

Di lain kesempatan, seorang ibu lain bercerita dengan penuh kebanggan bahwa anak laki-lakinya ketika TK dulu sudah hafal banyak surat pendek bahkan seringkali jadi imam ketika sholat bersama teman-teman TK nya. Dan dengan penuh keyakinan pula si ibu berkata pada saudara-saudaranya bahwa sudah tertanam ketakwaan pada diri anak laki-lakinya itu sejak kecil. Sementara si ibu tidak pernah tahu bahwa kini ketika sudah dewasa, anak laki-lakinya itu justru malas sekali membaca Al Quran, sering menunda-nunda sholat, bahkan pernah mengkhianati istrinya.

Beberapa waktu yang lalu pun seorang artis senior tanah air dibuat terkejut bukan kepalang ketika polisi menangkap anak dan saudara-saudaranya sedang menikmati narkoba bersama-sama. Sementara selama ini yang ia tahu adalah anaknya baik-baik saja.

Astaghfirullahaladzim......

Ayah bunda yang baik, kita ini memang bukan cctv yang bisa memantau anak kita 24 jam, dan sungguh memang yang paling mengenali anak kita hanyalah dirinya sendiri dan Tuhan.

Akan tetapi ayah bunda, bagaimana pun juga kita ini adalah orang tua dari anak-anak kita. Kita lah yang akan dihisab pertama kali alias paling dimintai pertanggungjawaban tentang anak kita oleh Allah SWT kelak. Sehingga kita memang patut bertanya pada diri kita masing-masing, apakah saya sungguh kenal pada anak saya sendiri?

Apalagi di era teknologi yang kian pesat seperti sekarang, smartphone dan internet kerap kali menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Gadget beserta beragam aplikasinya macam games, media sosial, portal berita, dll di dalamnya membuat kita tahu bahkan selalu update dengan kejadian-kejadian yang jauh dari kita, namun justru abai pada hal-hal yang ada di dekat kita. Kita menjadi akrab dengan orang-orang yang berada jauh dari kita, tapi kita jarang sekali berkomunikasi bahkan tidak begitu kenal pada orang yang tinggal serumah dengan kita. Bisa jadi kita pun seperti David, tidak tahu password media sosial anak kita, tidak kenal siapa teman-teman dekatnya, tidak tahu apa aktivitas mereka, dll. Padahal kita serumah dengan mereka!

Jadi ayah bunda, di momentum penghujung tahun ini, ketimbang kita merayakannya dengan pesta hura-hura dan hingar bingar panggung musik serta terompet dan kembang api, alangkah jauuuuuuh lebih baik bila kita gunakan untuk bermuhasabah dan evaluasi diri, baik sebagai suami, sebagai istri, sebagai pribadi, dll termasuk sebagai orang tua dari anak-anak kita. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri dan jawab dengan jujur apa adanya. Sujud dengan sujud terdalam untuk memohon ampunanNya dan Minta pada Nya agar Dia membimbing kita untuk memperbaiki semuanya.

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 01 Desember 2018

AYAH BUNDA BOLEH MARAH KOK, ASALKAN...



Beberapa waktu lalu tetangga dekat rumah memarahi anaknya yang masih balita. Suara kerasnya terdengar sampai rumah saya dan nada bicaranya yang membentak-bentak membuat si anak tak berhenti menangis. Saya yang saat itu sedang membersihkan halaman depan hanya bisa mengelus dada sambil berkata dalam hati “Tega juga ibunya marah-marah begitu. Padahal anaknya sangat lucu dan menggemaskan sekali...”.

Seketika itu juga Allah langsung menyentil saya dan seolah berkata “Memangnya kamu nggak pernah memarahi dan membentak anakmu???”

O iya ya....langsung tepok jidat... dan istighfar banyak-banyak...

Ayah bunda sekalian, tentang marah ini, ada pertanyaan untuk Anda (dan tentu juga untuk saya)...

Misalnya saja, Pak Presiden memiliki anak yang masih kecil lalu menitipkannya pada Anda, berani tidak Anda memarahi dan membentaknya, apalagi sampai mencubit atau memukulnya?

Saya yakin ayah bunda akan kompak menjawab “Ya enggak laaaaaaaah...yang benar saja.....”. Saya pun demikian.

Kalau saya tanya lagi, kenapa?

Besar kemungkinan Anda juga akan kompak menjawab “Ya karena itu kan anak orang lain, bukan anak saya, anaknya presiden lagi....mana berani saya menyakitinya...”

Nah, di sinilah poin menariknya.

Kita (terutama yang punya “bakat” marah) bisa jadi akan dengan mudah mengomeli, mengata-ngatai anak dengan kasar, membentak, mencubit, menjewer, bahkan memukul anak kita sendiri. Apalagi ketika kita sedang lelah lahir dan batin, sedang stres, sedang jenuh bin penat, sedang ada masalah dengan pasangan, sedang ada masalah di kantor, dll. Kesalahan keciiiiil saja yang dilakukan oleh anak kita bisa membuat kita “meledak”.

Tapi bila yang melakukan kesalahan itu adalah anak presiden, hampir pasti kita tidak akan berani memarahinya. Apalagi bila Pak Presidennya ada di situ juga dan melihat. Barangkali kita akan berkata “Ah...nggak apa-apa kooooook...namanya juga anak-anak ya kaaaaan...” sambil dipaksa-paksakan tersenyum dan sekuaaaaaaat tenaga meredam emosi.

Padahal ayah bunda...

Sadarkah kita...

Bahwa yang kita lahirkan, yang setiap hari ada di rumah, di dekat kita, dan kita sebut sebagai anak kita itu SESUNGGUHNYA juga BUKAN milik kita.

Anak-anak itu adalah MILIK ALLAH, Presiden dari segala presiden, dan Raja dari segala raja. Kita ini hanya dititipi saja oleh Allah untuk mengasuh dan merawat mereka sampai batas waktu tertentu.

Lalu kenapa kita berani memarahi, membentak, menjewer, mencubit, apalagi sampai memukulnya? Padahal suatu hari nanti Allah akan mengambil kembali titipanNya dan meminta laporan pertanggungjawaban kita....

Astaghfirullahaladzim.....

Kalau boleh jujur dari lubuk hati yang paling dalam, saya yakin 100% bahwa tak ada satu orang tua waras pun di dunia ini yang ingin memarahi anaknya dalam bentuk melukai perasaannya apalagi sampai menyakiti fisiknya.

Tapi mengapa masih saja sulit untuk tidak memarahi anak?

Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, ayah bunda:

Pertama, karena dulu kita dibesarkan juga dengan dimarah-marahi, sering dibentak-bentak, dikata-katai kasar, dicubit, dijewer, bahkan dipukul pun pernah.

Ayah bunda mungkin sudah sering mendengar bahwa anak itu ibarat giant sponge (mudah sekali menyerap semua yang dilihat, didengar, dan dialaminya) sekaligus peniru paling ulung. Bukan kah kita semua ini adalah anak dari orang tua kita. Jadi sudah pasti gaya pengasuhan orang tua kita dulu akan berpengaruh pada bagaimana kita mengasuh anak-anak kita sekarang. Sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bahwa buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Jadi walau dalam hati sesungguhnya kita tak ingin, tapi akhirnya kita pun marah-marah juga ke anak.

Kedua, karena kita sedang sangat capek, baik capek secara fisik, apalagi bila batin ikut lelah dan iman sedang turun, ditambah sedang ada masalah dengan pasangan, dengan orang tua, mertua, atasan di kantor, dll. Kalau kata orang, sedang episode senggol bacok hehehe... Dan sasaran yang paaaaling empuk untuk melampiaskan semua sampah emosi itu adalah anak, apalagi yang masih kecil dan belum berdaya untuk membela dirinya yang sesungguhnya tidak salah apa-apa....

Istighfar lagi.... 

Jadi, kita harus bagaimana???

Ayah bunda yang baik, kita harus sadari terlebih dahulu bahwa sesungguhnya Allah itu menganugerahi kita emosi LENGKAP, ada senang, ada sedih, ada takut, ada jijik, termasuk juga marah.

Jadi boleh saja kita merasa marah, termasuk bila anak-anak kita melakukan kesalahan, apalagi bila mereka melanggar aturan yang sudah disepakati bersama. Tapiiiiiiiiii.....ada beberapa hal yang harus kita pahami dan kita lakukan:

Pertama, kita marah karena perbuatan salah yang dilakukan anak, bukan karena personal anak kita. Jadi sejajarkan mata kita dengan matanya lalu katakan padanya “Ayah/bunda marah karena kamu melakukan ini, tapi ayah/bunda tetap sayang padamu”. Dengan cara ini pesan yang ingin kita sampaikan akan lebih mudah masuk dan dimengerti oleh anak.

Sebaliknya, jika kita mengomel tanpa henti, membentak, melabelinya nakal, apalagi mencubit atau memukulnya, maka anak tidak akan mengerti bahwa ia baru saja melakukan kesalahan. Yang ia pahami justru dua hal, pertama bahwa mengomel, membentak, mencubit, dan memukul itu boleh dilakukan bila kita marah, dan kemungkinan besar ia akan menirunya dan melakukannya juga. Kedua, ia justru merasa bahwa ia tidak disayang oleh orang tuanya. Dan bila hal ini terjadi terus menerus, ia akan merasa tidak berharga, tidak diinginkan, tidak berarti, dan akan tumbuh menjadi pribadi yang tak memiliki nilai diri. Ini sungguh berbahaya bagi anak dan masa depannya.

Kedua, wajar bila emosi kita mudah sekali tersulut ketika sedang lelah. Sehingga sejatinya setiap kita, baik ayah maupun bunda, sama-sama butuh istirahat dan refreshing, untuk memulihkan kembali jiwa dan raga, serta men-charge energi agar siap mengahadapi hari, termasuk juga menghadapi anak-anak.

Tentu istirahat dan refresing-nya harus disesuaikan pula dengan kondisi kita saat ini yang sudah tak lajang lagi dan sudah punya keluarga yang Allah amanahi. Sehingga ayah bunda bisa mengomunikasikan ini dengan pasangan, agar ada waktu untuk me-time barang sebentar.

Kalaupun ternyata pasangan kita tak bisa diajak bekerja sama, maka ayah bunda harus mengusahakan sendiri untuk ada kesempatan istirahat/refreshing/me-time. Tak harus yang mahal dan besar, bisa dengan cara-cara yang sederhana, seperti mandi supaya segar kembali, minum secangkir teh hangat, dll.

Ketiga, bila ayah bunda sedang merasa sangat sangat sangat emosi, bahkan rasanya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, lalu kita mendapati anak kita melakukan kesalahan, maka kita HARUS SEGERA keluar dari situasi itu. Bukan berarti keluar dari rumah, tapi keluar dari situasi.

Kata Baginda Rosul SAW “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, maka berbaringlah. Jika kamu masih marah padahal sudah dalam keadaan berbaring, maka segera bangkit dan ambil air wudhu untuk bersuci, lalu lakukan sholat sunnah dua rokaat.”

Inilah yang saya maksud dengan keluar dari situasi itu. Harus ada movement, harus ada pergerakan yang bisa memecahkan ketegangan. Misalnya pergi ke dapur untuk minum, pergi ke halaman untuk bernafas, dll. Sebab bila tidak, maka bara emosi akan semakin besar dan mendorong kita melakukan hal-hal yang bisa menyakiti anak.

Jika sudah terlanjur???

Tak apa ayah bunda. Kita ini manusia. Bukan malaikat. Dan Allah sudah tentu tahu itu. Jadi segera MOHON AMPUN. Mohon ampun banyak-banyak dan bertaubat sungguh-sungguh. Lalu lakukan hal yang tak kalah penting, yakni MINTA MAAF pada anak dan sampaikan padanya bahwa kita tetap menyayanginya dan ia pun boleh mengingatkan kita bila kita marah.

Memang tak mudah. Namun bukan berarti tak mungkin untuk dilakukan. Jadi mari kembali pada Allah Sang Penggenggam diri dan hati agar dibimbing selalu dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak. Sebab tak ada daya dan kekuatan selain dari Allah SWT.

Sebagaimana pesan nabi “Siapakah yang kalian anggap paling perkasa? Kami menjawab : orang-orang yang tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Nabi bersabda : Bukan itu, melainkan orang-orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah.” (HR. Muslim)

Tulisan ini adalah pengingat bagi saya pribadi.
Dan semoga juga bermanfaat untuk Anda.