Selasa, 15 Januari 2019

JANGAN SAMPAI KITA SENDIRI LAH YANG MEMENDAM POTENSI ANAK



Salah satu cara paling mudah untuk belajar tentang parenting alias pengasuhan ialah dengan melihat kembali dan mempelajari bagaimana orang tua kita dulu mengasuh kita. Hasilnya? Ya adalah diri kita sekarang ini.

Dulu saat masih menjadi penyiar radio, saya pernah ditunjuk oleh produser saya untuk memandu sebuah talkshow spesial dalam rangka hari kartini. Talkshow itu mengundang 2 narasumber perempuan hebat. Yang satu istri seorang profesor sekaligus pengusaha sukses pemilik sebuah perguruan tinggi di Jogja, dan yang satunya lagi istri seorang tokoh muda Jogja (yang saat tulisan ini dibuat) menjabat sebagai anggota DPR RI.

Meski awalnya saya agak tegang, alhamdulillah talkshow itu bisa mengalir santai, ada canda tawa meski usia kami berbeda-beda, dan ada juga sesi yang mengharu biru. Saya sungguh bersyukur mendapat kesempatan memandu talkshow tersebut, sebab banyak pelajaran berharga yang bisa saya petik dari 2 narasumber saya itu. 

Namun yang membuat talkshow itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi saya ialah komentar teman-teman kantor selepas talkshow, terutama manajer saya. Beliau (yang sangat sangat jarang sekali memberikan apresiasi positiv) berkata pada saya

“Bagus zur...kamu bisa nge-bland sama narasumbernya....” ucapnya sambil tersenyum dan memberi jempol.

Waahhhhhh...sungguh sebuah penghargaan yang tak bisa saya lupakan. Mungkin terkesan lebay ya? Namun memang itulah yang saya rasakan. Saya jadi berpikir, mengapa ucapan manajer saya itu bisa begitu berkesan, bahkan membuat saya terharu setiap kali mengingatnya. Rupanya pujian itu membuat saya merasa dihargai hingga saya TERSADAR bahwa ternyata saya ini punya kemampuan yang lumayan juga.

Lha, kok BARU sadar???

Ya, saya pun bertanya-tanya juga mengapa di usia saya yang waktu itu sudah kepala dua, saya baru meyadari bahwa saya ini punya kemampuan. Dan setelah merenung plus melihat kembali ke belakang, ternyata ada dua penyebab utamanya.

Pertama, rupanya sejak dulu saya amat amat sangat sangat jaraaaaang sekaliiiiiii mendapat apresiasi positiv dari kedua orang tua saya atas apa-apa yang pernah saya capai dalam perjalanan hidup. Saat saya berhasil memenangkan lomba-lomba tujuh belasan, saat saya bisa mendapat nilai ulangan terbaik di kelas, saat saya berhasil mendapat rangking satu, saat saya diterima di SMP dan SMA favorit, pun saat saya diterima di perguruan tinggi negeri ternama di surabaya tanpa harus ikut SPMB, dan momen-momen keberhasilan lainnya, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bapak dan ibu kepada saya sebagai bentuk penghargaan. Mungkin mereka mengungkapkannya dalam hati, atau dalam bentuk sujud syukur ketika sholat atau mengadakan syukuran dengan mengundang anak yatim, dsb. Namun tak ada satupun yang diungkapkan langsung kepada saya, baik dalam bentuk kata-kata, bahasa tubuh, ekspresi wajah, apalagi hadiah. Hingga akhirnya saya pun TERLAMBAT menyadari bahwa saya ini sebetulnya punya kemampuan.

Kedua, adalah karena gaya pengasuhan populer yang saya dapatkan sejak kecil seperti dicap, dibanding-bandingkan, diremehkan, diabaikan, dll yang membuat saya merasa tidak berharga, tidak diterima, tidak memiliki kelebihan apa-apa, dan tidak memiliki konsep diri yang positiv.

Nah ayah bunda yang baik,
Belajar dari pengalaman saya itu, tentu tak ada satupun dari kita yang ingin anaknya bernasib sama seperti saya, terlambat menyadari bahwa dirinya berharga dengan potensi-potensinya yang luar biasa. Sehingga ayah bunda, sebelum terlambat, yuk lihat kembali bagaimana kita mengasuh anak-anak kita selama ini. 

Mari mulai membiasakan diri untuk memberikan apresiasi positiv pada apa-apa yang bisa anak kita lakukan, pada niat baiknya, pada usaha kerasnya, pada kesungguhannya, pada ketekunannya, pada prosesnya meski mungkin hasilnya masih jauh dari sempurna di mata kita. 

Jangan hanya dibatin! Tapi ucapkan apresiasi itu! Dahulukan dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur, baru berikan pujian padanya. Pujian yang proporsional (tidak berlebihan) dan tulus dari hati terdalam.

Lihat juga bagaimana kita bicara kepada anak kita selama ini. Apakah bicara kita terlalu banyak memerintah tanpa jeda, tanpa mendengarkan perasaannya, tanpa membaca bahasa tubuhnya, serba tergesa-gesa, lebih sering menyalahkan dari pada melihat sisi positiv yang dilakukannya, kerap meremehkan kemampuannya, mencap dengan cap-cap negativ, membandingkannya dengan yang lain padahal jelas setiap anak adalah unik, dsb... Bila iya, segera mohon ampun pada Allah dan minta maaf pada anak lalu perbaiki, agar anak merasa bahwa dirinya diterima oleh kedua orang tuanya apa adanya dan dihargai usahanya. Percayalah ayah bunda, bila mereka merasa diterima, dihargai, dan diapresiasi maka mereka akan berusaha untuk melakukan lebih dan lebih baik lagi bahkan tanpa diminta.

Last but not least, PEKA-lah. Perhatikan hal apa yang paling menonjol dari anak kita, meski mungkin tampak sederhana bahkan remeh. Bisa jadi di situlah potensi unggulnya. Asah terus agar ia menjadi spesialis atau ahlinya, dan arahkan pada kebaikan. Saya masih ingat betul, salah satu presenter favorit saya pernah bercerita bahwa dirinya sejak kecil sangat suka sekali berbicara dan melucu. Bahkan saking seringnya bicara dan melucu di kelas, orang tuanya sampai dipanggil ke sekolah sebab ia sering membuat kelas menjadi ramai. Ternyata disitulah talentanya, hingga ia sukses menjadi penyiar radio dan presenter televisi yang seakan tak pernah kehabisan kata untuk bicara dan bercanda.

Jadi ayah bunda....anak itu ibarat kertas putih. Kita lah yang punya kewajiban utama untuk melukisnya dengan lukisan yang baik, agar ia tumbuh menjadi pribadi yang siap bermanfaat bagi alam semesta dengan potensinya.

-Self reminder-

Meski belum berhasil jadi juara, saya selalu bilang pada iin "MasyaAlloh...gambarmu bagus sekali, sayang"