Selasa, 28 Februari 2017

ADA BAPAK BERTANYA PADA ANAKNYA


Ada anak bertanya pada bapaknya
Buat apa berlapar-lapar puasa..

Begitu sepenggal lirik lagu dari grup musik legendaris Bimbo. Sebuah gambaran yang wajar, seorang anak bertanya pada bapak maupun ibunya tentang macam-macam hal, termasuk soal agama, karena usia anak-anak memang usia dengan rasa ingin tahu yang besar. Sehingga sebagai orang tua, kita butuh terus mencari ilmu agar bisa menjawab pertanyaan mereka dengan baik dan benar. Namun bagi saya yang tidak kalah menarik dan penting ialah jika bapak (dan tentu ibu) bertanya pada anaknya. Mengapa?

Pernahkah Anda menjumpai atau mengalami sendiri kejadian ada seorang anak yang menangis, kemudian yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya (bapak, ibu, atau mungkin kakek neneknya) ialah mengalihkan perhatian si anak pada hal lain dengan tujuan agar si anak berhenti menangis. Misalnya ada seorang anak menangis, lalu bapak ibu atau kakek neneknya menggendongnya dan berkata “Eh ada kucing lucu tu...pus pus sini pus..”

Kalo tidak mempan, alias si anak masih terus menangis bahkan semakin keras, maka mereka mengeluarkan jurus berikutnya, yakni “Eh nanti bapak/ibu beliin es krim ya...kesukaan adek...yang rasa coklat kan...atau nanti kita beli mainan yang baru yuk...”

Atau, bila orang tuanya sedang repot apalagi anak yang harus diurusi saat itu lebih dari satu, maka si anak dibiarkan saja menangis, dengan anggapan “Nanti kalau capek juga berhenti sendiri”.

Biasanya si anak akan berhenti menangis dan lega lah bapak ibu atau kakek neneknya, karena mereka merasa masalah sudah selesai dan tidak perlu dibahas lagi. Namun, sadarkah kita, bahwa sejatinya masalah BELUM selesai, dan hal itu bisa menimbulkan MASALAH yang LEBIH BESAR di kemudian hari?

Saya jadi ingat, suatu sore ketika masih kecil, saya menagis di kamar dan ibu saya membiarkan saya. Ibu sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengurus adik saya yang masih bayi. Sementara Ayah bekerja di kantor dan baru pulang menjelang maghrib. Setelah itu benar saya berhenti menangis, karena capek dan haus. Dan tak ada satupun yang bertanya pada saya mengapa saya menangis. Dan tidak hanya sekali itu saja saya dibiarkan ketika sedang menangis atau sedang ngambek.

Dan saya baru benar-benar menyadari dampaknya ketika sudah dewasa dan berumah tangga. Ada kalanya saya sebel atau marah sama suami, tapi belive it or not saya tak mampu menguraikan apalagi menyampaikan padanya penyebabnya. Mungkin bagi orang lain hal itu mudah saja, kan tinggal bilang “Saya sedih, karena...” atau “Saya marah, karena...”. Namun ternyata bagi saya itu cukup sulit. Pokoknya sebel aja! Hehehe...

Sejak saat itu saya mulai merasa ada yang tak beres pada diri ini. Hingga suatu hari saya menemukan bahwa ternyata anak memang HARUS DIAJARI mengenali emosi. Ini penting! Sama pentingnya dengan mengajari mereka bicara, berjalan, makan, dll. Dan bagaimana cara mengenalkan emosi pada anak? Salah satunya ialah dengan BERTANYA pada mereka.

Maka jika nanti mereka menangis, jika masih bisa diajak bicara, sebaiknya kita bertanya pada mereka mengapa mereka menangis. Mungkin mereka sendiri masih bingung untuk menjawabnya, maka bantulah mereka dengan bertanya lagi. Misalnya ketika mereka mengangis kita bertanya
“Kenapa adek menangis? Apakah adek sedih?”
“Kenapa adek sedih? Apakah adek sedih karena habis rebutan mainan sama kakak?
Dan seterusnya

Jika menangisnya sampai meraung-raung dan tidak memungkinkan untuk diajak bicara, maka biarkan dulu anak menangis hingga berhenti. Setelah itu peluk atau pangku anak, bila perlu beri ia minum, baru bertanya mengapa ia menangis.

Ini tidak hanya berlaku ketika anak menangis atau sedang sedih, namun juga untuk segala kondisi emosi, termasuk ketika anak sedang gembira, marah, takut, dll. Penting juga untuk mengenalkan macam-macam emosi pada mereka. Bisa melalui buku cerita atau dongeng atau film yang ditonton, atau apapun yang anak lihat. Misalnya ketika sedang membacakan buku cerita pada anak, lalu ada tokoh di cerita tersebut yang sedih, kita sebutkan bahwa si tokoh menangis karena ia sedih. Atau ketika anak sedang tertawa dan tampak gembira, tanyakan saja padanya “Adek sedang gembira ya? Kok senyum-senyum terus? Kenapa?” Atau ketika sedang nonton film yang ada raksasanya, lalu ia menutup muka ketakutan, tanyakan padanya “Adek takut ya? Kenapa?” Hingga anak pun tahu bahwa ada yang namanya sedih, gembira, marah, takut, jijik, dll. Dan anak juga bisa tahu emosi yang mana yang sedang dialami atau sedang dirasakannya.

Step selanjutnya setelah anak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya ialah mengajari mereka bagaimana cara menyalurkan emosi tersebut dengan cara yang tepat, cara yang tidak menyakiti diri sendiri dan sekitarnya. Misalnya ketika anak sedang marah, ajak ia untuk duduk lalu menarik dan mengeluarkan nafas. Atau jika anak sudah bisa menulis, ajarkan ia untuk menulis bahwa ia sedang marah karena.... Atau jika anak marah karena tidak suka dengan perlakuan temannya di sekolah, ajari ia untuk mengungkapkan dengan baik-baik pada temannya itu bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti itu. Atau, kalau anak sedang sedih, biarkan ia menangis, baik anak perempuan maupun laki-laki, karena menangis adalah hal yang wajar sebagai respon atas kesedihan. Kita yang dewasa pun biasanya merasa lebih lega setelah menagis bukan? Setelah itu ajarkan ia untuk bangkit dari kesedihannya.

Sebetulnya BERTANYA pada anak tak hanya berguna untuk membantunya mengenali apa yang sedang terjadi pada dirinya. BERTANYA pada anak juga sangat berguna untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak sejak ia kecil hingga ia dewasa kelak. Sehingga orang tua tak lagi berkata “Saya nggak ngerti deh, anak saya ini maunya apa sih?”

Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ketika mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Nabi Ismail. Yang pertama kali beliau lakukan pun  adalah BERTANYA pada Ismail “Bagaimana menurut pendapatmu, wahai anakku?”

Semoga bermanfaat. 

Jumat, 17 Februari 2017

SEKOLAH TAK HARUS DI SEKOLAH



Sebenarnya saya bukan penggemar berat bollywood, tapi ada beberapa film india yang bagi saya di atas rata-rata, yakni film india yang tidak sekedar menampilkan tarian dan drama yang sangat khas india, namun yang di dalamnya terdapat  pelajaran mendalam bahkan kritik yang menggugah.

Salah satunya  adalah DRISHYAM. Film produksi tahun 2015 yang dibintangi aktor kenamaan Ajay Devgan ini bercerita tentang seorang pria bernama Vijay Salgaonka yang hidup sederhana namun bahagia bersama istri dan dua putrinya. Ia memiliki sebuah usaha servis alat elektronik bernama “Mirage Cable”. Namun sehari-hari Vijay lebih sering menghabiskan waktu di tempat usahanya itu dengan menonton film-film dari VCD, sementara anak buahnya lah yang mengerjakan pesanan-pesanan servis.

Suatu hari kebahagiaan keluarga kecil Vijay terusik. Putri sulungnya tak sengaja membunuh seorang teman laki-lakinya yang berniat jahat padanya. Maka Vijay pun sekuat tenaga memutar otak untuk menyembunyikan mayat laki-laki itu guna menyelamatkan putrinya agar tak dipenjara.

Malangnya, ternyata laki-laki yang tak sengaja dibunuh oleh putrinya itu adalah anak semata wayang dari seorang Inspektur Jendral polisi dan seorang pengusaha kaya. Maka Vijay yang hanya seorang DO (Drop Out) kelas 4 SD harus mati-matian berhadapan dengan kekuatan besar kepolisian untuk melindungi keluarganya.

Sebetulnya cerita dari film ini ingin mengkritisi kepolisian india yang masih korup dan semena-mena terutama pada orang yang tidak mampu. Namun bukan kritik tersebut yang menyita perhatian saya.

Yang paling membekas dalam benak saya ialah bagaimana tokoh Vijay yang bahkan tak tamat sekolah dasar sekalipun mampu menghadapi dan mengecoh polisi yang tentu sudah berpengalaman menghadapi kasus pembunuhan dan didukung peralatan yang lebih canggih.

Vijay mampu tahu bahwa pasti polisi akan melacak jejak si laki-laki itu melalui ponselnya, maka ia mengambil kartu ponsel si laki-laki itu lalu ia masukkan ke dalam ponsel lain dan ia buang di tempat antah berantah. Mobil yang dipakai oleh laki-laki itu pun ia tenggelamkan di sebuah danau yang sepi. Ia lalu mengajak keluarganya bepergian ke beberapa tempat dan bertemu dengan beberapa orang guna membuat alibi yang kuat. Ia juga meyakinkan keluarganya dan melatih mereka agar semua tampak normal-normal saja, meski dalam hati mereka sangat ketakutan. Polisi pun sampai harus menggunakan cara kekerasan untuk menekan vijay sekeluarga karena mereka tak bisa membuktikan bahwa keluarga vijay lah yang membunuh anak inspektur polisi tersebut, meski mereka mencurigainya. Bahkan polisi pun tak mampu menemukan mayatnya. Semua telah dirancang dengan amat sangat rapi oleh Vijay yang hanya DO-an kelas 4 SD.

Pertanyaan besarnya ialah....bagaimana Vijay yang bahkan tak tamat SD itu bisa sedemikian cerdas mengelabuhi polisi ?
Jawaban pertanyaan inilah yang sangat menarik perhatian saya, yakni dari MENONTON FILM!
Di bagian awal cerita, Vijay bahkan mampu memberi nasihat hukum kepada sepasang suami istri yang tengah kebingungan karena diperas oleh oknum polisi. Dan nasihat hukum itu pun lagi-lagi ia dapatkan dari film yang pernah ditontonnya di VCD.

Mengapa ini menjadi menarik? Karena bagi saya, ini membuktikan bahwa belajar tak harus melulu melalui sekolah...atau...SEKOLAH TAK HARUS DI SEKOLAH.

Mungkin Anda pernah melihat atau bahkan mengalami sendiri, ada orang yang tidak tamat sekolah bisa sukses, dan yang sekolah bahkan sampai perguruan tinggi ada yang menjadi pengangguran. Bagi saya, ini karena kunci penting pendidikan bukan terletak pada institusi sekolahnya, namun pada bagaimana kita mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari apa saja yang kita temui dan dari apa saja yang kita alami, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah.

Percuma saja kita mengahafal bermacam-macam rumus di pelajaran sains, bila kita tidak tahu bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Percuma kita menghafal tanggal agersi militer belanda, tanggal lahir pahlawan, atau tanggal perjanjian ini dan itu dalam pelajaran sejarah, bila kita tak memahami lebih jauh dan mengambil hikmah dari apa yang pernah terjadi pada bangsa ini di masa lalu. Percuma juga menghafal rukun iman bila kita tak tahu bagaimana mengaplikasikannya langsung dalam hidup kita sejak kita lahir sampai mati nanti.

Tentu maksud saya bukan bahwa sekolah dari TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi itu tidak penting. Itu tetap penting. Apalagi sekarang ragam sekolah sudah macam-macam. Ada yang berkonsep alam, ada yang berbasis agama, ada yang bertaraf dan bertarif internasional, ada yang jam sekolahnya seperti jam kantor sejak pagi hingga sore, bahkan tidak sedikit orang tua yang sudah menyekolahkan anaknya sejak masih bayi.

Bersyukurlah Anda yang bisa menyekolahkan putra putri Anda di bangku sekolah yang seperti itu. Tapi bagi Anda yang baru mampu menyekolahkan putra putri Anda di sekolah negeri biasa atau bahkan belum mampu menyekolahkan mereka, tak perlu berkecil hati. Karena sejatinya, setiap tempat adalah sekolah. Setiap orang yang kita temui baik langsung maupun tak langsung adalah guru. Dan setiap hal yang kita lihat kita dengar kita rasa dan kita alami adalah pelajaran. Sebab sekolah tak harus selalu di sekolah. 

Selasa, 14 Februari 2017

ANAK PANAH YANG TERLEPAS



Beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk mulai mengajari iin (buah hati saya yang sudah berusia 3,5 tahun) untuk mandi sendiri. Tujuan utamanya adalah supaya nggak ngerepotin emaknya lagi hihihihi....becanda...itu juga tujuan, tapi bukan yang utama. Yang utama adalah supaya dia bisa mulai belajar mengurus dirinya sendiri.

Tapi untuk yang kesekian kalinya lagi-lagi saya kehilangan kesabaran. Acara mandi yang normalnya bisa singkat malah jadi super duper lama karena dia keasyikan main air dan sabun. Air yang tadinya hangat pun jadi dingin. Akhirnya saya pasang tampang marah dan membentaknya untuk lebih cepat! Ekspresi wajahnya yang tadi bahagia main air langsung berubah jadi takut. Lalu kegiatan mandipun segera saya ambil alih.

Di mandi berikutnya, sebelum masuk kamar mandi iin cepat-cepat bilang “Tapi dimandiin sama bunda yaa...” Dia jadi takut disuruh mandi sendiri lagi, takut dimarahi seperti sebelumnya. Duh Gusti....ampuni hamba atas kekhilafan hamba... 

Saya menyesaaaaaaal sekali karena gagal menahan diri dan gagal menjaga lisan. Padahal ia masih kecil dan masih BELAJAR mandi sendiri. Tentu nggak bisa langsung pandai dan lancar seperti orang dewasa. Tapi apa mau dikata...nasi sudah jadi bubur, sudah terlanjur lisan saya menyakiti perasaannya...

Saya jadi teringat sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Pak Ustadz ketika saya mengaji di TPA dulu. Mungkin banyak di antara Anda yang sudah pernah mendengarnya juga, sebuah kisah yang cukup masyhur, kurang lebih begini ceritanya...(maaf kalo nggak persis-persis amat hehehe)...

Alkisah, pada suatu hari ada seorang ibu yang datang kepada Rosulullah. Ibu itu datang bersama anaknya yang masih bayi, hendak meminta kepada baginda nabi untuk mendoakan bayinya itu.

Rosul lalu menggendong bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba bayi mungil itu pipis, dan pipisnya mengenai baju Rosulullah. Spontan si ibu langsung memarahi bayinya karena merasa sangat sangat malu lalu meminta maaf pada Rosul. Namun apa yang dikatakan baginda...

Ibu...air kencing di bajuku ini bisa dengan mudah dihilangkan dan bersih kembali. Tetapi kata-kata kasar yang kita lontarkan kepada anak kita akan membekas dalam hatinya

Sungguh sangat dalam kata-kata Rosul itu, terutama dalam konteks parenting. Bukan sekali itu saja saya kehilangan kesabaran dan memarahi iin. Setiap kali dalam keadaan emosi, rasanya tidak ada yang terpikir di benak saya kecuali kesal dan ingin marah. Apalagi kalau sedang capek atau lapar atau akan datang bulan, kata-kata kasar dengan intonasi membentak mengalir begitu saja... Tapi apa mau dikata, sudah terlanjur saya menyakiti perasaannya hingga membekas di hati dan ingatannya. Dan yang tidak kalah membuat saya sedih ialah...ia mulai meniru cara saya marah dan membentak. Astaghfirullah...ampuni hamba Ya Allah....

Seringkali saya berdoa pada Allah untuk diberi kesabaran, supaya tidak lagi mudah marah dan membentak iin. Namun tampaknya sabar tak jatuh dari langit begitu saja. Tapi Allah memberi saya peluang untuk menjadi sabar terutama dalam mengendalikan lisan, salah satunya melalui iin.

Karena nasi sudah menjadi bubur, sebelum buburnya terlanjur basi dan terbuang, harus cepat-cepat saya tambahkan kacang, suwiran ayam, dan daun bawang supaya menjadi bubur ayam. Saya pun bertanya pada anak semata wayang saya itu saat ia hendak tidur.

“Nak, apakah iin sedih kemarin bunda marahin waktu mandi?”
“Iya bun...iin takut kalau bunda (sedang) marah...” jawabnya polos.
“Bunda sungguh sungguh minta maaf ya nak karena sudah menyakiti iin. Bunda janji bunda nggak akan membentak iin lagi dan bunda janji akan lebih sabar” kata saya sambil memeluknya erat-erat.

Lalu saya putuskan untuk mem-pending dulu pelajaran mandi sendiri. Untuk beberapa waktu ke depan saya masih memandikannya dan saya buat acara mandinya semenyenangkan mungkin. Setelah itu baru saya latih lagi ia untuk belajar mandi sendiri.

Semoga Allah selalu menuntun saya dan kita semua untuk berhati-hati dalam bicara, termasuk ketika mendidik anak. Agar tak ada lagi luka yang membekas dalam hatinya. Sebab, kata-kata yang kita ucapkan itu seperti anak panah yang kita lepaskan dari busurnya, nggak mungkin kita tarik lagi seolah belum pernah terlepas sebelumnya. Jadi sebelum bicara, pikirkan dulu sebaik mungkin, begitu kata dosen komunikasi saya dulu.

Senin, 13 Februari 2017

MENDIDIK ANAK ALA KUNGFU PANDA



Beberapa waktu belakangan ini saya sedang sering-seringnya nonton film Kungfu Panda 3. Karena anak semata wayang saya sedang suka film itu, jadi dia minta nonton hampir setiap hari. Alhasil emaknya pun ikutan nonton hehehe...

Pada dasarnya saya juga suka Kungfu Panda karena tokoh dan ceritanya yang lucu. Namun setelah beberapa kali menonton, saya baru sadar bahwa di film produksi Dream Works itu terdapat sebuah pelajaran berharga, sebuah pelajaran yang sangat mendasar tentang PENDIDIKAN.

Sebelumnya izinkan saya share sedikit jalan cerita film itu ya, meski mungkin Anda sudah pernah menontonnya juga.

Di seri yang ke 3 ini, Po si panda yang juga tokoh utama diberi amanah oleh gurunya, yakni Master Shifu, untuk menggantikannya menjadi guru dan mengajari teman-temannya kung fu. Tentu saja Po terkejut dan sangat bingung bagaimana caranya menjadi guru dan mengajari teman-temannya kung fu. Maka kekacauan pun terjadi saat latihan, hingga teman-temannya cedera hehehe...

Po pun mengeluh pada Master Shifu. “Aku tak bisa menjadi guru. Aku tak bisa mengajar seperti dirimu, Master...” Lalu Shifu menjawab dengan bijak “You don’t have to turn you into me, you have to turn you into you...” Po bingung dengan jawaban gurunya itu.

Karena sedang bingung, Po pun pulang ke rumahnya. Di rumahnya Po bertemu dengan ayah kandungnya, seekor panda bernama Lee (selama ini Po dirawat oleh ayah angkatnya, seekor bebek). Po terpisah dari keluarganya karena sebuah insiden (ada di seri yang kedua). Po sangat sangat bahagia karena bisa bertemu dengan ayahnya, begitu juga dengan seluruh penduduk desa dan teman-teman seperguruan Po yang terkejut ternyata masih ada panda lain selain Po.

Di saat yang bersamaan munculah Kai. Kai adalah teman dekat Master Ogwe (gurunya Master Shifu yang juga mahaguru kungfu). Kai yang sudah mati berhasil kembali ke dunia fana setelah menghisap chi Master Ogwe dan berniat menghisap seluruh chi dari master-master kungfu di dunia, termasuk chi milik Po.

Menurut catatan dari Master Ogwe, Kai hanya bisa dikalahkan oleh seorang Master chi yaitu panda. Sebab nenek moyang panda lah yang mengajari Master Ogwe tentang chi. Lee pun menawarkan diri mengajari Po tentang chi, dan untuk bisa mempelajarinya, Po harus pulang ke desa rahasia yaitu desa para panda yang masih tersisa, Po harus belajar bagaimana menjadi panda yang sesunggunya, bagaimana panda tidur, bagaimana panda makan, dan bagaimana kebiasaan-kebiasaan seekor panda.

Ternyata Lee berbohong. Sesungguhnya ia dan para panda yang lain tidak tahu menahu tentang chi. “Maybe we used to, but not anymore...” kata Lee. Lee mengajak Po pulang ke desa karena ia tak ingin kehilangan Po lagi.

Po sangat kecewa. Ia pun membuat patung berbentuk Kai dan berlatih dengan putus asa. Ia sadar tak mungkin mengalahkan Kai dan pasukannya seorang diri. Lalu Lee muncul. Ia menawarkan diri untuk membantu Po mengalahkan Kai. Tak hanya Lee, namun ayah bebek dan panda-panda yang lain juga bersedia membantu.

Dan di sinilah dialog yang sangat sangat penting terjadi...

“But You don’t even know kungfu..” ujar Po
“Then you wil teach us...” jawab Lee
“What?! I can’t teach you kungfu...I couldn’t teach tigers and she already knows kungfu...”
“..but you have to belive me....we can do this..we can learn kungfu...we can be just like you!” kata Lee dengan yakin

Po tersadar...
“What did you just say?” tanya Po
“Eee...we can do this?”
“No...”
“Ee..we can learn kungfu?”
“After that...”
“We can just like you?”
“Yes!”
“We can?”
“No! You can’t! Hohoho...but you don’t have to be.. That’s was Shifu meant. I don’t have to turn you into me. I HAVE TO TURN YOU INTO YOU!

Po pun menemukan semangatnya kembali. Akhirnya ia mengerti apa maksud dari kata-kata Master Shifu yakni bahwa Po tak perlu mengajar kungfu seperti Master Shifu, tapi Po akan mengajar kungfu dengan gayanya sendiri. Ia pun mengajar kungfu pada panda-panda. Po berkata pada mereka bahwa kekuatan terhebat muncul dari siapa diri kita yang sebenarnya, muncul dari apa yang paling kita sukai, muncul dari apa yang paling kita kuasai, dan dari apa yang membuat kita merasa “ini gue banget”.

Panda yang suka memeluk, ia latih untuk memeluk kayu yang keras hingga kayu itu hancur. Panda yang suka menendang, ia latih untuk menendang-nendang bakpao dan tidak boleh jatuh ke tanah. Panda yang suka menari dengan pita, ia latih gerakan kungfu dengan pita. Begitu juga dengan panda-panda yang lain.

Latihan pun ia tingkatkan. Yang suka memeluk, ia minta untuk memeluk kayu yang lebih besar lagi dan memeluk lebih kuat hingga kayu itu hancur. Yang suka menendang, sekarang ia latih untuk menendang petasan. Yang suka menari dengan pita, ia latih untuk menari dengan rantai. Panda yang suka bergulung, ia latih untuk bergulung lebih cepat, dll. Hingga akhirnya Po yakin bahwa mereka sudah siap untuk menghadapi Kai dan pasukannya.

Tigers (teman seperguruan Po) sampai bingung, apa dengan dilatih begitu panda-panda ini bisa menghadapi Kai dan pasukannya yang sangat kuat. And...they didi it! Mereka berhasil melumpuhkan pasukan Kai.

Bagi saya apa yang disampaikan Master Shifu dan apa yang dilakukan oleh Po dalam melatih panda-panda itu adalah kunci dasar dari pendidikan, termasuk dalam mendidik anak kita. Mengapa? Karena setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini adalah unik, tidak sama antara yang satu dengan yang lain, dan tidak bisa pula disamakan. Setiap anak punya karakter yang berbeda, punya cara belajar yang berbeda, dan punya potensi yang berbeda-beda.

Ada orang yang lebih mudah mempelajari sesuatu dengan mendengar, ada yang lebih mudah mempelajari hal baru dengan cara melihat atau membaca, namun ada pula yang baru dapat mempelajari sesuatu jika mereka mempraktekkannya atau jika mereka bergerak. Ada orang yang cerdas dalam bidang musik, ada yang cerdas dalam bidang sains, ada yang suka dengan alam, dan lain-lain.

Sehingga hal terbaik dalam mendidik ialah mengetahui seperti apa karakter anak yang kita didik, mengenali potensinya, dan mengenali cara belajarnya, sehingga ia bisa diajari atau dididik dengan cara tepat dan menjadi orang yang berhasil.

Dan sehingga kita tak perlu iri atau gelisah bila anak teman kita atau anak tetangga atau anak saudara pandai bicara di depan orang banyak, sedang anak kita pemalu. Atau anak lain nilai pelajaran matematika dan sains nya sempurna, sedang anak kita tidak. Siapa tau anak kita memang karakternya berbeda dan punya potensi dahsyat di bidang yang lain. Kita sebagai orang tuanya lah yang harus mencari tahu, mengembangkannya dengan cara yang tepat, dan berkata “We won’t turn you into them, kids...we will turn you into you! Just be who you are!”