Sabtu, 02 Maret 2019

DARI SIAPA ANAK BELAJAR BERBOHONG?


Ayah bunda yang baik, adakah di antara Anda yang pernah dibohongi???

Barangkali banyak yang akan menjawab dengan lantang “Adaaaaaa!!!” Apalagi kalau dibohonginya baru-baru saja, masih segar di ingatan dan rasa sakitnya masih periiiih di hati.

Suka nggak ayah bunda dibohongi?

Kemungkinan besar Anda akan menjawab “Ya jelas enggakkk laaaaaaaah...”

Nah kalau sekarang pertanyaannya dibalik (dan harus dijawab dengan jujur yaa) adakah di antara ayah bunda yang pernah membohongi?

Mungkin akan banyak juga yang menjawab “Adaaaa...” tapi dengan suara liriiiiiih sekaliiiiii bahkan di dalam hati, apalagi kalau korbannya sedang ada di sebelah Anda hehehe...

Nah, kalau memang tidak suka dibohongi bahkan pernah merasakan pahit dan perihnya dibohongi, lantas mengapa kita berbohong atau membohongi orang lain? Apalagi sampai menyebarluaskannya pada orang banyak. Misalnya saja mengaku kecelakaan menabrak tiang listrik sampai bengkak sebesar bakpao, atau mengaku dipukuli orang ternyata baru saja menjalani treatment wajah, atau menyebutkan data-data yang jelas-jelas tidak sesuai fakta di sebuah forum debat yang ditonton jutaan orang secara live?

Mengapa kita dengan mudahnya bisa berbohong padahal tidak suka dibohongi?

Hemm....saya jadi teringat beberapa waktu lalu seorang anak tetangga sedang bermain dengan anak saya di rumah. Lalu anak itu berkata pada anak saya “Eh kamu jangan makan permen karet lho!” Anak saya pun bertanya mengapa dan anak itu menjawab dengan polosnya “Soalnya kata kakekku permen karet itu bikinnya diinjek-injek..” Saya yang saat itu sedang minum di dekat mereka hampir saja tersedak. Di lain waktu ia berkata lagi pada anak saya “Eh kamu kalau sudah malam jangan keluar rumah lho, kata kakekku nanti perutnya digeli-geli sama setan...” Apaaaaa??? (tepok jidat)

Pernah juga saya melihat seorang anak merengek pada ibunya karena minta diajak berenang ke sebuah tempat berenang. Karena sedang tidak memungkinkan untuk berenang saat itu, si ibu lalu mengambil HP dan berpura-pura menelepon tempat berenang itu “Halo pak...sudah tutup ya pak kolam renangnya. O ya udah makasi ya pak.” Lalu ibu itu berkata pada anaknya “Tuh kan mama sudah telpon kolam renangnya sudah tutup. Kapan-kapan saja kita ke sana...” Padahal jelas tempat berenangnya masih buka.

Ada pula seorang nenek yang suatu pagi berusaha menenangkan cucunya yang sedang menangis karena ditinggal ibunya berangkat kerja “Bunda cuma ke tambal ban di depan situ kok bentaaaar, soalnya motornya harus diperbaiki...bentar lagi bunda balik, sudah cup cup cup nggak usah nangis...” Padahal si ibu bukan pergi ke tambal ban dan baru akan pulang kerja sore harinya.

Atau seorang ayah sedang asyik berselancar di dunia maya dengan smartphone-nya lalu datanglah anaknya yang merajuk ingin pinjam untuk nonton youtube “Nggak bisa...nggak bisa...batrey hp ayah sudah mau habis...” Tapi si anak tetap merengek bahkan makin kencang. Lalu si ayah berketa lagi “Kuota ayah sudah habis. Nggak bisa dipakai nonton youtube.” Padahal jelas batrey dan kuotanya masih ada.

Pun masih jelas sekali di ingatan saya, dulu saat saya masih duduk di bangku TK, guru saya pernah berkata “Kalau sudah besar itu nggak boleh nen (menyusu ke ibu) lagi ya. Nanti kalo masih nen, lidahmu akan bolong-bolong kayak habis di makan ulat”. Kenapa perkataan guru saya itu masih saya ingat terus sampai sekarang, sebab ketika beliau berkata seperti itu, saya langsung membayangkan lidah yang bolong-bolong seperti daun yang di makan ulat, dan itu sukses membuat saya geli bin takut. Sekarang saya hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala saja kalau ingat kata-kata guru saya itu.

Nah ayah bunda, tanpa kita sadari, ternyata sejak kecil seorang anak sudah belajar untuk berbohong. Dari siapa mereka belajar? Justru dari orang-orang terdekat di sekitarnya yang SEMESTINYA dan SEHARUSNYA mengajarinya untuk menjadi baik, termasuk mengajarkan tentang kejujuran.

Saya percaya, tidak ada orang tua, keluarga, maupun guru manapun yang secara sadar dan sengaja berniat mengajari anak atau cucu atau muridnya untuk berbohong. Dan ketidaksengajaan serta ke-tidak-ada-niatan itu biasanya mereka lakukan karena alasan yang baik bahkan mulia. Misalnya kakek teman main anak saya itu, saya yakin beliau berkata pada cucunya bahwa permen karet itu proses pembuatannya dengan cara diinjak-injak pakai kaki adalah agar cucunya tidak kebanyakan makan permen yang bisa membuatnya batuk atau sakit gigi, dan memang teman main anak saya itu suka sekali makan permen. Pun dengan guru TK saya itu, saya yakin beliau tentu tahu bahwa menyusu sampai kapan pun tak akan pernah membuat lidah anak menjadi bolong. Saya yakin beliau berkata seperti itu agar saya dan teman-teman saya yang saat itu sudah berusia 5 tahun tidak lagi menyusu pada ibu kami dan bisa lebih mandiri. Sayangnya maksud-maksud dan tujuan-tujuan yang baik nan mulia itu tidak diikuti oleh cara yang baik serta bijak pula.

Mengapa tidak mengatakan yang sebenarnya saja pada anak?

“Cucuku sayang, jangan makan permen lagi ya, nanti kalau kebanyakan bisa sakit gigimu...”

“Maaf ya nak, ibu nggak bisa mengantarmu berenang. InsyaaAlloh kita berenang lain waktu ya...”

“Cup cup cup...jangan menangis cucuku...bundamu berangkat kerja dulu. Nanti sore bunda pulang. Yuk kita main dulu sambil menunggu bunda pulang...”

“Bentar ya anakku sayang, ayah sedang pakai HP nya. Nanti kalau ayah sudah selesai, gantian kamu boleh pakai HP ayah untuk nonton Youtube...tapi nontonnya bareng ayah ya hehehe...”

“Murid-murid...kalian itu sudah besar dan hebat, sudah bisa makan dan minum sendiri. Jadi sudah tidak perlu lagi menyusu ke ibu ya. Oke?”

Mudah kan???

Tapi nanti cucu atau anak akan menangis, merajuk, merengek bahkan sampai gulung-gulung dan koprol di lantai, dsb....

Ya nggak apa-apa. Itu wajar, sebab itulah cara mereka (yang masih belum dewasa) merespon atau bereaksi terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Berikan mereka kesempatan untuk menyalurkan respon atau reaksi mereka itu, selama respon atau reaksinya tidak menyakiti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Bukankah dalam hidup ini sejatinya kita pun pernah bahkan mungkin sering mendapakan sesuatu yang ternyata tidak sesuai dengan yang kita inginkan atau tidak sesuai dengan ekspektasi kita? Lalu kita pun merasa kecewa, sedih, patah semangat atau marah. Tak apa, itu reaksi emosi yang wajar sebagai bentuk respon atas kejadian seperti itu.

Lagipula suatu hari nanti dalam perjalanan usianya, anak-anak akan tahu bahwa dulu dia dibohongi. Ingat, anak adalah peniru paling ulung, sehingga tidak menutup kemungkinan ia akan berbohong pula. Dan bila pembohongan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya itu dilakukan berulang-ulang maka bisa jadi anak akan berpersepsi bahwa berbohong adalah hal yang biasa alias tak masalah untuk dilakukan.

Jadi biarlah sedari dini anak-anak kita belajar menghadapi kenyataan dan belajar tentang kejujuran agar mereka tidak tumbuh menjadi manusia yang mudah berdusta.

-Self Reminder-
Semoga bermanfaat