Suatu siang sepulang sekolah, saya dan
beberapa ibu wali murid sedang ngumpul di salah satu ruang
kelas. Kami tengah sibuk mengecek kelengkapan kostum dan asesoris untuk
persiapan lomba ekstrakurikuler.
Karena kami semua ibu-ibu, maka
seperti biasa, kami pun mengeluarkan kemampuan multi-tasking kami.
Sambil tetap cekatan bekerja menyiapkan kostum dan semua asesorisnya, kami
asyik membicarakan macam-macam topik.
Lalu salah seorang ibu bercerita “Eh
bu-ibuuu anak ku kemarin naik level lho. Sekarang sudah mulai belajar
hitung-hitungan yang lebih sulit. Emang bagus banget lah les di situ”
ujarnya antusias. Ibu-ibu yang lain langsung tertarik dan menanggapi.
Saya? Seperti biasa, lebih suka
mendengarkan obrolan mereka dan memperhatikan ekspresi mereka satu-satu. Saya
memang suka memperhatikan orang-orang yang tidak sadar sedang diperhatikan
hehehe...
Tak lama kemudian, anak-anak kami masuk ke
dalam kelas lalu mendekati ibunya masing-masing. Sepertinya mereka bosan bemain
di halaman sekolah sambil menunggu kami bekerja. Beberapa penasaran
melihat-lihat, memegang-megang, dan bertanya ini itu tentang kostum dan
asesorisnya. Beberapa mulai merajuk mengajak ibu mereka pulang. Namun tidak
dengan anak si ibu tadi. Begitu masuk ke dalam kelas, ia duduk di samping
ibunya. Tampak lemas dan wajahnya pucat. Si ibu langsung berkata “Habis ini
kita langsung ke tempat les ya!” Si anak hanya diam, tak menjawab, lalu
menyandarkan kepalanya di lengan ibunya. Kemudian si ibu berkata lagi “Pokonya
nanti harus les ya. Kan kamu sudah naik level. Oke? Toss dulu!” ucapnya
sambil memberikan telapak tangan nya. Si anak membalas lemah toss itu.
Lalu si ibu kembali bekerja sambil bercakap-cakap lagi.
Pemandangan itu cukup mengusik saya. Saya
memang bukan ibunya, dan ibunya pastilah lebih tahu tentang anak itu ketimbang
saya. Tapi kelihatannya ada sesuatu dengan anak itu, entah kelelahan atau
sedang sakit. Mengapa tidak diberi minum dulu? Atau mengapa tidak ditanya
kondisinya dan malah memberondongnya dengan ungkapan-ungkpan bahwa ia harus
tetap datang les? Dari situlah saya yakin bahwa kita sebagai orang tua memang
perlu bahkan harus punya kemampuan membaca bahasa tubuh anak.
Mengapa ?
Pertama, karena anak-anak kita belum tentu
tahu apa yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri. Kedua, mereka belum
tentu mampu mendeskripsikan atau menyebutkannya dengan kata yang tepat kepada
kita. Mungkin kosa kata mereka masih terbatas. Atau ketiga, bisa jadi mereka
sebetulnya sudah tahu apa yang sedang mereka rasakan, dan sudah punya kosa
katanya, namun tak cukup berani untuk menyampaikannya pada kita.
Kalau dalam contoh yang saya ceritakan di
awal tadi, bisa jadi si anak sebenarnya tidak enak badan, tapi dia belum tau
kosa kata “tidak enak badan”. Atau mungkin dia sudah tahu bahwa dia merasa
lelah tapi tidak berani mengungkapkannya karena ibunya buru-buru
memberondongnya dengan ungkapan-ungkapan bahwa ia tetap harus datang ke tempat
les.
Kalau saja kita mau mencoba membaca bahasa
tubuh anak-anak kita, sejatinya ini bisa menjadi langkah awal yang baik. Untuk
apa? Pertama, untuk mengasah kepekaan kita terhadap mereka. Kepekaan ini
sangat penting. Sebab, tidak sedikit masalah yang dialami oleh anak-anak
disebabkan orang tuanya kurang peka bahkan abai terhadap mereka. Kedua, untuk
membantu kita merespon kondisi mereka dengan tindakan yang tepat.
Namun demikian, tak seperti membaca huruf
atau angka, membaca bahasa tubuh ini belum tentu mudah. Ini membutuhkan
kesungguhan dan juga latihan.
Mengapa perlu kesungguhan?
Karena kita harus melakukannya di tengah
kesibukan dan rutinitas harian kita yang memang sudah padat. Ada kalanya anak
menunjukkan sesuatu dengan bahasa tubuhnya ketika kita sedang fokus pada
tanggung jawab kita yang lain, atau ketika kita sedang ada di suatu forum
dengan orang lain, entah satu dua atau banyak orang.
Selain itu di era gadget seperti
saat ini, muncul aktivitas-aktivitas lain yang tak jarang lebih menyita
perhatian kita. Sudahlah aktivitas kita padat, masih ditambah dengan
ke-asyik-an memfoto ini itu termasuk selfie dan membaginya di
media sosial. Disusul mencari tahu kabar-kabar terbaru yang sedang viral dari
selebriti maupun teman sendiri. Sehingga tanpa kesungguhan, kita tak sempat
lagi fokus memperhatikan anak-anak kita, apalagi membaca bahasa tubuh mereka.
Latihannya?
Setelah membulatkan kesungguhan, maka mari
luangkan lebih banyak waktu untuk memperhatikan dan mengamati
mereka. Minimalkan aktivitas-aktivitas lain yang kurang bahkan tidak
perlu. Dari situlah kita bisa tahu bagaimana bahasa tubuh mereka ketika sedang
lapar, sedang mengantuk, sedang lelah, sedang sakit, sedang senang, sedang
sedih, sedang marah, sedang kecewa, dsb. Sehingga kita bisa meresponnya dengan
tindakan yang tepat.
Yuk ayah bunda, kita mulai dari sekarang
untuk membiasakan diri membaca bahasa tubuh anak-anak kita. Sebab, sebagaimana
ilmu yang pernah saya dapat saat masih kuliah di jurusan komunikasi dulu,
bahasa non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, dll) sejatinya
berbicara lebih jujur daripada bahasa verbal alias kata-kata.
-Self reminder-
Semoga bermanfaat