Selasa, 22 September 2020

AYAH BUNDA HARUS BELAJAR MEMBACA (LAGI)

 

Suatu siang sepulang sekolah, saya dan beberapa ibu wali murid sedang ngumpul di salah satu ruang kelas. Kami tengah sibuk mengecek kelengkapan kostum dan asesoris untuk persiapan lomba ekstrakurikuler.

Karena kami semua ibu-ibu, maka seperti biasa, kami pun mengeluarkan kemampuan multi-tasking kami. Sambil tetap cekatan bekerja menyiapkan kostum dan semua asesorisnya, kami asyik membicarakan macam-macam topik.

Lalu salah seorang ibu bercerita “Eh bu-ibuuu anak ku kemarin naik level lho. Sekarang sudah mulai belajar hitung-hitungan yang lebih sulit. Emang bagus banget lah les di situ” ujarnya antusias. Ibu-ibu yang lain langsung tertarik dan menanggapi.

Saya? Seperti biasa, lebih suka mendengarkan obrolan mereka dan memperhatikan ekspresi mereka satu-satu. Saya memang suka memperhatikan orang-orang yang tidak sadar sedang diperhatikan hehehe...

Tak lama kemudian, anak-anak kami masuk ke dalam kelas lalu mendekati ibunya masing-masing. Sepertinya mereka bosan bemain di halaman sekolah sambil menunggu kami bekerja. Beberapa penasaran melihat-lihat, memegang-megang, dan bertanya ini itu tentang kostum dan asesorisnya. Beberapa mulai merajuk mengajak ibu mereka pulang. Namun tidak dengan anak si ibu tadi. Begitu masuk ke dalam kelas, ia duduk di samping ibunya. Tampak lemas dan wajahnya pucat. Si ibu langsung berkata “Habis ini kita langsung ke tempat les ya!” Si anak hanya diam, tak menjawab, lalu menyandarkan kepalanya di lengan ibunya. Kemudian si ibu berkata lagi “Pokonya nanti harus les ya. Kan kamu sudah naik level. Oke? Toss dulu!” ucapnya sambil memberikan telapak tangan nya. Si anak membalas lemah toss itu. Lalu si ibu kembali bekerja sambil bercakap-cakap lagi.

Pemandangan itu cukup mengusik saya. Saya memang bukan ibunya, dan ibunya pastilah lebih tahu tentang anak itu ketimbang saya. Tapi kelihatannya ada sesuatu dengan anak itu, entah kelelahan atau sedang sakit. Mengapa tidak diberi minum dulu? Atau mengapa tidak ditanya kondisinya dan malah memberondongnya dengan ungkapan-ungkpan bahwa ia harus tetap datang les? Dari situlah saya yakin bahwa kita sebagai orang tua memang perlu bahkan harus punya kemampuan membaca bahasa tubuh anak.

Mengapa ?

Pertama, karena anak-anak kita belum tentu tahu apa yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri. Kedua, mereka belum tentu mampu mendeskripsikan atau menyebutkannya dengan kata yang tepat kepada kita. Mungkin kosa kata mereka masih terbatas. Atau ketiga, bisa jadi mereka sebetulnya sudah tahu apa yang sedang mereka rasakan, dan sudah punya kosa katanya, namun tak cukup berani untuk menyampaikannya pada kita.

Kalau dalam contoh yang saya ceritakan di awal tadi, bisa jadi si anak sebenarnya tidak enak badan, tapi dia belum tau kosa kata “tidak enak badan”. Atau mungkin dia sudah tahu bahwa dia merasa lelah tapi tidak berani mengungkapkannya karena ibunya buru-buru memberondongnya dengan ungkapan-ungkapan bahwa ia tetap harus datang ke tempat les.

Kalau saja kita mau mencoba membaca bahasa tubuh anak-anak kita, sejatinya ini bisa menjadi langkah awal yang baik. Untuk apa? Pertama, untuk mengasah kepekaan kita terhadap mereka. Kepekaan ini sangat penting. Sebab, tidak sedikit masalah yang dialami oleh anak-anak disebabkan orang tuanya kurang peka bahkan abai terhadap mereka. Kedua, untuk membantu kita merespon kondisi mereka dengan tindakan yang tepat.

Namun demikian, tak seperti membaca huruf atau angka, membaca bahasa tubuh ini belum tentu mudah. Ini membutuhkan kesungguhan dan juga latihan.

Mengapa perlu kesungguhan?

Karena kita harus melakukannya di tengah kesibukan dan rutinitas harian kita yang memang sudah padat. Ada kalanya anak menunjukkan sesuatu dengan bahasa tubuhnya ketika kita sedang fokus pada tanggung jawab kita yang lain, atau ketika kita sedang ada di suatu forum dengan orang lain, entah satu dua atau banyak orang.

Selain itu di era gadget seperti saat ini, muncul aktivitas-aktivitas lain yang tak jarang lebih menyita perhatian kita. Sudahlah aktivitas kita padat, masih ditambah dengan ke-asyik-an memfoto ini itu termasuk selfie dan membaginya di media sosial. Disusul mencari tahu kabar-kabar terbaru yang sedang viral dari selebriti maupun teman sendiri. Sehingga tanpa kesungguhan, kita tak sempat lagi fokus memperhatikan anak-anak kita, apalagi membaca bahasa tubuh mereka.

Latihannya?

Setelah membulatkan kesungguhan, maka mari luangkan lebih banyak waktu untuk memperhatikan dan mengamati mereka. Minimalkan aktivitas-aktivitas lain yang kurang bahkan tidak perlu. Dari situlah kita bisa tahu bagaimana bahasa tubuh mereka ketika sedang lapar, sedang mengantuk, sedang lelah, sedang sakit, sedang senang, sedang sedih, sedang marah, sedang kecewa, dsb. Sehingga kita bisa meresponnya dengan tindakan yang tepat.

Yuk ayah bunda, kita mulai dari sekarang untuk membiasakan diri membaca bahasa tubuh anak-anak kita. Sebab, sebagaimana ilmu yang pernah saya dapat saat masih kuliah di jurusan komunikasi dulu, bahasa non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, dll) sejatinya berbicara lebih jujur daripada bahasa verbal alias kata-kata.

 

-Self reminder-

Semoga bermanfaat