Sabtu, 28 Oktober 2017

ANAKKU, BUTUH DAN INGIN ITU BERBEDA

Sebulan yang lalu saya dan 12 ibu wali murid yang lain ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menjadi komite orang tua di sekolah tempat iin belajar. Bagi saya ini adalah pengalaman pertama terlibat di dalam komite orang tua yang tugasnya membantu sekolah mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk para murid.

Tak lama setelah dibentuk, ketua komite mengundang kami untuk rapat perdana guna menyusun program kerja kami selama setahun. Dan salah satu programnya ialah pengadaan seragam untuk komite, berbentuk gamis lengkap dengan jilbabnya seharga kurang lebih Rp 150.000 rupiah per orang.

Saya pun bertanya pada ibu ketua, apakah sesungguhnya seragam ini memang diperlukan? Maksud saya, bila tanpa seragam komite masih bisa bekerja, lalu mengapa harus beli seragam? Kan masing-masing anggota pasti sudah punya cukup banyak baju yang layak dipakai untuk berbagai kegiatan. Selain itu biaya Rp 150.000 per orang bisa dihemat untuk kebutuhan lain, baik untuk kebutuhan pribadi masing-masing anggota, maupun kebutuhan program komite yang lain.

Ibu ketua pun menjawab bahwa seragam berfungsi sebagai identitas komite. Sebab ketika ada acara atau kegiatan, biasanya komite juga berfungsi sebagai panitia, sementara wali murid yang lain sebagai peserta.

Lalu saya berkata, “Kalau begitu bagaimana kalau saat acara kita bikin kartu identitas atau pin saja? Itu cukup bisa membedakan mana yang panitia dan mana yang peserta, dan yang pasti lebih hemat”

Kemudian seorang ibu menanggapi “Tahun-tahun sebelumnya kan komite selalu punya seragam, kalau sekarang kita nggak punya seragam ya jadi lain sendiri dan rasanya aneh...”

Sementara ibu yang lain lagi berkata “Kalau ada seragam, saya jadi nggak bingung menentukan besok mau pakai baju apa...”

Singkat cerita, 12 ibu setuju ada seragam, dan hanya saya sendiri yang tidak. Sebab saya merasa program seragam tidaklah substantiv, maksudnya bila tidak ada pun sesungguhnya tak masalah. Dan kita bisa lebih memfokuskan pikiran, waktu, tenaga, biaya, dan bensin untuk program lain yang lebih berdampak serta bermanfaat bagi para murid. Tapi kalau tetap ingin bikin seragam pun ya monggo-monggo saja...

Selepas rapat, saya mengirim pesan pribadi pada bu ketua lewat whats app. Saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya tidak ikut beli seragam karena saya harus berhemat, tapi insyaAllah itu tidak mengurangi semangat dan niat saya berkontribusi di komite.

Lalu mulailah ke-12 ibu-ibu itu sibuk memilih bahan, survey model gamis, mencari penjahit, dan mengukur baju. Sebagian ibu-ibu menitipkan baju gamis pribadinya pada ibu ketua untuk contoh ukuran. Sementara sebagian ibu-ibu lainnya langsung datang dan mengukur di penjahitnya. Rupanya ibu-ibu yang datang langsung ke penjahit malah jadi mencoba baju-baju lainnya di sana dan berfoto lalu diupload di grup whats app komite. Dan ini membuat ibu-ibu yang tadinya hanya titip contoh baju, jadi ingin ke penjahitnya juga untuk lihat-lihat dan kalau ada yang cocok jadi ingin beli. Wah wah wah...kalau ini sih namanya memang suka beli baju baru hehehe...

Menariknya, di saat yang bersamaan, sebagian ibu-ibu komite ini mengeluhkan anaknya yang suka minta dibelikan jajan. Berangkat sekolah minta dibelikan jajan, pulang sekolah minta dibelikan jajan, sore hari pun minta uang untuk beli makanan di warung tetangga. Belum lagi kalau mampir di mini market pasti anak-anaknya minta dibelikan sesuatu, minimal sepuluh ribu rupiah pasti melayang.

Memang, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya.

Dari sini saya jadi berpikir betapa pentingnya kita bisa membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan. Sepintas nampak sama, dan seringkali kita menyebutnya kebutuhan padahal sesungguhnya itu adalah keinginan. Mengapa ini menjadi penting? Sebab menyadari dengan jujur tentang perbedaan kebutuhan dan keinginan menjadi salah satu kunci dalam pengaturan keuangan, baik bagi yang hidupnya masih single maupun yang sudah berkeluarga. Terutama bagi yang sudah berumah tangga, kesalahan dalam pengaturan keuangan seringkali menimbulkan masalah bahkan bisa mengganggu keharmonisan.

Lalu bagaimana cara membedakannya?

Saya mengutip dari www.finansialku.com, ada beberapa pertanyaan yang bisa kita ajukan pada diri kita sendiri sebelum membeli sesuatu, agar kita tahu apakah itu kebutuhan atau keinginan.

Pertama, apakah benda tersebut memang kita butuhkan saat ini?
Jika iya, maka kita bisa lanjut ke pertanyaan kedua. Namun jika tidak, maka sudah pasti itu hanya keinginan kita. Kita perlu berpikir dua kali untuk memenuhi keinginan. Yakni apakah memang ada anggaran untuk memenuhi keinginan tanpa mengganggu anggaran untuk kebutuhan.

Kedua, bagaimana jika kita tidak membelinya saat ini?
Jika kita merasa tidak apa-apa atau sesungguhnya tidak masalah, maka itu adalah keinginan kita, bukan kebutuhan. Kita harus berpikir dua kali untuk membelinya. Jika kita harus membelinya untuk saat ini juga, maka lanjut ke pertanyaan ketiga ya.

Ketiga, apakah harus benda tersebut?
Apakah ada benda pengganti lainnya yang dapat memenuhi kebutuhan kita? Jika masih ada benda pengganti lainnya, tanyakan ulang dari pertanyaan pertama untuk benda pengganti tersebut. Jika tidak ada benda pengganti lainnya, maka itu berarti bahwa benda tersebut adalah yang memang kita BUTUH-kan untuk saat ini.

Lalu apakah tidak boleh memenuhi keinginan? Tentu boleh dan sah-sah saja, selama (sekali lagi) pemenuhannya tidak mengganggu anggaran kita untuk memenuhi kebutuhan. Atau dengan kata lain, prioritaskan kebutuhan atau hal-hal yang substantiv terlebih dahulu, setelah itu baru keinginan.

Dan alangkah baiknya jika kebiasaan membedakan mana yang butuh dan mana yang ingin ini kita tumbuhkan pada diri anak-anak kita juga. Tentu harus dimulai dari orang tuanya dulu.

Sejak iin masih kecil dan bisa saya ajak pergi belanja, saya selalu berkata padanya “Yuk kita belanja untuk beli kebutuhan”. Lalu saya tulis dulu apa-apa saja yang hendak dibeli. Ketika beranjak lebih besar, iin pun bertanya “Kebutuhan itu apa bun?” Dan saya menjawab “Kita mau beli beras, sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng, dll...karena sudah pada habis. Kalau nggak beli sekarang, nanti kita nggak bisa makan, nggak bisa mandi, nggak bisa nyuci baju...”

Suatu kali di akhir bulan di mana kondisi keuangan sudah mepet, iin berkata pada saya..
“Bunda, aku mau beli susu..”
“Wah maaf ya nak, sekarang bunda nggak punya uang untuk beli susu. InsyaAllah kita beli susu minggu depan kalau ayah sudah gajian...”
“Tapi itu di dompet bunda ada uang...”
“Itu uangnya untuk beli sayur dan lauk..”
“Tapi aku mau susu...”
“Sabar ya, insyaAllah minggu depan kita beli susu. Nggak minum susu pun kita masih bisa hidup hehehe...”
Dan syukurlah iin nggak memaksa lagi...

Tentu cara kami mengajari iin ini masih jauh dari sempurna. Tapi saya dan ayahnya selalu berharap agar iin tumbuh menjadi orang yang bisa membedakan mana yang butuh dan mana yang ingin. Apalagi kelak jika sudah berumah tangga, iin akan jadi menteri keuangan dalam keluarganya.

Tentu harus diawali dari orang tuanya dulu.

Dan ini menjadi pengingat bagi saya pribadi.


Semoga bermanfaat.

Senin, 23 Oktober 2017

AYAH DAN BUNDA JUGA PERLU “MACET” SEBENTAR

Saya teringat sebuah tulisan yang pernah dibuat oleh seorang teman beberapa tahun lalu. Saat itu ia akan kembali ke kota asalnya setelah beberapa hari liburan di Jogja. Dalam perjalanan menuju stasiun tugu sore itu, ternyata ia terjebak macet yang cukup parah. Maklumlah, jogja pun macet ketika jam berangkat dan pulang kantor.

Padahal tadi berangkat dari hotel sudah buru-buru sekali, tapi kena macet juga, yaah apa boleh buat. Menggerutu atau mengutuki kemacetan sebab sudah mendekati waktu keberangkatan kereta pun tak ada gunanya. Akhirnya nikmati saja kemacetan itu sambil terus berdoa agar tak ketinggalan kereta. Begitu tulis teman saya.

Singkat cerita, rupanya kemacetan itu justru memberinya waktu untuk memperhatikan keadaan sekitar, sebab sejak dari hotel tadi, yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya sampai di stasiun kereta as soon as possible. Ia pun jadi bisa memperhatikan penjual krupuk dan hiasan mobil di lampu merah yang sedang berjuang mencari rezeki di tengah kepulan asap kendaraan dan teriknya matahari. Ia juga jadi bisa memperhatikan anak-anak kecil yang mengamen ala kadarnya dari satu mobil ke mobil lain untuk bisa makan sesuap nasi. Pemandangan-pemandangan itu membuat teman saya tersadar dan jadi banyak bersyukur atas rezeki yang Allah beri padanya selama ini. Padahal sebelumnya seringkali ia merasa kurang itu dan ini. Ternyata dalam hidup ini kita memang perlu “macet”. Begitu kalimat terakhir dalam tulisan teman saya.

Saya setuju dengannya. Kita memang perlu “macet” alias berhenti sebentar dari segala aktivitas hidup yang terus menerus kita lakukan dari waktu ke waktu.

Sebab macet membuat kita jadi punya waktu untuk melihat lebih banyak hal. Macet membuat kita bisa mengingat kembali perjalanan waktu serta apa saja yang sudah dan belum kita capai sampai detik ini. Macet membuat kita jadi bisa menangkap keindahan-keindahan yang Allah sisipkan dalam hidup kita, yang mungkin selama ini tak pernah kita sadari, sebab kita terus menerus disibukkan oleh rutinitas dan serasa diburu-buru oleh waktu. Macet juga bisa membuat kita punya waktu sejenak untuk merenungi dan mengevaluasi diri.

Ayah dan bunda pun butuh macet juga sebentar.

Di tengah rutinitas ayah yang senin sampai jumat bahkan sabtu menjemput rezeki, pergi pagi atau malah subuh dan baru sampai di rumah sore hari bahkan larut malam, ketika pulang pun pekerjaan lengkap dengan stresnya masih dibawa ke rumah... Ayah perlu macet sebentar..

Perhatikan seisi rumah, bersyukurlah bahwa Allah memberi tempat untuk berteduh, berlindung, beristirahat, dan membangun rumah tangga meski tak semegah istana. Adakah bagian-bagian rumah yang perlu diperbaiki agar terasa semakin baiti jannati?

Perhatikan kondisi istri, sudah bahagiakah ia? Sudah bertanggung jawabkah ayah selama ini sebagai suami? Ingat kembali bagaimana perjuangan dan deg-degan nya ayah dulu ketika mengucapkan akad di depan orang tuanya dan disaksikan oleh Allah beserta malaikat-malaikatNya..

Perhatikan anak-anak, betapa lucunya mereka dari waktu ke waktu, betapa cerdasnya mereka dengan beragam pertanyaan yang polos namun kritis. Betapa sesungguhnya mereka selalu menanti-nanti ayahnya pulang karena tak sabar ingin segera bermain bersama dan melepas rindu. Perhatikan bagaimana keadaan lahir dan batinnya, apakah mereka sudah mendapatkan ayah yang seutuhnya? Ingat kembali ketika dulu mendampingi istri berjuang melahirkan dan mengumandangkan adzan di telinga kecil mereka...

Begitu pula dengan bunda.

Bunda juga perlu macet sejenak dari rutinitas mengurus pekerjaan rumah tangga yang seolah tak pernah ada habisnya, dari mengurus anak-anak sejak mereka bangun tidur hingga tidur kembali, pun dari pekerjaan di kantor atau bisnis yang sedang ditekuni.

Perhatikan keadaan suami, sudah bahagiakah ia? Sudahkah bunda menjadi istri yang sholihah baginya? Ingat kembali apa yang membuat bunda bersedia menerima pinangan ayah dan siap membangun rumah tangga bersamanya.

Perhatikan anak-anak. Meski setiap hari bahkan setiap saat selalu bersama mereka, barangkali justru karena terlalu sering bersama, bunda jadi tidak begitu menyadari betapa lucu dan menggemaskannya mereka. Pikirkan kembali betapa sesungguhnya mereka begitu cerdas, kreativ dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar untuk belajar, meski itu akhirnya membuat rumah seperti kapal pecah. Kenang kembali kalau dulu saat masih bayi mereka selalu mau dicium-cium dan dipeluk-peluk, sedangkan sekarang mereka mulai enggan untuk dicium dan dipeluk karena merasa bukan anak kecil lagi. Dan masih banyak lagi... Betapa harus bersyukurnya bunda.

Itu semua tak akan bisa dilakukan oleh ayah dan bunda jika ayah dan bunda terus menerus disibukkan dengan rutinitas sehari-hari, selesai satu pekerjaan harus langsung lanjut ke pekerjaan berikutnya, bahkan seringkali beberapa pekerjaan harus diselesaikan secara bersamaan karena selalu diburu-buru oleh waktu. Sehingga yang ada hanya lelah, stres, jenuh dan mengeluh kurang syukur. Sampai tak terasa waktu begitu cepat berlalu, anak-anak pun sudah tumbuh besar, sibuk meraih mimpi-mimpi dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri.

Jadi ayah bunda, luangkanlah waktu untuk macet sebentar, evaluasi diri dan sekitar, maka ayah bunda akan temukan, betapa banyak nikmat yang Allah anugerahkan.


Semoga bermanfaat. 

Minggu, 15 Oktober 2017

SEBAB ANAK PUN PERLU JATUH, SAKIT, DAN MENANGIS

Suatu kali saat sedang bermain di halaman kantor kecamatan, iin terjatuh dari ayunan. Spontan saya berteriak pada ayahnya yang berada tidak jauh dari iin.. “Yah, tolongin iin!” Tapi bukannya segera menghampiri dan menolong iin, ayahnya hanya berkata “Sakit nggak, in? Bangun yuk..”

Saya melongo...”Lah, kok cuma tanya??!!!!”

Lalu saya segera berlari menghampiri iin dan membantunya berdiri, sambil mengusap-ngusap bagian yang sekiranya sakit. Alhamdulillah iin baik-baik saja.

Ketika sudah di rumah barulah saya bertanya dengan nada protes.

“Kok ayah tadi diem aja sih waktu iin jatuh?! Nggak segera nolongin!”
“Lho, siapa yang diem aja???”
“Ayah!”
“Aku nggak diem aja... Kalau iin jatuh itu, lihat dulu, kira-kira sakitnya parah nggak, apa perlu ditolong atau dia bisa bangun sendiri. Jangan buru-buru ditolong...” katanya dengan santai.

Jujur saja, saat itu saya tak bisa menerima perkataan itu. Sebab kalau iin jatuh, spontan secara naluri saya langsung bergerak menolongnya. Dan bagi saya itu adalah naluri dasar yang mestinya dimiliki oleh orang tua, khususnya ibu, dan tentu juga ayah.

Beberapa waktu setelah itu, ketika sedang diuji oleh Allah dan merasa “jatuh” serta sakit, barulah saya sadar, bahwa dalam hidup ini setiap orang pasti pernah jatuh.

Bukan jatuh cinta yang berbunga-bunga seperti ABG yang sedang kasmaran, melainkan jatuh karena sedang diuji kesabaran dan keimanannya. Jatuh yang membuat hati sakit, sedih, dan patah semangat. Bentuknya bisa bermacam-macam.

Dan ketika sedang jatuh seperti itu, maka biasanya nasihat terbaik yang kita dapat ialah bangkit dan lanjutkan kembali hidup ini, atau yang istilah sekarangnya adalah “Move On”.

Barulah saya bisa menerima perkataan ayahnya iin.

Ternyata anak memang perlu jatuh, agar ia belajar bagaimana caranya bangun, bagaimana caranya berdiri dan bagaimana caranya untuk bangkit kembali. Mungkin bentuk jatuhnya masih bentuk jatuh yang harfiah, yakni benar-benar jatuh di lantai atau di tanah atau di jalan. Tapi ini bisa jadi modal baginya untuk menghadapi bentuk jatuh lainnya di kemudian hari.

Jadi, bila suatu saat anak kita jatuh, dekati ia dan berikan kata-kata penenang seperti “Nggak apa-apa, sayang...” lalu beri kesempatan untuk berusaha bangun sendiri “Yuk bangun...” atau “Yuk berdiri lagi...”. Bila ia tak mampu bangun sendiri, barulah ulurkan tangan untuk membantunya. Namun bila jatuhnya benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan secepatnya, maka segeralah berikan pertolongan.

Menariknya, tak jarang para orang tua melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu sebab nanti bisa jatuh. Misalnya “Jangan lari! Nanti jatuh”, “Jangan lompat-lompat! Nanti kamu jatuh!”, “Nggak usah naik tangga! Nanti jatuh, sakit lho!” dll. Padahal dengan lari, lompat, naik tangga, dan aktivitas-aktivitas lainnya sebenarnya anak sedang bereksplorasi dan belajar mengenal sekitarnya. 

Lha kalau nanti jatuh bagaimana? Ya anak pun akan belajar cara untuk bangkit, berdiri, berlari lebih kencang, dan melompat lebih tinggi. Yang sesungguhnya itu semua akan mereka butuhkan dalam menjalani kehidupannya kelak.

Tapi kalau jatuh kan sakit? Betul, anak pun perlu merasakan sakit. Mengapa? Supaya ia belajar bagaimana cara untuk sembuh, dan agar ia bisa berempati pada orang lain yang sakit.

Setelah jatuh, merasakan sakit, biasanya anak akan menangis. Bagi saya, menangis adalah hal yang wajar dan sah-sah saja dilakukan, apalagi oleh anak-anak. Karena Allah memang menganugerahi kita air mata dengan sejuta manfaatnya, termasuk untuk menangis.  Menangis sendiri mampu membuat perasaan jadi lega dan bisa melembutkan hati. Dan bagi saya, SIAPAPUN BOLEH MENANGIS, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Jadi jangan pernah melarang anak laki-laki untuk menangis, dengan mengatakan “Anak laki-laki itu harus kuat! Nggak boleh nangis!” Padahal Rosulullah yang merupakan laki-laki super kuat bin tangguh lahir batin saja menangis.

Asal...

Nah ada syaratnya...

Anak-anak boleh menangis karena alasan yang tepat. Seperti karena jatuh dan merasa sakit, atau karena sedang sedih, atau karena takut pada sesuatu, atau karena terharu. Persilahkan mereka menangis agar mereka belajar mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosinya. Setelah itu tenangkan ia.

Bukan menangis karena hal-hal yang sejatinya tak perlu untuk menangis. Misalnya menangis karena minta sesuatu. Ajarkan anak untuk bisa dan biasa menyampaikan keinginan dengan berbicara baik-baik, bukan dengan menangis.

Jadi sesungguhnya, dari jatuh, sakit, dan menangis anak mendapat kesempatan untuk belajar banyak hal, yang akan menjadi bekal berharga baginya di kemudian hari.

Ini juga sebagai pengingat bagi saya pribadi.


Semoga bermanfaat.

Sabtu, 30 September 2017

KALAU HANYA JADI IBU, UNTUK APA SEKOLAH TINGGI-TINGGI?

Begitu kata mama saya. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang kali beliau katakan kalimat yang sama, baik ketika ketemu langsung maupun lewat telpon. Dan selalu ditutup dengan kalimat “Ayo segera lamar kerja! Ijazahmu jangan hanya disimpan! Mumpung umurmu masih bisa. Sebelum terlambat seperti mama.”

Kata-kata mama seolah menantang batin ini untuk ribut.

Kalau sekarang saya kerja di kantor atau jadi PNS seperti harapan mama, nanti iin bagaimana nasibnya? Nggak mungkin kalau saya bawa-bawa. Sementara ayahnya dari senin sampai jumat kerja dari pagi sampai sore.

Kalau harus dititipkan? Dari lubuk hati saya yang paling dalam, sejujurnya saya tak ingin iin diasuh orang lain, selain saya dan ayahnya. Memang iin sudah mulai sekolah sekarang, tapi hanya 1,5 - 2 jam saja, supaya ia bermain dengan teman-teman seusianya, belajar bersosialisai dengan orang dewasa (guru-gurunya) dalam suasana yang menyenangkan. Selebihnya iin tetap makan, mandi, main, membaca buku, mewarnai, nonton film, kejar-kejaran di dalam rumah, cuci piring, bikin kue, tidur dan gulung-gulung di kasur dengan saya dan ayahnya.

Sampai pada suatu titik bimbang, ketika pulang ke malang, saya berkata pada papa dengan nada pasrah “Aku mau lamar kerja, biar nggak sia-sia papa sama mama nyekolahin aku sampai kuliah....”

Di luar dugaan saya, papa berkata..

“Lho, papa sekolahin kamu tinggi-tinggi bukan untuk lamar kerja, nduk. Kamu memang harus sekolah tinggi SUPAYA KAMU PINTAR. Kalau kamu nggak pintar, bagaimana kamu akan mendidik anakmu?”

Deg!

Saya terdiam...

Kata-kata papa menyadarkan saya pada sebuah tanggung jawab besar yang saya miliki setelah menjadi ibu, yakni MENDIDIK anak.

Sungguh saya merasakan bahwa mendidik anak itu amat sangat tidak mudah. Mengapa?

Pertama, seperti kata Bu Elly Risman, banyak dari kita yang tidak disiapkan oleh orang tua kita untuk menjadi orang tua, termasuk saya. Banyak dari kita yang mendidik dan mengasuh anak hanya berbekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik dan mengasuh kita. Padahal cara itu belum tentu benar, dan belum tentu cocok dengan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Sehingga seringkali kita sebagai orang tua kuwalahan berhadapan dengan anak. Hingga tidak asing terdengar para orang tua mengeluh “Duhh...anak-anak zaman sekarang ini kok....”

Kedua, sebab tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, dengan kurikulum yang runtut rapi, latihan soal dan ulangan, serta penerimaan rapot untuk mengetahui sejauh mana pemahaman ilmu menjadi ayah dan ibu kita serap. Padahal untuk jadi dokter yang ahli ada sekolahnya, untuk jadi pengacara yang handal ada sekolahnya, dll. Namun tak ada sekolah untuk jadi ayah dan ibu yang ahli.

Ketiga, karena anak itu seperti selembar kertas putih. Orang tuanya lah yang punya tanggung jawab utama untuk mewarnainya. Salah mewarnai, meski hanya sedikit saja, akan terbawa hingga ia dewasa nanti.

Keempat, masing-masing orang tua punya inner child. Bila dulu ketika kecil, para orang tua tumbuh dengan bahagia, maka akan terbentuk inner child yang positiv. Ini menjadi bekal yang sangat berguna ketika membesarkan anak-anaknya. Tapi bila dulu saat masih kecil, para orang tua ini pernah mengalami kekerasan baik fisik, verbal, psikologis, maupun seksual dan mendapat pola asuh yang salah, maka akan terbentuk “anak kecil yang takut/marah/kecewa/trauma” dalam dirinya. Dan inner child yang seperti ini akan memunculkan masalah bagi orang tua ketika mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sehingga orang tua seperti ini harus segera menyelesaikan unfinished bussiness dalam dirinya dulu sebelum lebih jauh berhadapan dengan anak-anaknya.

Dengan tantangan-tantangan super berat seperti itu, maka orang tua (termasuk ibu) MEMANG HARUS PINTAR. Dan salah satu jalan untuk menjadi pintar, ialah dengan bersekolah, syukur-syukur bila bisa sampai kuliah.

Dengan bersekolah dan dinamikanya, orang tua bisa mendapat banyak ilmu dan hikmah yang kelak bisa diajarkan pada anak-anaknya. Tapi bagaimana bila ilmu yang dipelajari di kuliah tidak nyambung dengan parenting? Seperti kata seorang teman pada saya “Aku dulu kuliah di jurusan X mbak, masa mau kuajarkan ke anakku?” Tak perlu khawatir, masih bermanfaat kok.

Dengan kuliah, kita jadi terbiasa membaca buku-buku, browsing di internet, ikut seminar, menghadiri kajian, dituntut berpikir kritis, melek informasi, dan belajar memecahkan masalah. Sehingga ketika menjadi ibu, kita pun jadi terbiasa untuk terus menerus belajar, terus menerus mencari ilmu dan informasi. Tak sekedar mengandalkan naluri ataupun cara orang tua kita dulu mendidik kita.

Dengan kuliah kita terbiasa berkomunikasi, berdiskusi dan membangun hubungan dengan banyak teman atau komunitas. Ini sangat bermanfaat karena relasi-relasi itu bisa dipertahankan hingga sekarang, dan malah bisa jadi grup-grup whats app yang bisa saling bertukar banyak informasi termasuk tentang parenting serta bisa saling memotivasi.

Itu semua bisa jadi modal yang sangat bermanfaat dalam mendidik anak.

Sehingga tak akan pernah sia-sia kesempatan untuk bisa bersekolah tinggi, meski sekarang “hanya” menjadi seorang ibu rumah tangga. Tak akan sia-sia ijazah yang didapat dengan perjuangan bertahun-tahun, meski sekarang tak dipakai untuk melamar kerja. Pun tak akan sia-sia ilmu yang didapat hingga berkuliah, meski sekarang lebih banyak di rumah saja. Sebab dengan sekolah, ibu jadi pintar. Sebab IBU MEMANG HARUS PINTAR.

Mari terus belajar!
Mari terus berkarya!

Semoga bermanfaat.

Senin, 25 September 2017

JANGAN REMEHKAN ANAK YANG MENANGIS

Sebetulnya bukan pemandangan yang asing bila ada anak-anak yang menangis di sekolah tempat iin belajar. Maklumlah, mereka semua masih balita. Namun apa yang saya lihat hari itu cukup mengusik hati dan pikiran saya.

Siang itu ketika saya sampai di pintu gerbang untuk menjemput iin, terdengar suara tangisan. Rupanya seorang murid laki-laki yang sedang menangis. Ia duduk di teras kelas. Menangisnya kencang. Air matanya deras. Kelihatan sudah mulai kelelahan, namun masih saja menangis. Di sekelilingnya ada beberapa guru, orang tua murid dan murid lain yang belum dijemput. Kebanyakan dari mereka hanya melihat. Tak satu pun yang menyentuhnya.

Lalu salah satu guru mendekat untuk mengelap air matanya. Tapi guru yang sedari tadi duduk di sebelah si anak berkata dengan dialek jawa yang kurang lebih artinya “Sudah jangan dilap, biar banjir saja sekalian”. Kemudian seorang ibu lain malah berkata “Stooop! Stooop!”. Si anak masih menangis. “Tentu saja masih menangis, dia kan bukan angkot, kok di stop-stop?” pikir saya. Tak lama kemudian guru yang mengelap air matanya tadi pergi karena ada urusan di luar sekolah. Lalu guru yang duduk di sebelah si anak berkata “Nah bu guru itu mau pergi lho...kamu dipanggilin polisi lho...”. Selepas itu saya tidak tahu apa yang terjadi, sebab saya dan iin sudah harus pulang ke rumah.

Yang mengusik hati dan pikiran saya dari kejadian itu ialah bagaimana orang dewasa, baik guru maupun orang dewasa lain di sekitarnya MENGHADAPI anak yang sedang MENANGIS itu (terutama guru, sebab itu terjadi di lingkungan sekolah).

Sejatinya, menangis merupakan respon atas kondisi emosi yang sedang dialami. Menangis bisa dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa, bisa laki-laki ataupun perempuan. Terutama pada anak-anak, menangis adalah reaksi yang paling mungkin untuk mereka lakukan. Terhadap kondisi emosi apa? Macam-macam. Anak-anak dan orang dewasa bisa menangis karena sedang sedih, takut, marah atau sebal, terkejut, terharu, bahagia, dll.

Lalu mengapa menangis pada anak-anak menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh dengan berkata “ah biar saja...nanti juga berhenti sendiri...dia memang biasa menangis...” atau malah dijadikan bahan lucu-lucuan? Sebab menangis bisa menjadi PINTU bagi anak-anak untuk BELAJAR tentang EMOSI APA yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka perlu tahu MENGAPA mereka menangis dan APA yang harus dilakukan setelah menangis. Sebab ini akan menjadi BEKAL yang sangat BERHARGA bagi anak-anak bahkan hingga mereka dewasa, berumah tangga, dan kelak punya anak.

Bukankah sering kita jumpai orang-orang atau malah mungkin kita sendiri, berada dalam kondisi batin yang susah untuk diuraikan. Misalnya kita merasa kesal, kesal karena apa? Kita kesulitan menguraikan penyebabnya. Pokonya kesal atau sebel. Dan lama-lama menumpuk. Lalu stres, galau, baper, dll. Kemudian lari ke tindakan-tindakan yang kurang bermanfaat atau bahkan negativ, seperti nonton sinetron, browsing gosip, muter-muter tanpa tujuan di mall, atau bahkan bagi yang remaja memilih untuk berteman dengan komunitas yang keliru, terjerat pergaulan bebas, dan narkoba...(Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal seperti itu). Salah satu penyebabnya ialah karena tak terlatih sejak dini untuk mengenali emosi, mengelolanya, dan menyalurkannya dalam bentuk yang positiv (tidak merugikan diri sendiri dan orang lain).

Jadi bila ada anak menangis, apa yang mesti dilakukan ?
  1. Lihat kondisinya, apakah ia bisa diajak berkomunikasi atau tidak. Bila ia masih belum stabil atau mungkin sampai gulung-gulung dan meraung-raung, beri ia kesempatan untuk menangis dulu, dengan memastikan bahwa ia tetap aman (tidak melukai dirinya dan sekitarnya).
  2. Bila menangisnya sudah mulai reda, berikan SENTUHAN. Bisa dalam bentuk dipangku, diusap punggungnya, atau dipeluk. Ini sangat bermanfaat karena memberi rasa aman dan tenang baginya. Kita saja yang sudah dewasa, ketika menangis pasti merasa lebih tenang bila diusap punggungnya, dipegang tangannya atau dipeluk kan?
  3. Bila anak yang menangis sudah bisa diajak berkomunikasi, tanyakan padanya mengapa ia menangis. Bila ia belum mampu menjawab, bantulah dengan bertanya lagi apakah ia sedih atau marah atau takut dll. Lalu tanyakan lagi ia sedih atau marah atau takut pada apa atau karena apa.
  4. Selesaikan masalahnya. Jangan menggantung atau membiarkan atau mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Misalnya, bila si anak menangis karena mainannya disita sementara oleh bu guru, sebab di sekolah memang ada peraturan tidak boleh bawa mainan dari rumah, maka jelaskan pada si anak mengapa mainannya disita dan tenangkan ia bahwa mainannya pasti akan dikembalikan bila jam sekolah telah usai atau ketika ia akan pulang.

Tentu keempat hal tersebut bisa jadi sangat kondisional, artinya tergantung pada situasi dan kondisi saat kejadian. Tapi yang jelas, meremehkan anak yang menangis atau menjadikannya bahan lucu-lucuan bagi orang dewasa di sekitarnya, bukanlah tindakan yang bijak, dan akan berdampak bagi masa depannya.

Ini menjadi koreksi bagi saya pribadi.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 17 September 2017

PENTINGNYA MENGENALKAN ANAK PADA TETANGGANYA

Di jogja ini kami tinggal di sebuah perumahan, di mana sebagian besar rumahnya berpagar cukup tinggi. Tetangga kami pun bermacam-macam. Ada yang mau diajak ngobrol, ada yang ketika berpapasan sekedar memberi senyum dan anggukan kepala, tapi ada pula yang ketika bertemu pura-pura tak melihat. Yah...memang tiap orang beda-beda...

Tapi ada satu hal yang menarik perhatian dan mengusik pemikiran saya. Ceritanya, tetangga sebelah rumah kami adalah sebuah keluarga kecil dengan kondisi ekonomi sangat mampu, terdiri dari seorang bapak yang sudah pensiun, seorang ibu yang masih aktiv bekerja sebagai PNS, serta seorang anak laki-laki yang baru saja diterima kerja di sebuah BUMN di Bandung. Mereka bertiga cukup ramah pada kami. Qodarullah, ternyata si bapak didiagnosa terkena kanker, sementara si ibu dipindahtugas ke Semarang. Jadilah si ibu pindah sementara ke Semarang dan si bapak ikut dirawat di sebuah rumah sakit di sana. Agar tidak kosong, rumah mereka pun ditinggali oleh beberapa orang keponakan.

Uniknya, ketika bertemu, para keponakan yang usianya masih muda-muda ini tak pernah bertegur sapa dengan kami. Seringkali ketika berpapasan di jalan, kami sudah siap-siap untuk tersenyum dan mengangguk, namun mereka lewat saja, seolah kami tak ada di situ. Ya sudahlah...tak apa.

Hingga suatu pagi, tiba-tiba para keponakan itu mengetuk pintu rumah kami. “Tumben sekali...ada apa?” Pikir saya... Ternyata mereka mengabarkan bahwa om mereka (si bapak yang terdiagnosa kanker tersebut) meninggal dunia dan jenazahnya akan di bawa ke rumah Jogja siang itu juga. Dengan wajah yang masih syok, mereka meminta tolong kepada kami untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk proses pemandian, pengkafanan, dan pemakaman jenazah, sebab mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Pokonya kami manut saja harus bagaimana...” begitu kata salah seorang dari mereka. Singkat cerita, akhirnya kami dan beberapa tetangga yang lain ikut menolong mengurus jenazah hingga dimakamkan beserta tahlilannya. Barulah sejak kejadian itu, para keponakan itu mau menyapa kami bila bertemu.

Sejak itulah saya makin yakin betapa pentingnya punya tetangga. Sebab meski kita berduit banyak dan kaya raya sekalipun, nyatanya kita ini makhluk sosial, tak bisa hidup sendiri.

Memang, pada kenyataannya ada perbedaan interaksi antara tinggal di lingkungan kampung, tinggal di perumahan, maupun tinggal di apartemen. Di kampung dekat rumah kami, bila ada yang meninggal dunia, maka saat itu juga dan tanpa diminta, para tetangga langsung membantu dan bagi-bagi tugas hingga proses pemakaman dan tahlilan selesai. Sementara di perumahan apalagi di apartemen belum tentu yang tinggal bersebelahan saling kenal. Apalagi seiring berjalannya zaman, hidup terasa makin individualis.

Tapi sekali lagi, kita ini makhluk sosial, perlu bersosialisasi, perlu berinteraksi, perlu silaturahim, perlu saling menolong dalam kebaikan, atau bahasa agamanya adalah Habluminannas. Kepada siapa? Ya selain kepada keluarga dan kerabat, tentu juga pada orang-orang di sekitar kita, termasuk tetangga.

Dan, ada baiknya bila anak-anak (baik yang sudah besar, maupun yang masih kecil) juga dilibatkan untuk membangun hubungan dengan tetangga-tetangganya. Di perumahan tempat kami tinggal, bila ada pertemuan warga, biasanya yang hadir adalah bapak dan ibunya. Giliran bapak atau ibunya keluar kota, mereka enggan mengutus anaknya yang sudah cukup dewasa untuk mewakili. Jadilah para bapak dan ibu saling kenal, namun anak-anaknya saling cuek. Lha bagaimana bila kelak bapak dan ibunya sudah tak ada? Akan sayang sekali bila silaturahimnya terputus.

Lalu bagaimana cara membangun silaturahimnya? Mulai saja dari yang paling sederhana, seperti tersenyum dan menganggukkan kepala bila bertemu, lebih baik lagi bila sempat menyapa “Mari pak...mari bu...atau monggo pak...monggo bu...”, atau ketika memasak lebihkan porsinya lalu ketuk pintunya dan bagikan, jenguk bila ada yang sakit, ikut di pertemuan atau arisan atau pengajian warga, dll. Bila memungkinkan ajak juga anak untuk terlibat. Atau bisa juga mengajak anak kita yang masih kecil untuk main dengan anak tetangga.

Mungkin ini bukan hal yang mudah bagi yang tinggal di lingkungan perumahan maupun apartemen. Tapi, kita mulai saja dari diri kita sendiri, mulai dari hal sederhana yang bisa kita lakukan, dan mulai saat ini, mumpung masih ada waktu di dunia.

Sebagaimana pesan nabi...
"Tidak henti-hentinya Jibril berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira seseorang akan menjadi ahli waris tetangganya." (HR Bukhari no. 6014)


Semoga bermanfaat...

Senin, 11 September 2017

BELAJAR DARI PARA ORANG TUA PENCIPTA GADGET

Bangun tidur lihat HP
Mau mandi lihat HP
Habis mandi lihat HP
Mau sholat lihat HP
Habis sholat lihat HP
Mau makan lihat HP
Habis makan lihat HP
Sambil nyetir motor lihat HP

Begitu kurang lebih bunyi pesan yang saya dapat dari sebuah grup Whats App. Ya, meski hanya sebuah persegi segenggaman tangan, namun HP alias smartphone alias gadget ini memang punya pengaruh yang luar biasa. Ia mampu mengubah rutinitas, sifat, cara berpikir, hingga perilaku manusia.

Kekuatan gadget ini juga mampu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Pernah suatu hari ketika saya dan keluarga sedang makan di restoran, datanglah satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak laki-laki duduk di meja sebelah meja kami. Setelah duduk dan memesan menu, mereka mengambil gadget masing-masing dan langsung sibuk sendiri-sendiri. Ada yang menatap gadget-nya dengan tampang serius, ada pula yang sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian minuman yang mereka pesan datang. Dan mereka pun minum, MASIH sambil menatap gadget masing-masing! Tangan kiri memegang sedotan, sementara tangan kanan memegang gadget dengan jempolnya yang terus bergerak. Hampir tak terjadi obrolan di antara mereka. Padahal mereka adalah satu keluarga yang duduk berdekatan dan berhadapan dalam satu meja! Weleh...weleh...

Rupanya, gadget ini pun tak hanya akrab di tangan orang dewasa, tetapi juga anak-anak, bahkan yang masih balita. Meski masih kecil, tidak sedikit anak-anak sudah lihai mengoperasikan gadget, malah ada juga yang lebih pintar dari orang tuanya. Dari mana mereka bisa tahu caranya? Tentu dari orang terdekat yang notabene adalah orang tuanya. Selain dikenalkan dengan cara diberitahu, tak jarang orang tua masih sibuuuk saja dengan gadgetnya ketika sedang bersama  anak-anak. Ada pula orang tua yang sengaja memberikan gadget pada anaknya agar bisa duduk manis dan tidak rewel. Maka tak heran bila muncul orang-orang dan anak-anak yang kecanduan gadget, tak bisa lepas dari gadget, bahkan hidup serasa berakhir bila gadget-nya hilang atau ketinggalan.

Lantas kalau orang tua awam sudah kecanduan gadget dan mengenalkan gadget pada anak-anaknya, bahkan pada yang masih balita, bagaimana dengan para orang tua pembuat gadget dan teknologinya ini? Dalam sebuah artikel menarik di majalah Intisari edisi November 2015 bertajuk “Kontradiksi Pendidikan Ala Lembah Silikon” disebutkan bahwa...

Alan Eagle yang bekerja di bagian komunikasi eksekutif Google, yang salah satu tugasnya ialah menulis pidato untuk direktur utama Google, bercerita bahwa anak perempuannya yang duduk di kelas 5 SD belum tahu bagaimana cara menggunakan Google. Sedangkan kakaknya yang duduk di kelas 8 baru belajar memakai Google. Sementara di sini anak SD sudah terbiasa googling untuk mengerjakan tugas sekolah. Eagle pun memilih untuk menyekolahkan kedua anaknya di Waldorf, sebuah sekolah alternatif di Amerika Serikat yang minim menggunakan gadget untuk kegiatan belajar mengajar, mengajari muridnya bersosialosasi dengan orang sekitar, dan rutin mengajak murid-muridnya bermain di tanah lapang atau bercocok tanam di lahan sekolah.

Bagaimana dengan Steve Jobs pendiri Apple? Dalam bukunya berjudul “Steve Jobs”, penulis Walter Isaacson menggambarkan keseharian keluarga Jobs di rumah. Setiap malam Steve makan malam bersama dengan keluarganya di sebuah meja makan di dapur mereka. Mereka berdiskusi tentang buku-buku, sejarah, dan lain sebagainya. Tak seorang pun yang mengeluarkan iPad atau gadget lainnya. Anak-anaknya pun tampak tak kecanduan tehadap gadget.

Evan Williams (pendiri Blogger, Twitter, dan Medium) bersama istrinya Sara Williams mengganti iPad dengan ratusan buku bagi kedua anak mereka. “Mereka bisa mengambilnya dan membacanya kapan saja” kata Evan.

Ada pula Pierre Laurent, mantan manajer pemasaran Microsoft dan Intel, menjauhkan anak-anaknya dari gadget hingga mereka cukup besar dan mampu menggunakanya sesuai kebutuhan. Anak-anaknya menyukai cerita, bermain dengan segala sesuatu, bernyanyi, membuat prakarya, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, dan berada di alam.

Wow! Mereka pencipta teknologi yang sehari-hari kita genggam di tangan dan kita lihatiiiin terus, ternyata SADAR bahwa tak seharusnya teknologi mengganti hal-hal berharga dan mendasar dalam hidup kita. Apa saja itu?

Pertama, meskipun gadget semakin hari kian canggih, namun tetap saja mereka mendorong anak-anaknya untuk memiliki kemampuan dasar dalam hidup, seperti bercocok tanam dengan cara tradisional dll. Sehingga ketika gadget atau teknologi tidak ada di tangan mereka, mereka tidak lantas mati atau dunia serasa kiamat. Mereka masih bisa survive!

Kedua, meski saat ini di gadget terdapat bermacam-macam sosial media, yang mampu menghubungkan kita dengan orang-orang dimanapun, nyatanya mereka tetap mengajarkan pada anak-anak untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka secara langsung. Hal ini bisa membuat anak-anak peduli dan empati pada orang lain yang berada di sekitar mereka (bukan peduli pada orang-orang di tempat jauh yang sedang jadi viral di media sosial, namun cuek dengan orang di kanan kiri mereka).

Ketiga, meski dengan gadget canggih dan teknologi digital mereka bisa mendapat ilmu pengetahuan, ternyata mereka tetap mengajarkan dan membiasakan anak-anak mereka untuk membaca BUKU selembar demi selembar. Bagi saya pribadi, membaca buku manual dengan kertas-kertasnya tetap tak bisa tergantikan oleh buku-buku digital atau hasil pencarian google. Selain lebih aman untuk mata, saya sendiri merasa membaca buku manual membuat si pembaca menjadi lebih bijak dan sabar.

Keempat, sebagai orang yang berkecimpung di bidang teknologi dan sehari-hari bergelut dengan gadget, nyatanya para orang tua ini mampu hadir secara utuh baik fisik, pikiran, dan hati ketika sedang bersama anak-anak mereka. Meski mungkin secara kuantitas waktunya tidak banyak, namun mereka membuat waktu kebersamaan ini sangat berkualitas. Tentu hal ini sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan, dan masa depan anak-anak.

Kelima, para orang tua ini tentulah merupakan orang-orang yang update terhadap perkembangan teknologi, akan tetapi mereka tidak serta merta memberikan gadget pada anak-anak mereka begitu saja. Mereka justru memperkenalkan gadget pada saat mereka sudah yakin bahwa anak-anak mereka telah mampu menggunakannya dengan bijak. Tak seperti di sini, dimana bergadget anak orang maka harus bergadget pula anak kita, terlepas dari apakah mereka sudah mampu atau belum menggunakannya dengan bijak.


Semoga kita dapat belajar dari para orang tua pencipta gadget ini. Dan sebagai mana ilmu-ilmu parenting lainnya, bila kita ingin anak kita bijak menggunakan gadget, maka harus diawali dulu dari orang tuanya.

Selasa, 15 Agustus 2017

BELAJAR MENDIDIK ANAK DARI MONYET

George nama monyetnya, dari sebuah film kartun berjudul “Curious George”. Salah satu film kartun favorit saya dan iin (anak saya), yang di putar di salah satu stasiun televisi swasta setiap pagi. Mungkin Anda juga pernah menonton filmnya.

Izinkan saya mereview sedikit film kartun ini. Film ini bercerita tentang keseharian seekor monyet baik hati bernama George, yang cerdas, kreativ, pantang menyerah, suka menolong, dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, sehingga judulnya “Curious George”.

George tinggal bersama seorang pria bernama “Pria bertopi kuning” (begitulah ia disebut dalam film itu, sebab pria itu memang selalu memakai topi berwarna kuning hehehe...), di apartemen di sebuah kota.

Namun adakalanya pula mereka berdua menghabiskan akhir pekan di sebuah desa tak jauh dari kota tersebut. Di desa itu, George memiliki banyak teman. Salah satunya ialah Bill, seorang remaja desa yang ramah dan sehari-hari bekerja sebagai loper koran.

Nah ada sebuah episode dari film “Curious George” yang menarik perhatian saya, sebab menurut saya di dalamnya terdapat sebuah pelajaran parenting yang cukup penting.

Saya lupa judul episode itu, namun kurang lebih begini ceritanya...

Suatu hari Bill dan George sedang asyik bermain layangan. Tiba-tiba angin kencang datang dan merusak layangan mereka. Meski sedih, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membeli layangan baru.

Lalu Bill dan George datang ke sebuah toko layangan sambil membawa uang tabungan mereka masing-masing. Rupanya di toko itu dipajang sebuah layangan besar berbentuk seperti pesawat. Bill dan George sangat tertarik untuk membelinya. Sayang, ternyata uang tabungan mereka berdua tak cukup untuk membeli layangan itu. Kemudian si penjaga toko berkata :

“Kalau kalian memang sangat menginginkan layangan itu, kami akan menyimpan uang kalian ini, dan menyimpankan layangan itu untuk kalian sampai hari senin (saat itu hari sabtu). Semoga hari senin kalian sudah mempunyai uang untuk membayar sisanya”.

Mendengar hal itu, Bill dan George menjadi bersemangat. Masih ada harapan bagi mereka untuk memiliki layangan itu.

Dan, di sinilah pelajaran penting parentingnya...

Yang dilakukan oleh Bill dan Geroge setelah itu bukanlah pergi ke orang tua dan MEMINTA UANG untuk bisa membeli layangan yang mereka inginkan. Namun yang mereka lakukan ialah menyusun rencana untuk bisa MENDAPATKAN UANG.

Bill dan George lalu menelpon beberapa tetangga di desa dan menanyakan adakah pekerjaan yang bisa mereka berdua lakukan untuk hari minggu besok. Ternyata ada! dan cukup banyak, mulai dari mencabut rumput, mengecat gudang, menemani anjing tetangga jalan-jalan, dan banyak lagi.

Agar tidak bingung, Bill dan George membuat daftar urutan beserta estimasi waktu untuk setiap pekerjaan, agar semua pekerjaan dapat selesai dalam sehari.

Keesokan paginya mereka berangkat bekerja sesuai waktu yang ditentukan. Ternyata tidak mudah! Pekerjaan pertama ialah mencabut rumput di halaman seorang tetangga. Ternyata halamannya lebih luas dari yang mereka bayangkan, sehingga mereka berdua harus bekerja dengan lebih cepat agar tak meleset dari estimasi waktu yang sudah disusun.

Pekerjaan berikutnya ialah menemani anjing-anjing tetangga jalan-jalan. Selanjutnya ialah mengecat gudang. Bill dan George senang sekali karena sampai sejauh itu semuanya berjalan lancar sesuai estimasi waktu. Tiba-tiba ujian datang kembali. Hujan turun dan cat gudang yang masih basah itu pun luntur.

Bill dan George sedih, sebab mereka tak bisa menghentikan hujan dan pekerjaan-pekerjaan lainnya pun tertunda hingga hujan reda. Sambil menunggu di dalam gudang, mereka memutuskan untuk membagi pekerjaan, sebagian dilakukan oleh Bill dan yang sebagian lagi oleh George. Dan mereka langsung memulainya begitu hujan reda sebelum nanti turun kembali.

George kebagian melakukan pekerjaan di rumah sepasang suami istri petani, Pak dan Ibu Renkins. Karena hari sudah siang, Bu Renkins menawari George untuk makan siang dulu. George yang sudah lapar langsung menyetujuinya.

Sambil makan siang mereka bertiga mengobrol. Rupanya Pak dan Bu Renkins tahu dari penjual layangan bahwa Bill dan George sedang berusaha mengumpulkan uang untuk membeli sebuah layangan. Maklumlah, di desa berita mudah menyebar. Lalu dengan bahasa monyet, George bercerita bahwa pekerjaan mereka terganggu oleh hujan. Pak Renkins pun memberi nasehat semacam pepatah para petani, “kita memang tidak bisa mengendalikan cuaca, namun kita bisa menyiasatinya”. Artinya, jika cuaca di luar sedang tidak bagus, maka yang dilakukan oleh para petani ialah bekerja di dalam ruangan, seperti mengolah hasil pertanian untuk menjadi produk-produk baru.

Akhirnya George yang cerdas mendapat ide! Ia harus membagi pekerjaannya, mana pekerjaan yang di dalam ruangan (indoor) dan mana pekerjaan yang di luar ruangan (outdoor). Pekerjaan outdoor harus dilakukan selama hujan belum turun kembali. Dan bila hujan turun, mereka tinggal melakukan pekerjaan-pekerjaan indoor. George segera menemui Bill untuk memberitahukan idenya, dan Bill setuju.

Akhirnya semua pekerjaan pun selesai di hari minggu! Dan keesokan harinya mereka sudah memiliki uang untuk membeli layang-layang yang mereka inginkan!

Sungguh luar biasa! Meski saya mungkin terlalu tua untuk nonton kartun, namun saya ikut terharu dan senang Bill dan Geroge akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan kerja keras dan pantang menyerah.

Di situlah pelajaran parentingnya. Bagi saya, penting untuk mengajarkan pada anak bahwa dalam hidup ini kita memang harus bekerja keras dan pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, sebab yang kita inginkan itu tak langsung jatuh dari langit.

Dan ini bisa ditanamkan dalam diri anak-anak sejak mereka masih kecil, sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan mereka. Biasakan mereka untuk bekerja atau berusaha terlebih dulu sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal-hal yang berupa sandang, pangan, papan, dan sekolah merupakan kewajiban orang tua untuk memenuhinya. Sedangkan hal-hal yang sifatnya keinginan, bagi saya, anak harus bekerja dulu untuk mendapatkannya.

Beberapa waktu yang lalu iin (anak saya) minta dibelikan stiker dinding. Lalu saya ajak ia membuat celengan dari mangkok plastik bertutup. Atasnya saya lubangi untuk celah memasukkan uang. Lalu saya katakan padanya...

“Sayang, harga stiker dindingnya kan sepuluh ribu. Nah iin kerja dulu bantu bunda. Setiap pekerjaan iin bunda hargai lima ratus rupiah, atau iin juga boleh bikin hiasan dari kertas lipat, nanti bunda beli hiasannya. Terus uangnya iin masukkan ke mangkok ini. Nanti kalau sudah terkumpul sepuluh ribu, kita beli stiker dinding. Oke?”

Dan kami pun sepakat. Tentu pekerjaannya saya sesuaikan dengan kemampuan iin, seperti membantu saya menyapu lantai, merapikan tempat tidur, menggulung karpet setelah acara arisan di rumah, menjemur cucian, menyiram rumput, membuat bentuk-bentuk dari kertas lipatnya, dll. Saya tidak melihat hasilnya, karena tentu hasilnya belum sempurna, tapi saya melihat usaha dan kesungguhannya.


Suatu kali setelah membantu saya menjemur cucian, ia berkata “Fiuhhh...capek bun..”. Dan saya pun menjawab “Semangat nak, dalam hidup ini kita memang harus kerja keras, tapi nanti hasilnya akan terasa manis.” Mungkin jawaban saya masih terlalu abstrak untuk otak 4 tahunnya, tapi semoga suatu hari nanti ia memahaminya.