Sebulan yang
lalu saya dan 12 ibu wali murid yang lain ditunjuk oleh kepala sekolah untuk
menjadi komite orang tua di sekolah tempat iin belajar. Bagi saya ini adalah
pengalaman pertama terlibat di dalam komite orang tua yang tugasnya membantu
sekolah mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk para murid.
Tak lama
setelah dibentuk, ketua komite mengundang kami untuk rapat perdana guna
menyusun program kerja kami selama setahun. Dan salah satu programnya ialah
pengadaan seragam untuk komite, berbentuk gamis lengkap dengan jilbabnya
seharga kurang lebih Rp 150.000 rupiah per orang.
Saya pun bertanya
pada ibu ketua, apakah sesungguhnya seragam ini memang diperlukan? Maksud saya, bila
tanpa seragam komite masih bisa bekerja, lalu mengapa harus beli seragam? Kan
masing-masing anggota pasti sudah punya cukup banyak baju yang layak dipakai
untuk berbagai kegiatan. Selain itu biaya Rp 150.000 per orang bisa dihemat
untuk kebutuhan lain, baik untuk kebutuhan pribadi masing-masing anggota, maupun kebutuhan program
komite yang lain.
Ibu ketua pun
menjawab bahwa seragam berfungsi sebagai identitas komite. Sebab ketika ada acara atau kegiatan,
biasanya komite juga berfungsi sebagai panitia, sementara wali murid yang lain
sebagai peserta.
Lalu saya
berkata, “Kalau begitu bagaimana kalau saat acara kita bikin kartu identitas
atau pin saja? Itu cukup bisa membedakan mana yang panitia dan mana yang
peserta, dan yang pasti lebih hemat”
Kemudian seorang ibu menanggapi “Tahun-tahun sebelumnya kan komite selalu punya seragam,
kalau sekarang kita nggak punya seragam ya jadi lain sendiri dan rasanya
aneh...”
Sementara ibu yang lain lagi berkata “Kalau ada seragam, saya jadi nggak bingung menentukan besok
mau pakai baju apa...”
Singkat
cerita, 12 ibu setuju ada seragam, dan hanya saya sendiri yang tidak.
Sebab saya merasa program seragam tidaklah substantiv, maksudnya bila tidak ada
pun sesungguhnya tak masalah. Dan kita bisa lebih memfokuskan pikiran, waktu,
tenaga, biaya, dan bensin untuk program lain yang lebih berdampak serta
bermanfaat bagi para murid. Tapi kalau tetap ingin bikin seragam pun ya monggo-monggo saja...
Selepas
rapat, saya mengirim pesan pribadi pada bu ketua lewat whats app. Saya sampaikan
permohonan maaf bahwa saya tidak ikut beli seragam karena saya harus berhemat,
tapi insyaAllah itu tidak mengurangi semangat dan niat saya berkontribusi di
komite.
Lalu mulailah
ke-12 ibu-ibu itu sibuk memilih bahan, survey model gamis, mencari penjahit,
dan mengukur baju. Sebagian ibu-ibu menitipkan baju gamis pribadinya pada ibu
ketua untuk contoh ukuran. Sementara sebagian ibu-ibu lainnya langsung datang
dan mengukur di penjahitnya. Rupanya ibu-ibu yang datang langsung ke penjahit
malah jadi mencoba baju-baju lainnya di sana dan berfoto lalu diupload di grup
whats app komite. Dan ini membuat ibu-ibu yang tadinya hanya titip contoh baju,
jadi ingin ke penjahitnya juga untuk lihat-lihat dan kalau ada yang cocok jadi
ingin beli. Wah wah wah...kalau ini sih namanya memang suka beli baju baru
hehehe...
Menariknya,
di saat yang bersamaan, sebagian ibu-ibu komite ini mengeluhkan anaknya yang suka
minta dibelikan jajan. Berangkat sekolah minta dibelikan jajan, pulang sekolah
minta dibelikan jajan, sore hari pun minta uang untuk beli makanan di
warung tetangga. Belum lagi kalau mampir di mini market pasti anak-anaknya
minta dibelikan sesuatu, minimal sepuluh ribu rupiah pasti melayang.
Memang, buah
yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya.
Dari sini
saya jadi berpikir betapa pentingnya kita bisa membedakan mana yang kebutuhan
dan mana yang keinginan. Sepintas nampak sama, dan seringkali kita menyebutnya
kebutuhan padahal sesungguhnya itu adalah keinginan. Mengapa ini menjadi
penting? Sebab menyadari dengan jujur tentang perbedaan kebutuhan dan keinginan
menjadi salah satu kunci dalam pengaturan keuangan, baik bagi yang hidupnya
masih single maupun yang sudah berkeluarga. Terutama bagi yang sudah berumah
tangga, kesalahan dalam pengaturan keuangan seringkali menimbulkan masalah
bahkan bisa mengganggu keharmonisan.
Lalu
bagaimana cara membedakannya?
Saya
mengutip dari www.finansialku.com, ada beberapa pertanyaan yang bisa kita
ajukan pada diri kita sendiri sebelum membeli sesuatu, agar kita tahu apakah
itu kebutuhan atau keinginan.
Pertama, apakah benda tersebut memang kita
butuhkan saat ini?
Jika iya,
maka kita bisa lanjut ke pertanyaan kedua. Namun jika tidak, maka sudah pasti
itu hanya keinginan kita. Kita perlu berpikir dua kali untuk memenuhi keinginan.
Yakni apakah memang ada anggaran untuk memenuhi keinginan tanpa mengganggu
anggaran untuk kebutuhan.
Kedua, bagaimana jika kita tidak
membelinya saat ini?
Jika kita
merasa tidak apa-apa atau sesungguhnya tidak masalah, maka itu adalah keinginan
kita, bukan kebutuhan. Kita harus berpikir dua kali untuk membelinya. Jika kita
harus membelinya untuk saat ini juga, maka lanjut ke pertanyaan ketiga ya.
Ketiga, apakah harus benda tersebut?
Apakah ada
benda pengganti lainnya yang dapat memenuhi kebutuhan kita? Jika masih ada
benda pengganti lainnya, tanyakan ulang dari pertanyaan pertama untuk benda
pengganti tersebut. Jika tidak ada benda pengganti lainnya, maka itu berarti
bahwa benda tersebut adalah yang memang kita BUTUH-kan untuk saat ini.
Lalu apakah
tidak boleh memenuhi keinginan? Tentu boleh dan sah-sah saja, selama (sekali
lagi) pemenuhannya tidak mengganggu anggaran kita untuk memenuhi kebutuhan.
Atau dengan kata lain, prioritaskan kebutuhan atau hal-hal yang substantiv
terlebih dahulu, setelah itu baru keinginan.
Dan alangkah
baiknya jika kebiasaan membedakan mana yang butuh dan mana yang ingin ini kita
tumbuhkan pada diri anak-anak kita juga. Tentu harus dimulai dari orang tuanya
dulu.
Sejak iin
masih kecil dan bisa saya ajak pergi belanja, saya selalu berkata padanya “Yuk kita
belanja untuk beli kebutuhan”. Lalu saya tulis dulu apa-apa saja yang hendak
dibeli. Ketika beranjak lebih besar, iin pun bertanya “Kebutuhan itu apa bun?”
Dan saya menjawab “Kita mau beli beras, sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng,
dll...karena sudah pada habis. Kalau nggak beli sekarang, nanti kita nggak bisa
makan, nggak bisa mandi, nggak bisa nyuci baju...”
Suatu kali
di akhir bulan di mana kondisi keuangan sudah mepet, iin berkata pada saya..
“Bunda, aku
mau beli susu..”
“Wah maaf ya
nak, sekarang bunda nggak punya uang untuk beli susu. InsyaAllah kita beli susu minggu
depan kalau ayah sudah gajian...”
“Tapi itu di
dompet bunda ada uang...”
“Itu uangnya
untuk beli sayur dan lauk..”
“Tapi aku
mau susu...”
“Sabar ya,
insyaAllah minggu depan kita beli susu. Nggak minum susu pun kita masih bisa
hidup hehehe...”
Dan
syukurlah iin nggak memaksa lagi...
Tentu cara
kami mengajari iin ini masih jauh dari sempurna. Tapi saya dan ayahnya selalu
berharap agar iin tumbuh menjadi orang yang bisa membedakan mana yang butuh dan
mana yang ingin. Apalagi kelak jika sudah berumah tangga, iin akan jadi menteri
keuangan dalam keluarganya.
Tentu harus
diawali dari orang tuanya dulu.
Dan ini
menjadi pengingat bagi saya pribadi.
Semoga
bermanfaat.