Salah satu cara paling mudah untuk belajar tentang parenting
alias pengasuhan ialah dengan melihat kembali dan mempelajari bagaimana orang
tua kita dulu mengasuh kita. Hasilnya? Ya adalah diri kita sekarang ini.
Dulu saat masih menjadi penyiar radio, saya pernah
ditunjuk oleh produser saya untuk memandu sebuah talkshow spesial dalam rangka
hari kartini. Talkshow itu mengundang 2 narasumber perempuan hebat. Yang satu
istri seorang profesor sekaligus pengusaha sukses pemilik sebuah perguruan
tinggi di Jogja, dan yang satunya lagi istri seorang tokoh muda Jogja (yang
saat tulisan ini dibuat) menjabat sebagai anggota DPR RI.
Meski awalnya saya agak tegang, alhamdulillah talkshow
itu bisa mengalir santai, ada canda tawa meski usia kami berbeda-beda, dan ada
juga sesi yang mengharu biru. Saya sungguh bersyukur mendapat kesempatan memandu
talkshow tersebut, sebab banyak pelajaran berharga yang bisa saya petik dari 2
narasumber saya itu.
Namun yang membuat talkshow itu meninggalkan kesan yang
sangat mendalam bagi saya ialah komentar teman-teman kantor selepas talkshow,
terutama manajer saya. Beliau (yang sangat sangat jarang sekali memberikan
apresiasi positiv) berkata pada saya
“Bagus zur...kamu
bisa nge-bland sama narasumbernya....”
ucapnya sambil tersenyum dan memberi jempol.
Waahhhhhh...sungguh sebuah penghargaan yang tak bisa
saya lupakan. Mungkin terkesan lebay ya? Namun memang itulah yang saya rasakan.
Saya jadi berpikir, mengapa ucapan manajer saya itu bisa begitu berkesan, bahkan
membuat saya terharu setiap kali mengingatnya. Rupanya pujian itu membuat saya merasa
dihargai hingga saya TERSADAR bahwa ternyata saya ini punya kemampuan yang
lumayan juga.
Lha, kok BARU sadar???
Ya, saya pun bertanya-tanya juga mengapa di usia saya
yang waktu itu sudah kepala dua, saya baru meyadari bahwa saya ini punya
kemampuan. Dan setelah merenung plus melihat kembali ke belakang, ternyata ada
dua penyebab utamanya.
Pertama, rupanya sejak dulu saya amat amat sangat
sangat jaraaaaang sekaliiiiiii mendapat apresiasi positiv dari kedua orang tua
saya atas apa-apa yang pernah saya capai dalam perjalanan hidup. Saat saya berhasil
memenangkan lomba-lomba tujuh belasan, saat saya bisa mendapat nilai ulangan
terbaik di kelas, saat saya berhasil mendapat rangking satu, saat saya diterima
di SMP dan SMA favorit, pun saat saya diterima di perguruan tinggi negeri ternama
di surabaya tanpa harus ikut SPMB, dan momen-momen keberhasilan lainnya, tak
ada sepatah katapun yang terucap dari bapak dan ibu kepada saya sebagai bentuk
penghargaan. Mungkin mereka mengungkapkannya dalam hati, atau dalam bentuk sujud
syukur ketika sholat atau mengadakan syukuran dengan mengundang anak yatim,
dsb. Namun tak ada satupun yang diungkapkan langsung kepada saya, baik dalam
bentuk kata-kata, bahasa tubuh, ekspresi wajah, apalagi hadiah. Hingga akhirnya
saya pun TERLAMBAT menyadari bahwa saya ini sebetulnya punya kemampuan.
Kedua, adalah karena gaya pengasuhan populer yang saya
dapatkan sejak kecil seperti dicap, dibanding-bandingkan, diremehkan, diabaikan,
dll yang membuat saya merasa tidak berharga, tidak diterima, tidak memiliki
kelebihan apa-apa, dan tidak memiliki konsep diri yang positiv.
Nah ayah bunda yang baik,
Belajar dari pengalaman saya itu, tentu tak ada satupun
dari kita yang ingin anaknya bernasib sama seperti saya, terlambat menyadari
bahwa dirinya berharga dengan potensi-potensinya yang luar biasa. Sehingga ayah
bunda, sebelum terlambat, yuk lihat kembali bagaimana kita mengasuh anak-anak
kita selama ini.
Mari mulai membiasakan diri untuk memberikan apresiasi positiv
pada apa-apa yang bisa anak kita lakukan, pada niat baiknya, pada usaha
kerasnya, pada kesungguhannya, pada ketekunannya, pada prosesnya meski mungkin
hasilnya masih jauh dari sempurna di mata kita.
Jangan hanya dibatin! Tapi ucapkan apresiasi itu!
Dahulukan dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur, baru berikan pujian
padanya. Pujian yang proporsional (tidak berlebihan) dan tulus dari hati
terdalam.
Lihat juga bagaimana kita bicara kepada anak kita
selama ini. Apakah bicara kita terlalu banyak memerintah tanpa jeda, tanpa mendengarkan
perasaannya, tanpa membaca bahasa tubuhnya, serba tergesa-gesa, lebih sering
menyalahkan dari pada melihat sisi positiv yang dilakukannya, kerap meremehkan
kemampuannya, mencap dengan cap-cap negativ, membandingkannya dengan yang lain
padahal jelas setiap anak adalah unik, dsb... Bila iya, segera mohon ampun pada
Allah dan minta maaf pada anak lalu perbaiki, agar anak merasa bahwa dirinya
diterima oleh kedua orang tuanya apa adanya dan dihargai usahanya. Percayalah
ayah bunda, bila mereka merasa diterima, dihargai, dan diapresiasi maka mereka
akan berusaha untuk melakukan lebih dan lebih baik lagi bahkan tanpa diminta.
Last but not least, PEKA-lah. Perhatikan hal apa yang paling menonjol dari
anak kita, meski mungkin tampak sederhana bahkan remeh. Bisa jadi di situlah
potensi unggulnya. Asah terus agar ia menjadi spesialis atau ahlinya, dan
arahkan pada kebaikan. Saya masih ingat betul, salah satu presenter favorit
saya pernah bercerita bahwa dirinya sejak kecil sangat suka sekali berbicara
dan melucu. Bahkan saking seringnya bicara dan melucu di kelas, orang tuanya
sampai dipanggil ke sekolah sebab ia sering membuat kelas menjadi ramai.
Ternyata disitulah talentanya, hingga ia sukses menjadi penyiar radio dan
presenter televisi yang seakan tak pernah kehabisan kata untuk bicara dan
bercanda.
Jadi ayah bunda....anak itu ibarat kertas putih. Kita
lah yang punya kewajiban utama untuk melukisnya dengan lukisan yang baik, agar
ia tumbuh menjadi pribadi yang siap bermanfaat bagi alam semesta dengan
potensinya.
-Self reminder-
![]() |
Meski belum berhasil jadi juara, saya selalu bilang pada iin "MasyaAlloh...gambarmu bagus sekali, sayang" |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar