Kata guru saya, oleh-olehnya penulis
adalah tulisan. Maka sebagai seorang penulis, inilah oleh-oleh pulang kampung
saya saat liburan sekolah kemarin. Khusus untuk ayah bunda semua. Semoga ada
manfaatnya.
Untuk kedua kalinya, saya pulang ke
kampung halaman saya di Malang hanya berdua saja dengan iin, anak semata wayang
kami. Sayang ayahnya tak bisa ikut sebab tak bisa ambil cuti. Tapi tak apa.
Perjalanan ini tetap saya nikmati.
Sejak awal saya bertekad bahwa dari perjalanan ini harus ada yang bisa saya berikan pada iin. Dan
saya putuskan untuk memberikan kenangan padanya, kenangan saat saya masih
kecil, tak jauh dari usianya sekarang.
Pagi itu langit Malang sedang cerah.
Saya ajak iin berkeliling rumah orang tua saya, karena di sanalah saya lahir
dan tumbuh. Saya ajak ia bersepeda ke TK dan SD tempat saya bersekolah dulu.
Tentu saja TK dan SD nya tutup karena sedang libur. Jadi kami hanya berdiri dan
melihat-lihat dari gerbang.
“Dulu
bunda TK di sini nak. Betul-betul masih sama seperti dulu, mainan-mainannya
juga masih sama. Itu ruang gurunya. Itu kelasnya, cuma ada dua, satu untuk TK A
dan satu lagi untuk TK B. Nah, kalau yang di sana itu tempat cuci tangan dan
kamar mandi. Sebelum bunda dan teman-teman makan bekal, selalu cuci tangan
sama-sama di situ.” ucap saya sambil menunjuk-nunjuk.
“Wowww...bagus
sekali TK nya bunda!” ucapnya, terpesona oleh mainan-mainan,
lukisan-lukisan di dinding, dan hiasan-hiasan gantungnya, padahal TK nya
sederhana dan kecil.
Setelah itu kami bergeser ke
bangunan tepat di samping TK. Ada yang berubah, namun tak banyak.
“Nah,
kalau yang ini SD tempat bunda sekolah dulu. Dulu di sini ada tiga SD, sekarang
dijadikan satu. Tapi kelas bunda nggak kelihatan dari sini. Itu lapangannya,
tempat bunda upacara, olah raga, senam pagi, dan main pas jam istirahat. Main
macem-macem, bentengan, gobaksodor, lari-lari, engklek, dan banyaaaak lagi.”
Saya jadi sangat bersyukur. Betapa
riang gembiranya saya saat sekolah di situ dulu. Apalagi belum ada internet dan
gawai seperti sekarang. Benar-benar menyenangkan.
Belum puas sebetulnya mengenang masa
TK dan SD saya, namun sinar matahari semakin silau. Saya ajak iin kembali ke rumah
kakek neneknya sambil menyusuri jalan-jalan di dekat sekolah. Jalan-jalan yang
saya lalui setiap berangkat dan pulang sekolah dulu. Saya tunjukkan padanya
rumah beberapa teman TK dan SD saya. Sebagian tampak tak berpenghuni dan
sebagian lagi sepertinya dihuni orang lain. Saya berhenti di depan sebuah
rumah.
“Ini
rumah teman bunda waktu kelas enam SD. Namanya Devi. Murid pindahan, kalau
nggak salah dari luar jawa. Teman bunda ini lah yang ngajarin bunda naik sepeda
sampai benar-benar bisa. Tapi bunda nggak tau sekarang di mana tante Devi. Rumahnya
kosong.”
“Kok
bunda baru belajar sepeda waktu SD?” tanya iin.
“Hahahaha...iya...telat
ya...habis nggak ada yang ngajarin bunda dan bunda juga nggak punya sepeda.
Jadi belajarnya pakai sepedanya tante Devi itu. Nah kalau yang di sebelahnya
itu rumah teman SD bunda juga. Namanya Alida. Bunda pernah main di situ sampai
maghrib, terus dicariin sama nenek. Pulangnya dimarahin deh...”
Sepeda kami melaju lagi. Sebelum
masuk ke gang rumah orang tua saya, sepeda saya belokkan ke gang sebelahnya.
Dari ujung gang tampak berdiri kokoh sebuah masjid dengan tamannya yang cantik.
“Nah,
ini masjid tempat bunda TPA dulu nak. Di sini dulu bunda diajari baca iqro
sampai lancar baca Al Quran. Diajari nulis huruf hijaiyah juga, pakai buku
kotak yang kotaknya besar-besar. Ustadz dan ustadzahnya super sabar. Mereka
juga jago berkisah. Dulu setiap hari selasa bunda dan teman-teman selalu
diceritain kisah nabi-nabi dan para sahabat. Dan setiap pulang dari TPA, bunda
dan teman-teman selalu dikasih jajaaaaan”
“Wuiiii...enak
banget...”
“Enak
dong wehehehe....Dah yuk kita pulang ke rumah kakek nenek. Bunda sudah
laperrrrrr....”
Sungguh sebuah jalan-jalan pagi yang
mendamaikan hati. Menapaki kembali masa lalu, meresapinya, mensyukurinya, dan
membaginya pada anak saya. Apakah kelak iin akan mengingat pengalaman ini?
Entahlah...semoga. Yang jelas saya sudah berbagi dan membangun kebiasaan yang kini
mulai hilang antara orang tua dengan anak-anaknya, yakni BERKISAH.
Barangkali sehari-hari kita sebagai
orang tua sudah disibukkan dengan rutinitas dan tugas-tugas. Pergi pagi pulang
malam hari. Pagi serba tergesa-gesa, malam tubuh dan pikiran sudah lelah lalu
menuntut haknya. Pekerjaan rumah pun serasa tak ada habis-habisnya. Sehingga
percakapan yang ada antara kita dan anak kita didominasi perintah singkat satu
arah.
“Buruan
bangun! Nanti terlambat”
“Cepat
habisin sarapannya!”
“Makan
siang, sholat, terus tidur. Nanti sore les”
“Jangan
nonton TV terus. Belajar sana. Kerjakan PR!”
“Sana main! Ayah/bunda capek! Jangan diganggu!”
Atau kalimat-kalimat panjang tak
bertepi “Tuh kaaaan...ayah/bunda bilang
apa...makanya lain kali kalau dikasih tau itu didengerin bla bla bla bla....”
Kalimat-kalimat yang seiring
berjalannya waktu justru menjauhkan kita dengan anak-anak. Mungkin secara fisik
kita dekat, karena serumah. Namun hati kita dan hatinya berangsur menjauh. Hingga
suatu hari kita tak lagi mengenal mereka. Mereka lebih suka berbicara dengan
teman-temannya.
Na’udzubillahimindzalik...
Jadi ayah bunda yang baik, mari kita
mulai perbaiki kalimat-kalimat kita pada anak-anak. Mari kita mulai memberikan
kalimat-kalimat yang mendamaikan qolbu mereka, yang menyejukkan jiwa mereka, dan yang
membekas positiv dalam hidup mereka. Seperti membagi kisah-kisah hidup kita pada
mereka. Bismillaah....selamat berkisah ayah bunda dan selamat membagi kenangan-kenangan anda.
pingin cerita gitu juga sama anak2 tiri saya tapi kalau dikacangin ogah juga hahaha jadi pas tertentu aja ceritanya
BalasHapusMasyaAllooh...
HapusSEMANGAT mama indri!
Semoga Alloh selalu tautkan hati kita dan hati anak2 kita,
Dan semoga Alloh memudahkan kita untuk menciptakan suasana yang hangat untuk cerita2 ke anak2... Aamiin 😊😊😊