Senin, 23 Oktober 2017

AYAH DAN BUNDA JUGA PERLU “MACET” SEBENTAR

Saya teringat sebuah tulisan yang pernah dibuat oleh seorang teman beberapa tahun lalu. Saat itu ia akan kembali ke kota asalnya setelah beberapa hari liburan di Jogja. Dalam perjalanan menuju stasiun tugu sore itu, ternyata ia terjebak macet yang cukup parah. Maklumlah, jogja pun macet ketika jam berangkat dan pulang kantor.

Padahal tadi berangkat dari hotel sudah buru-buru sekali, tapi kena macet juga, yaah apa boleh buat. Menggerutu atau mengutuki kemacetan sebab sudah mendekati waktu keberangkatan kereta pun tak ada gunanya. Akhirnya nikmati saja kemacetan itu sambil terus berdoa agar tak ketinggalan kereta. Begitu tulis teman saya.

Singkat cerita, rupanya kemacetan itu justru memberinya waktu untuk memperhatikan keadaan sekitar, sebab sejak dari hotel tadi, yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya sampai di stasiun kereta as soon as possible. Ia pun jadi bisa memperhatikan penjual krupuk dan hiasan mobil di lampu merah yang sedang berjuang mencari rezeki di tengah kepulan asap kendaraan dan teriknya matahari. Ia juga jadi bisa memperhatikan anak-anak kecil yang mengamen ala kadarnya dari satu mobil ke mobil lain untuk bisa makan sesuap nasi. Pemandangan-pemandangan itu membuat teman saya tersadar dan jadi banyak bersyukur atas rezeki yang Allah beri padanya selama ini. Padahal sebelumnya seringkali ia merasa kurang itu dan ini. Ternyata dalam hidup ini kita memang perlu “macet”. Begitu kalimat terakhir dalam tulisan teman saya.

Saya setuju dengannya. Kita memang perlu “macet” alias berhenti sebentar dari segala aktivitas hidup yang terus menerus kita lakukan dari waktu ke waktu.

Sebab macet membuat kita jadi punya waktu untuk melihat lebih banyak hal. Macet membuat kita bisa mengingat kembali perjalanan waktu serta apa saja yang sudah dan belum kita capai sampai detik ini. Macet membuat kita jadi bisa menangkap keindahan-keindahan yang Allah sisipkan dalam hidup kita, yang mungkin selama ini tak pernah kita sadari, sebab kita terus menerus disibukkan oleh rutinitas dan serasa diburu-buru oleh waktu. Macet juga bisa membuat kita punya waktu sejenak untuk merenungi dan mengevaluasi diri.

Ayah dan bunda pun butuh macet juga sebentar.

Di tengah rutinitas ayah yang senin sampai jumat bahkan sabtu menjemput rezeki, pergi pagi atau malah subuh dan baru sampai di rumah sore hari bahkan larut malam, ketika pulang pun pekerjaan lengkap dengan stresnya masih dibawa ke rumah... Ayah perlu macet sebentar..

Perhatikan seisi rumah, bersyukurlah bahwa Allah memberi tempat untuk berteduh, berlindung, beristirahat, dan membangun rumah tangga meski tak semegah istana. Adakah bagian-bagian rumah yang perlu diperbaiki agar terasa semakin baiti jannati?

Perhatikan kondisi istri, sudah bahagiakah ia? Sudah bertanggung jawabkah ayah selama ini sebagai suami? Ingat kembali bagaimana perjuangan dan deg-degan nya ayah dulu ketika mengucapkan akad di depan orang tuanya dan disaksikan oleh Allah beserta malaikat-malaikatNya..

Perhatikan anak-anak, betapa lucunya mereka dari waktu ke waktu, betapa cerdasnya mereka dengan beragam pertanyaan yang polos namun kritis. Betapa sesungguhnya mereka selalu menanti-nanti ayahnya pulang karena tak sabar ingin segera bermain bersama dan melepas rindu. Perhatikan bagaimana keadaan lahir dan batinnya, apakah mereka sudah mendapatkan ayah yang seutuhnya? Ingat kembali ketika dulu mendampingi istri berjuang melahirkan dan mengumandangkan adzan di telinga kecil mereka...

Begitu pula dengan bunda.

Bunda juga perlu macet sejenak dari rutinitas mengurus pekerjaan rumah tangga yang seolah tak pernah ada habisnya, dari mengurus anak-anak sejak mereka bangun tidur hingga tidur kembali, pun dari pekerjaan di kantor atau bisnis yang sedang ditekuni.

Perhatikan keadaan suami, sudah bahagiakah ia? Sudahkah bunda menjadi istri yang sholihah baginya? Ingat kembali apa yang membuat bunda bersedia menerima pinangan ayah dan siap membangun rumah tangga bersamanya.

Perhatikan anak-anak. Meski setiap hari bahkan setiap saat selalu bersama mereka, barangkali justru karena terlalu sering bersama, bunda jadi tidak begitu menyadari betapa lucu dan menggemaskannya mereka. Pikirkan kembali betapa sesungguhnya mereka begitu cerdas, kreativ dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar untuk belajar, meski itu akhirnya membuat rumah seperti kapal pecah. Kenang kembali kalau dulu saat masih bayi mereka selalu mau dicium-cium dan dipeluk-peluk, sedangkan sekarang mereka mulai enggan untuk dicium dan dipeluk karena merasa bukan anak kecil lagi. Dan masih banyak lagi... Betapa harus bersyukurnya bunda.

Itu semua tak akan bisa dilakukan oleh ayah dan bunda jika ayah dan bunda terus menerus disibukkan dengan rutinitas sehari-hari, selesai satu pekerjaan harus langsung lanjut ke pekerjaan berikutnya, bahkan seringkali beberapa pekerjaan harus diselesaikan secara bersamaan karena selalu diburu-buru oleh waktu. Sehingga yang ada hanya lelah, stres, jenuh dan mengeluh kurang syukur. Sampai tak terasa waktu begitu cepat berlalu, anak-anak pun sudah tumbuh besar, sibuk meraih mimpi-mimpi dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri.

Jadi ayah bunda, luangkanlah waktu untuk macet sebentar, evaluasi diri dan sekitar, maka ayah bunda akan temukan, betapa banyak nikmat yang Allah anugerahkan.


Semoga bermanfaat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar