Saya teringat
sebuah tulisan yang pernah dibuat oleh seorang teman beberapa tahun lalu. Saat
itu ia akan kembali ke kota asalnya setelah beberapa hari liburan di Jogja.
Dalam perjalanan menuju stasiun tugu sore itu, ternyata ia terjebak macet yang
cukup parah. Maklumlah, jogja pun macet ketika jam berangkat dan pulang kantor.
Padahal tadi
berangkat dari hotel sudah buru-buru sekali, tapi kena macet juga, yaah apa
boleh buat. Menggerutu atau mengutuki kemacetan sebab sudah mendekati waktu
keberangkatan kereta pun tak ada gunanya. Akhirnya nikmati saja kemacetan itu
sambil terus berdoa agar tak ketinggalan kereta. Begitu tulis teman saya.
Singkat
cerita, rupanya kemacetan itu justru memberinya waktu untuk memperhatikan keadaan
sekitar, sebab sejak dari hotel tadi, yang ada di pikirannya hanya bagaimana
caranya sampai di stasiun kereta as soon
as possible. Ia pun jadi bisa memperhatikan penjual krupuk dan hiasan mobil
di lampu merah yang sedang berjuang mencari rezeki di tengah kepulan asap
kendaraan dan teriknya matahari. Ia juga jadi bisa memperhatikan anak-anak
kecil yang mengamen ala kadarnya dari satu mobil ke mobil lain untuk bisa makan
sesuap nasi. Pemandangan-pemandangan itu membuat teman saya tersadar dan jadi banyak
bersyukur atas rezeki yang Allah beri padanya selama ini. Padahal sebelumnya seringkali
ia merasa kurang itu dan ini. Ternyata dalam hidup ini kita memang perlu
“macet”. Begitu kalimat terakhir dalam tulisan teman saya.
Saya setuju
dengannya. Kita memang perlu “macet” alias berhenti sebentar dari segala
aktivitas hidup yang terus menerus kita lakukan dari waktu ke waktu.
Sebab macet
membuat kita jadi punya waktu untuk melihat lebih banyak hal. Macet membuat
kita bisa mengingat kembali perjalanan waktu serta apa saja yang sudah dan
belum kita capai sampai detik ini. Macet membuat kita jadi bisa menangkap
keindahan-keindahan yang Allah sisipkan dalam hidup kita, yang mungkin selama
ini tak pernah kita sadari, sebab kita terus menerus disibukkan oleh rutinitas dan
serasa diburu-buru oleh waktu. Macet juga bisa membuat kita punya waktu
sejenak untuk merenungi dan mengevaluasi diri.
Ayah dan
bunda pun butuh macet juga sebentar.
Di tengah
rutinitas ayah yang senin sampai jumat bahkan sabtu menjemput rezeki, pergi
pagi atau malah subuh dan baru sampai di rumah sore hari bahkan larut malam,
ketika pulang pun pekerjaan lengkap dengan stresnya masih dibawa ke rumah... Ayah
perlu macet sebentar..
Perhatikan
seisi rumah, bersyukurlah bahwa Allah memberi tempat untuk berteduh,
berlindung, beristirahat, dan membangun rumah tangga meski tak semegah istana.
Adakah bagian-bagian rumah yang perlu diperbaiki agar terasa semakin baiti
jannati?
Perhatikan
kondisi istri, sudah bahagiakah ia? Sudah bertanggung jawabkah ayah selama ini sebagai
suami? Ingat kembali bagaimana perjuangan dan deg-degan nya ayah dulu ketika mengucapkan akad di depan orang
tuanya dan disaksikan oleh Allah beserta malaikat-malaikatNya..
Perhatikan
anak-anak, betapa lucunya mereka dari waktu ke waktu, betapa cerdasnya mereka
dengan beragam pertanyaan yang polos namun kritis. Betapa sesungguhnya mereka
selalu menanti-nanti ayahnya pulang karena tak sabar ingin segera bermain bersama
dan melepas rindu. Perhatikan bagaimana keadaan lahir dan batinnya, apakah
mereka sudah mendapatkan ayah yang seutuhnya? Ingat kembali ketika dulu
mendampingi istri berjuang melahirkan dan mengumandangkan adzan di telinga
kecil mereka...
Begitu pula
dengan bunda.
Bunda juga
perlu macet sejenak dari rutinitas mengurus pekerjaan rumah tangga yang seolah
tak pernah ada habisnya, dari mengurus anak-anak sejak mereka bangun tidur
hingga tidur kembali, pun dari pekerjaan di kantor atau bisnis yang sedang
ditekuni.
Perhatikan
keadaan suami, sudah bahagiakah ia? Sudahkah bunda menjadi istri yang sholihah
baginya? Ingat kembali apa yang membuat bunda bersedia menerima pinangan ayah
dan siap membangun rumah tangga bersamanya.
Perhatikan
anak-anak. Meski setiap hari bahkan setiap saat selalu bersama mereka, barangkali
justru karena terlalu sering bersama, bunda jadi tidak begitu menyadari betapa
lucu dan menggemaskannya mereka. Pikirkan kembali betapa sesungguhnya mereka
begitu cerdas, kreativ dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar untuk
belajar, meski itu akhirnya membuat rumah seperti kapal pecah. Kenang kembali
kalau dulu saat masih bayi mereka selalu mau dicium-cium dan dipeluk-peluk,
sedangkan sekarang mereka mulai enggan untuk dicium dan dipeluk karena merasa
bukan anak kecil lagi. Dan masih banyak lagi... Betapa harus bersyukurnya bunda.
Itu semua
tak akan bisa dilakukan oleh ayah dan bunda jika ayah dan bunda terus menerus
disibukkan dengan rutinitas sehari-hari, selesai satu pekerjaan harus langsung
lanjut ke pekerjaan berikutnya, bahkan seringkali beberapa pekerjaan harus
diselesaikan secara bersamaan karena selalu diburu-buru oleh waktu. Sehingga
yang ada hanya lelah, stres, jenuh dan mengeluh kurang syukur. Sampai tak
terasa waktu begitu cepat berlalu, anak-anak pun sudah tumbuh besar, sibuk
meraih mimpi-mimpi dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri.
Jadi ayah
bunda, luangkanlah waktu untuk macet sebentar, evaluasi diri dan sekitar, maka
ayah bunda akan temukan, betapa banyak nikmat yang Allah anugerahkan.
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar