Suatu kali
saat sedang bermain di halaman kantor kecamatan, iin terjatuh dari ayunan.
Spontan saya berteriak pada ayahnya yang berada tidak jauh dari iin.. “Yah, tolongin iin!” Tapi bukannya segera menghampiri dan menolong iin, ayahnya hanya
berkata “Sakit nggak, in? Bangun yuk..”
Saya
melongo...”Lah, kok cuma tanya??!!!!”
Lalu saya
segera berlari menghampiri iin dan membantunya berdiri, sambil mengusap-ngusap bagian
yang sekiranya sakit. Alhamdulillah iin baik-baik saja.
Ketika sudah
di rumah barulah saya bertanya dengan nada protes.
“Kok ayah
tadi diem aja sih waktu iin jatuh?! Nggak segera nolongin!”
“Lho, siapa
yang diem aja???”
“Ayah!”
“Aku nggak
diem aja... Kalau iin jatuh itu, lihat dulu, kira-kira sakitnya parah nggak,
apa perlu ditolong atau dia bisa bangun sendiri. Jangan buru-buru ditolong...” katanya
dengan santai.
Jujur saja,
saat itu saya tak bisa menerima perkataan itu. Sebab kalau iin jatuh, spontan
secara naluri saya langsung bergerak menolongnya. Dan bagi saya itu adalah
naluri dasar yang mestinya dimiliki oleh orang tua, khususnya ibu, dan tentu
juga ayah.
Beberapa
waktu setelah itu, ketika sedang diuji oleh Allah dan merasa “jatuh” serta
sakit, barulah saya sadar, bahwa dalam hidup ini setiap orang pasti pernah jatuh.
Bukan jatuh
cinta yang berbunga-bunga seperti ABG yang sedang kasmaran, melainkan jatuh
karena sedang diuji kesabaran dan keimanannya. Jatuh yang membuat hati sakit,
sedih, dan patah semangat. Bentuknya bisa bermacam-macam.
Dan ketika
sedang jatuh seperti itu, maka biasanya nasihat terbaik yang kita dapat ialah
bangkit dan lanjutkan kembali hidup ini, atau yang istilah sekarangnya adalah “Move
On”.
Barulah saya
bisa menerima perkataan ayahnya iin.
Ternyata
anak memang perlu jatuh, agar ia belajar bagaimana caranya bangun, bagaimana
caranya berdiri dan bagaimana caranya untuk bangkit kembali. Mungkin bentuk
jatuhnya masih bentuk jatuh yang harfiah, yakni benar-benar jatuh di lantai
atau di tanah atau di jalan. Tapi ini bisa jadi modal baginya untuk menghadapi
bentuk jatuh lainnya di kemudian hari.
Jadi, bila
suatu saat anak kita jatuh, dekati ia dan berikan kata-kata penenang seperti
“Nggak apa-apa, sayang...” lalu beri kesempatan untuk berusaha bangun sendiri
“Yuk bangun...” atau “Yuk berdiri lagi...”. Bila ia tak mampu bangun sendiri,
barulah ulurkan tangan untuk membantunya. Namun bila jatuhnya benar-benar sakit
dan membutuhkan pertolongan secepatnya, maka segeralah berikan pertolongan.
Menariknya,
tak jarang para orang tua melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu sebab
nanti bisa jatuh. Misalnya “Jangan lari! Nanti jatuh”, “Jangan lompat-lompat!
Nanti kamu jatuh!”, “Nggak usah naik tangga! Nanti jatuh, sakit lho!” dll.
Padahal dengan lari, lompat, naik tangga, dan aktivitas-aktivitas lainnya
sebenarnya anak sedang bereksplorasi dan belajar mengenal sekitarnya.
Lha kalau
nanti jatuh bagaimana? Ya anak pun akan belajar cara untuk bangkit, berdiri,
berlari lebih kencang, dan melompat lebih tinggi. Yang sesungguhnya itu semua
akan mereka butuhkan dalam menjalani kehidupannya kelak.
Tapi kalau
jatuh kan sakit? Betul, anak pun perlu merasakan sakit. Mengapa? Supaya ia
belajar bagaimana cara untuk sembuh, dan agar ia bisa berempati pada orang lain
yang sakit.
Setelah
jatuh, merasakan sakit, biasanya anak akan menangis. Bagi saya, menangis adalah
hal yang wajar dan sah-sah saja dilakukan, apalagi oleh anak-anak. Karena Allah
memang menganugerahi kita air mata dengan sejuta manfaatnya, termasuk untuk
menangis. Menangis sendiri mampu membuat
perasaan jadi lega dan bisa melembutkan hati. Dan bagi saya, SIAPAPUN BOLEH
MENANGIS, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Jadi jangan pernah
melarang anak laki-laki untuk menangis, dengan mengatakan “Anak laki-laki itu harus kuat! Nggak boleh nangis!” Padahal Rosulullah
yang merupakan laki-laki super kuat bin tangguh lahir batin saja menangis.
Asal...
Nah ada
syaratnya...
Anak-anak boleh
menangis karena alasan yang tepat. Seperti karena jatuh dan merasa sakit, atau
karena sedang sedih, atau karena takut pada sesuatu, atau karena terharu. Persilahkan
mereka menangis agar mereka belajar mengenali, mengekspresikan dan mengelola
emosinya. Setelah itu tenangkan ia.
Bukan
menangis karena hal-hal yang sejatinya tak perlu untuk menangis. Misalnya
menangis karena minta sesuatu. Ajarkan anak untuk bisa dan biasa menyampaikan
keinginan dengan berbicara baik-baik, bukan dengan menangis.
Jadi
sesungguhnya, dari jatuh, sakit, dan menangis anak mendapat kesempatan untuk
belajar banyak hal, yang akan menjadi bekal berharga baginya di kemudian hari.
Ini juga
sebagai pengingat bagi saya pribadi.
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar