Ayah bunda yang baik, adakah di
antara Anda yang pernah dibohongi???
Barangkali banyak yang akan menjawab
dengan lantang “Adaaaaaa!!!” Apalagi
kalau dibohonginya baru-baru saja, masih segar di ingatan dan rasa sakitnya masih
periiiih di hati.
Suka nggak ayah bunda dibohongi?
Kemungkinan besar Anda akan menjawab
“Ya jelas enggakkk laaaaaaaah...”
Nah kalau sekarang pertanyaannya dibalik
(dan harus dijawab dengan jujur yaa) adakah di antara ayah bunda yang pernah
membohongi?
Mungkin akan banyak juga yang
menjawab “Adaaaa...” tapi dengan
suara liriiiiiih sekaliiiiii bahkan di dalam hati, apalagi kalau korbannya
sedang ada di sebelah Anda hehehe...
Nah, kalau memang tidak suka
dibohongi bahkan pernah merasakan pahit dan perihnya dibohongi, lantas mengapa kita
berbohong atau membohongi orang lain? Apalagi sampai menyebarluaskannya pada
orang banyak. Misalnya saja mengaku kecelakaan menabrak tiang listrik sampai
bengkak sebesar bakpao, atau mengaku dipukuli orang ternyata baru saja menjalani
treatment wajah, atau menyebutkan data-data yang jelas-jelas tidak sesuai fakta
di sebuah forum debat yang ditonton jutaan orang secara live?
Mengapa kita dengan mudahnya bisa berbohong
padahal tidak suka dibohongi?
Hemm....saya jadi teringat beberapa
waktu lalu seorang anak tetangga sedang bermain dengan anak saya di rumah. Lalu
anak itu berkata pada anak saya “Eh kamu
jangan makan permen karet lho!” Anak saya pun bertanya mengapa dan anak itu
menjawab dengan polosnya “Soalnya kata
kakekku permen karet itu bikinnya diinjek-injek..” Saya yang saat itu
sedang minum di dekat mereka hampir saja tersedak. Di lain waktu ia berkata
lagi pada anak saya “Eh kamu kalau sudah
malam jangan keluar rumah lho, kata kakekku nanti perutnya digeli-geli sama
setan...” Apaaaaa??? (tepok jidat)
Pernah juga saya melihat seorang
anak merengek pada ibunya karena minta diajak berenang ke sebuah tempat berenang.
Karena sedang tidak memungkinkan untuk berenang saat itu, si ibu lalu mengambil
HP dan berpura-pura menelepon tempat berenang itu “Halo pak...sudah tutup ya pak kolam renangnya. O ya udah makasi ya
pak.” Lalu ibu itu berkata pada anaknya
“Tuh kan mama sudah telpon kolam renangnya sudah tutup. Kapan-kapan saja kita
ke sana...” Padahal jelas tempat berenangnya masih buka.
Ada pula seorang nenek yang suatu
pagi berusaha menenangkan cucunya yang sedang menangis karena ditinggal ibunya
berangkat kerja “Bunda cuma ke tambal ban
di depan situ kok bentaaaar, soalnya motornya harus diperbaiki...bentar lagi
bunda balik, sudah cup cup cup nggak usah nangis...” Padahal si ibu bukan
pergi ke tambal ban dan baru akan pulang kerja sore harinya.
Atau seorang ayah sedang asyik berselancar
di dunia maya dengan smartphone-nya lalu datanglah anaknya yang merajuk ingin
pinjam untuk nonton youtube “Nggak bisa...nggak
bisa...batrey hp ayah sudah mau habis...” Tapi si anak tetap merengek
bahkan makin kencang. Lalu si ayah berketa lagi “Kuota ayah sudah habis. Nggak bisa dipakai nonton youtube.”
Padahal jelas batrey dan kuotanya masih ada.
Pun masih jelas sekali di ingatan
saya, dulu saat saya masih duduk di bangku TK, guru saya pernah berkata “Kalau sudah besar itu nggak boleh nen
(menyusu ke ibu) lagi ya. Nanti kalo masih nen, lidahmu akan bolong-bolong
kayak habis di makan ulat”. Kenapa perkataan guru saya itu masih saya ingat
terus sampai sekarang, sebab ketika beliau berkata seperti itu, saya langsung
membayangkan lidah yang bolong-bolong seperti daun yang di makan ulat, dan itu
sukses membuat saya geli bin takut. Sekarang saya hanya tertawa sambil
geleng-geleng kepala saja kalau ingat kata-kata guru saya itu.
Nah ayah bunda, tanpa kita sadari,
ternyata sejak kecil seorang anak sudah belajar untuk berbohong. Dari siapa
mereka belajar? Justru dari orang-orang terdekat di sekitarnya yang SEMESTINYA dan
SEHARUSNYA mengajarinya untuk menjadi baik, termasuk mengajarkan tentang
kejujuran.
Saya percaya, tidak ada orang tua,
keluarga, maupun guru manapun yang secara sadar dan sengaja berniat mengajari
anak atau cucu atau muridnya untuk berbohong. Dan ketidaksengajaan serta ke-tidak-ada-niatan
itu biasanya mereka lakukan karena alasan yang baik bahkan mulia. Misalnya
kakek teman main anak saya itu, saya yakin beliau berkata pada cucunya bahwa
permen karet itu proses pembuatannya dengan cara diinjak-injak pakai kaki adalah
agar cucunya tidak kebanyakan makan permen yang bisa membuatnya batuk atau
sakit gigi, dan memang teman main anak saya itu suka sekali makan permen. Pun
dengan guru TK saya itu, saya yakin beliau tentu tahu bahwa menyusu sampai
kapan pun tak akan pernah membuat lidah anak menjadi bolong. Saya yakin beliau
berkata seperti itu agar saya dan teman-teman saya yang saat itu sudah berusia
5 tahun tidak lagi menyusu pada ibu kami dan bisa lebih mandiri. Sayangnya
maksud-maksud dan tujuan-tujuan yang baik nan mulia itu tidak diikuti oleh cara
yang baik serta bijak pula.
Mengapa tidak mengatakan yang
sebenarnya saja pada anak?
“Cucuku
sayang, jangan makan permen lagi ya, nanti kalau kebanyakan bisa sakit
gigimu...”
“Maaf
ya nak, ibu nggak bisa mengantarmu berenang. InsyaaAlloh kita berenang lain
waktu ya...”
“Cup
cup cup...jangan menangis cucuku...bundamu berangkat kerja dulu. Nanti sore
bunda pulang. Yuk kita main dulu sambil menunggu bunda pulang...”
“Bentar
ya anakku sayang, ayah sedang pakai HP nya. Nanti kalau ayah sudah selesai,
gantian kamu boleh pakai HP ayah untuk nonton Youtube...tapi nontonnya bareng
ayah ya hehehe...”
“Murid-murid...kalian
itu sudah besar dan hebat, sudah bisa makan dan minum sendiri. Jadi sudah tidak
perlu lagi menyusu ke ibu ya. Oke?”
Mudah kan???
Tapi nanti cucu atau anak akan
menangis, merajuk, merengek bahkan sampai gulung-gulung dan koprol di lantai,
dsb....
Ya nggak apa-apa. Itu wajar, sebab itulah
cara mereka (yang masih belum dewasa) merespon atau bereaksi terhadap sesuatu
yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Berikan mereka kesempatan untuk
menyalurkan respon atau reaksi mereka itu, selama respon atau reaksinya tidak
menyakiti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Bukankah dalam
hidup ini sejatinya kita pun pernah bahkan mungkin sering mendapakan sesuatu
yang ternyata tidak sesuai dengan yang kita inginkan atau tidak sesuai dengan
ekspektasi kita? Lalu kita pun merasa kecewa, sedih, patah semangat atau marah.
Tak apa, itu reaksi emosi yang wajar sebagai bentuk respon atas kejadian
seperti itu.
Lagipula suatu hari nanti dalam
perjalanan usianya, anak-anak akan tahu bahwa dulu dia dibohongi. Ingat, anak
adalah peniru paling ulung, sehingga tidak menutup kemungkinan ia akan
berbohong pula. Dan bila pembohongan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di
sekitarnya itu dilakukan berulang-ulang maka bisa jadi anak akan berpersepsi
bahwa berbohong adalah hal yang biasa alias tak masalah untuk dilakukan.
Jadi biarlah sedari dini anak-anak
kita belajar menghadapi kenyataan dan belajar tentang kejujuran agar mereka
tidak tumbuh menjadi manusia yang mudah berdusta.
-Self Reminder-
Semoga bermanfaat
memang iya perilaku anak itu masih ibarat spons menyerap apa saja. ketika ortunya bohong dia pun mengikutinya
BalasHapusBetul sekali mbak Dita..
HapusMaka dari itu kita harus betul2 hati2 dalam berperilaku dan berkata kata 😊