Beberapa waktu yang lalu iseng-iseng
saya menonton sebuah acara talkshow di TV. Talkshow yang presenternya adalah
salah satu presenter favorit saya itu menghadirkan bintang tamu seorang artis
perempuan yang sedang hamil muda anak pertama.
Mengapa artis tersebut diundang?
Rupanya ia baru saja meng-unfollow instagram suaminya dan ternyata suaminya pun
meng-unfollow instagramnya. “Lho lho lho
ada apakah ini??? Sedang berantem kaaah???” kata si presenter yang langsung
ditanggapi dengan heboh oleh penontonnya di studio.
Awalnya si artis nampak enggan bercerita
dan hanya menjawab dengan jawaban-jawaban normatif “Ah nggak ada apa-apa kok...namanya rumah tangga kan biasa itu...”.
Tapi, bukan presenter favorit saya namanya jika tidak bisa mendapatkan jawaban
yang sesungguhnya. Setelah ditanya dengan lebih santai, dari hati ke hati, dari perempuan ke perempuan,
akhirnya artis tersebut bercerita juga. “Mungkin
karena bawaan hamil ya, aku tuh pengen lebih diperhatiin dan lebih disayang.
Jangan cuma perhatiin bayinya, tapi perhatiin ibunya juga donk..” ungkapnya.
“Ooooooooooooo.....” kata saya dan
presenter favorit saya itu berbarengan.
Hemm....masalah komunikasi rupanya.
Padahal mestinya bisa sederhana. Misalnya,
artis tersebut tinggal bilang pada suaminya “Mas
mas, selain memperhatikan anak kita yang masih di perut ini, aku juga jangan
lupa disayang dan diperhatiin yaaaa...”. (Eaaaaa...eaaaaaa.....hehehe)
Tapi, memang begitulah komunikasi,
sekilas tampak sederhana alias tinggal bilang saja, namun sering kali
kenyataannya tidaklah sesederhana kelihatannya. Apalagi dalam konteks rumah tangga.
Komunikasi yang tidak lancar kerap menimbulkan permasalahan, bahkah tak jarang
menjadi penyebab perpisahan antara suami dengan istri. Sehingga kita memang
perlu untuk belajar berkomunikasi, belajar menyampaikan apa yang perlu kita
sampaikan, dengan cara yang tepat dan santun sehingga lawan bicara kita
memahami maksud kita tanpa tersakiti perasaannya.
Namun keterampilan berkomunikasi
yang baik tidak bisa tiba-tiba ada dalam diri seseorang. Ia harus dibangun melalui
proses pembelajaran panjang dari waktu ke waktu. Sehingga alangkah lebih baik
jika proses pembelajaran tersebut dimulai sejak seseorang masih anak-anak.
Dengan kata lain ayah bunda yang baik, mengajari anak kita bisa bicara saja tidaklah cukup.
Mungkin Ayah bunda masih ingat betapa
bahagianya hati saat ananda mulai bisa mengucapkan kata pertamanya dengan jelas
seperti “mama”, “papa”, dsb. Barangkali ayah bunda juga masih ingat bagaimana
usaha keras ayah bunda agar ananda bisa berbicara, misalnya dengan sering-sering
mengajaknya ngobrol meski ia masih bayi, dengan membelikan dan membacakan bermacam-macam
buku cerita, menyanyikan lagu-lagu, dll. Dan bisa jadi ayah bunda juga masih
ingat betapa gelisahnya hati atau bahkan malu ketika anak-anak lain seusia
ananda sudah lancar dan jelas bicaranya sementara ananda sendiri belum.
Betul, anak kita memang harus bisa
bicara, anak kita memang harus bisa mengucap kata dan kalimatnya. Tapi ada hal-hal
lain juga yang perlu kita ajarkan padanya. Apa saja itu?
Ajari
anak kita mampu menyampaikan perasaannya
Ini juga bertujuan untuk mengenalkan
emosi pada anak-anak. Mengapa ini menjadi penting? Sebab anak-anak belum mampu
memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada dirinya, emosi apa yang
sedang ia rasakan, pun belum mampu untuk mengungkapkannya, dan belum tahu pula cara
yang pas untuk menyalurkannya. Alhasil emosi itu biasanya akan keluar dalam
bentuk seperti menangis hingga meraung-raung, berteriak-teriak, atau membanting
barang-barang di sekitarnya, dll. Bila ini dibiarkan, maka anak akan tumbuh
menjadi orang dewasa yang tidak memiliki kecerdasan emosional, bahkan menjadi
orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sehingga, seperti yang pernah
disampaikan psikolog Ibu Elly Risman, di sinilah kita sebagai orang tua harus
belajar untuk
- Membaca bahasa tubuh anak
- Menebak apa yang sedang
dirasakannya dengan cara BERTANYA padanya sehingga ia pun belajar BERBICARA
tentang perasaannya pada kita
- Mendengarkan jawaban atau
cerita darinya dengan saksama. Sehingga kita dapat membuatkan SALURAN
untuk mengalirkan emosinya.
Misalnya saja suatu siang anak ayah
bunda pulang dari sekolah dengan lesu. Sepatu tidak langsung ditaruh di rak
seperti biasanya namun dibiarkan saja di depan pintu, masuk tanpa mengucap
salam dan tidak membalas salam anda, lalu berjalan dengan langkah gontai menuju
kamar, dan langsung merebahkan diri di kasur dengan baju seragamnya yang kotor,
padahal sepreinya baru saja anda ganti dengan yang baru dan bersih.
Bagaimana reaksi anda?
Jika anda bereaksi dengan berkata panjang
kali lebar kali tinggi seperti “Kamu ini
gimana sih? Sepatu dibiarkan di gitu aja di depan, pintu nggak ditutup, masuk
rumah nggak salam, salam ayah/bunda juga nggak dijawab...Eeee nggak ganti baju
dulu langsung rebahan di kasur...padahal udah capek-capek ayah/bunda ganti
seprei kasurmu. Lain kali itu blaaa blaaa blaaa....”
Maka ada dua kemungkinan reaksi dari
anak anda. Pertama ia akan diam saja sambil berharap ayah/bundanya dipindah
dulu ke planet lain agar tidak berisik. Atau kemungkinan kedua ia akan
membentak untuk memutus ceramah anda. Namun keduanya sama. Sama-sama menyumbat
saluran emosi dalam diri anak. Akibatnya, emosi yang tersumbat ini akan
menumpuk dari waktu ke waktu dan bisa meledak sewaktu-waktu. Dan ketika nanti
ananda sudah dewasa dan berumah tangga, ia pun akan kesulitan untuk
mengidentifikasi emosi apa yang sedang terjadi pada dirinya serta sulit juga
untuk menyampaikannya pada orang lain, sehingga bisa jadi ia akan marah-marah
tanpa alasan yang jelas, atau malah diam dan memendam emosi sambil menciptakan
bom waktu.
Jadi, kembali ke contoh tadi,
bagaimana sebaiknya ayah dan bunda bereaksi?
Cobalah membaca bahasa tubuhnya dan
tebak apa yang terjadi dalam dirinya. Bila ada hal yang tidak biasa yang
dilakukan ananda, pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Tarik nafas panjang
dan mulailah dengan bertanya tenang.
“Lho kok tumben pulang sekolah langsung
rebahan di kasur? Capek ya nak?
Kalau dia diam saja, bertanyalah
lagi
“Kamu sedang sedih ya?
Mungkin ia akan mulai memberikan
jawaban baik lewat kata-kata maupun bahasa tubuhnya. Bila ia masih diam, coba
tebak lagi perasaannya.
“Marah?”
Bila tebakan kita benar, biasanya ia
akan mulai bercerita.
“Tadi pas masuk kelas setelah
istirahat tas ku nggak ada bun. Kucari kemana-mana nggak ketemu. Padahal bu
guru sudah masuk kelas dan pelajaran sudah mau dimulai..”
“MasyaAlloh...terus gimana?”
“Ternyata disembunyiin temen-temen
di balik lemari kelas, bun...”
“Wah...kamu kesel banget ya sama teman-temanmu itu?”
“Aku panik banget bun tadi, kesel dan sebeeeel banget sama teman-teman, tapi aku juga lega banget
akhirnya tasnya ketemu...”
Dan seterusnya.....
Namun bila bahasa tubuhnya
menunjukkan bahwa ia sedang ingin sendiri, maka percakapan semacam itu bisa
ditunda dulu sampai suasana hatinya sudah lebih baik.
Dengan demikian ayah bunda sekalian,
kita telah membantunya mengenali apa yang sedang terjadi pada dirinya, mengajarinya BERBICARA tentang perasaannya, mengapa perasaan itu muncul, sekaligus membuatkan
saluran emosi untuknya. Semoga dengan begitu ia bisa memiliki modal
berkomunikasi yang baik dengan siapapun juga, termasuk dengan
pasangannya kelak.
Itu baru satu hal. Masih ada
beberapa hal lagi yang bisa kita ajarkan pada anak-anak kita agar ia memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik. InsyaaAlloh akan saya bagikan di tulisan
berikutnya.
Semoga bermanfaat.
![]() |
Hehehe...saya kangen masa-masa ini. Saat anak-anak masih TK mereka begitu antusias bercerita. Sekarang sudah klas 5 dan 4 SD, bercerita dibagi antara ke saya dan ke teman-teman.
BalasHapusEh, tapi masih ada si kecil yang baru 2 tahun. Masih ada kesempatan lagi.
Salam kenal, Mbak.
Hehehe...iya mbak, memang ngangenin...
BalasHapusKemarin ada teman anak saya main ke rumah, anak saya asyik sekali main sama temannya itu dan saya dicuekin hehehe... padahal waktu masih kecil dulu selalu main dan ngapain aja 24 jam sama saya...
Tapi semoga walaupun mereka sudah menemukan teman2 dekatnya utk bercerita, mereka tetap ingat bahwa ada seorang teman yang selalu setia mendengarkan semua cerita2nya dengan sepenuh jiwa dan raga...yaitu ibunya 😊
Salam kenal juga mbak Diah 😊