Senin, 05 Agustus 2019

ANAK BISA BICARA SAJA TIDAKLAH CUKUP


Beberapa waktu yang lalu iseng-iseng saya menonton sebuah acara talkshow di TV. Talkshow yang presenternya adalah salah satu presenter favorit saya itu menghadirkan bintang tamu seorang artis perempuan yang sedang hamil muda anak pertama.

Mengapa artis tersebut diundang? Rupanya ia baru saja meng-unfollow instagram suaminya dan ternyata suaminya pun meng-unfollow instagramnya. “Lho lho lho ada apakah ini??? Sedang berantem kaaah???” kata si presenter yang langsung ditanggapi dengan heboh oleh penontonnya di studio.

Awalnya si artis nampak enggan bercerita dan hanya menjawab dengan jawaban-jawaban normatif “Ah nggak ada apa-apa kok...namanya rumah tangga kan biasa itu...”. Tapi, bukan presenter favorit saya namanya jika tidak bisa mendapatkan jawaban yang sesungguhnya. Setelah ditanya dengan lebih santai,  dari hati ke hati, dari perempuan ke perempuan, akhirnya artis tersebut bercerita juga. “Mungkin karena bawaan hamil ya, aku tuh pengen lebih diperhatiin dan lebih disayang. Jangan cuma perhatiin bayinya, tapi perhatiin ibunya juga donk..” ungkapnya. “Ooooooooooooo.....” kata saya dan presenter favorit saya itu berbarengan.

Hemm....masalah komunikasi rupanya.

Padahal mestinya bisa sederhana. Misalnya, artis tersebut tinggal bilang pada suaminya “Mas mas, selain memperhatikan anak kita yang masih di perut ini, aku juga jangan lupa disayang dan diperhatiin yaaaa...”. (Eaaaaa...eaaaaaa.....hehehe)

Tapi, memang begitulah komunikasi, sekilas tampak sederhana alias tinggal bilang saja, namun sering kali kenyataannya tidaklah sesederhana kelihatannya. Apalagi dalam konteks rumah tangga. Komunikasi yang tidak lancar kerap menimbulkan permasalahan, bahkah tak jarang menjadi penyebab perpisahan antara suami dengan istri. Sehingga kita memang perlu untuk belajar berkomunikasi, belajar menyampaikan apa yang perlu kita sampaikan, dengan cara yang tepat dan santun sehingga lawan bicara kita memahami maksud kita tanpa tersakiti perasaannya.

Namun keterampilan berkomunikasi yang baik tidak bisa tiba-tiba ada dalam diri seseorang. Ia harus dibangun melalui proses pembelajaran panjang dari waktu ke waktu. Sehingga alangkah lebih baik jika proses pembelajaran tersebut dimulai sejak seseorang masih anak-anak. Dengan kata lain ayah bunda yang baik, mengajari anak kita bisa bicara saja tidaklah cukup.

Mungkin Ayah bunda masih ingat betapa bahagianya hati saat ananda mulai bisa mengucapkan kata pertamanya dengan jelas seperti “mama”, “papa”, dsb. Barangkali ayah bunda juga masih ingat bagaimana usaha keras ayah bunda agar ananda bisa berbicara, misalnya dengan sering-sering mengajaknya ngobrol meski ia masih bayi, dengan membelikan dan membacakan bermacam-macam buku cerita, menyanyikan lagu-lagu, dll. Dan bisa jadi ayah bunda juga masih ingat betapa gelisahnya hati atau bahkan malu ketika anak-anak lain seusia ananda sudah lancar dan jelas bicaranya sementara ananda sendiri belum.

Betul, anak kita memang harus bisa bicara, anak kita memang harus bisa mengucap kata dan kalimatnya. Tapi ada hal-hal lain juga yang perlu kita ajarkan padanya. Apa saja itu?

Ajari anak kita mampu menyampaikan perasaannya

Ini juga bertujuan untuk mengenalkan emosi pada anak-anak. Mengapa ini menjadi penting? Sebab anak-anak belum mampu memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada dirinya, emosi apa yang sedang ia rasakan, pun belum mampu untuk mengungkapkannya, dan belum tahu pula cara yang pas untuk menyalurkannya. Alhasil emosi itu biasanya akan keluar dalam bentuk seperti menangis hingga meraung-raung, berteriak-teriak, atau membanting barang-barang di sekitarnya, dll. Bila ini dibiarkan, maka anak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak memiliki kecerdasan emosional, bahkan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan.

Sehingga, seperti yang pernah disampaikan psikolog Ibu Elly Risman, di sinilah kita sebagai orang tua harus belajar untuk
  1. Membaca bahasa tubuh anak
  2. Menebak apa yang sedang dirasakannya dengan cara BERTANYA padanya sehingga ia pun belajar BERBICARA tentang perasaannya pada kita
  3. Mendengarkan jawaban atau cerita darinya dengan saksama. Sehingga kita dapat membuatkan SALURAN untuk mengalirkan emosinya.
Misalnya saja suatu siang anak ayah bunda pulang dari sekolah dengan lesu. Sepatu tidak langsung ditaruh di rak seperti biasanya namun dibiarkan saja di depan pintu, masuk tanpa mengucap salam dan tidak membalas salam anda, lalu berjalan dengan langkah gontai menuju kamar, dan langsung merebahkan diri di kasur dengan baju seragamnya yang kotor, padahal sepreinya baru saja anda ganti dengan yang baru dan bersih.

Bagaimana reaksi anda?

Jika anda bereaksi dengan berkata panjang kali lebar kali tinggi seperti “Kamu ini gimana sih? Sepatu dibiarkan di gitu aja di depan, pintu nggak ditutup, masuk rumah nggak salam, salam ayah/bunda juga nggak dijawab...Eeee nggak ganti baju dulu langsung rebahan di kasur...padahal udah capek-capek ayah/bunda ganti seprei kasurmu. Lain kali itu blaaa blaaa blaaa....

Maka ada dua kemungkinan reaksi dari anak anda. Pertama ia akan diam saja sambil berharap ayah/bundanya dipindah dulu ke planet lain agar tidak berisik. Atau kemungkinan kedua ia akan membentak untuk memutus ceramah anda. Namun keduanya sama. Sama-sama menyumbat saluran emosi dalam diri anak. Akibatnya, emosi yang tersumbat ini akan menumpuk dari waktu ke waktu dan bisa meledak sewaktu-waktu. Dan ketika nanti ananda sudah dewasa dan berumah tangga, ia pun akan kesulitan untuk mengidentifikasi emosi apa yang sedang terjadi pada dirinya serta sulit juga untuk menyampaikannya pada orang lain, sehingga bisa jadi ia akan marah-marah tanpa alasan yang jelas, atau malah diam dan memendam emosi sambil menciptakan bom waktu.

Jadi, kembali ke contoh tadi, bagaimana sebaiknya ayah dan bunda bereaksi?

Cobalah membaca bahasa tubuhnya dan tebak apa yang terjadi dalam dirinya. Bila ada hal yang tidak biasa yang dilakukan ananda, pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Tarik nafas panjang dan mulailah dengan bertanya tenang.

“Lho kok tumben pulang sekolah langsung rebahan di kasur? Capek ya nak?
Kalau dia diam saja, bertanyalah lagi
“Kamu sedang sedih ya?
Mungkin ia akan mulai memberikan jawaban baik lewat kata-kata maupun bahasa tubuhnya. Bila ia masih diam, coba tebak lagi perasaannya.
“Marah?”
Bila tebakan kita benar, biasanya ia akan mulai bercerita.
“Tadi pas masuk kelas setelah istirahat tas ku nggak ada bun. Kucari kemana-mana nggak ketemu. Padahal bu guru sudah masuk kelas dan pelajaran sudah mau dimulai..”
“MasyaAlloh...terus gimana?”
“Ternyata disembunyiin temen-temen di balik lemari kelas, bun...”
“Wah...kamu kesel banget ya sama teman-temanmu itu?”
“Aku panik banget bun tadi, kesel dan sebeeeel banget sama teman-teman, tapi aku juga lega banget akhirnya tasnya ketemu...”
Dan seterusnya.....

Namun bila bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia sedang ingin sendiri, maka percakapan semacam itu bisa ditunda dulu sampai suasana hatinya sudah lebih baik.

Dengan demikian ayah bunda sekalian, kita telah membantunya mengenali apa yang sedang terjadi pada dirinya, mengajarinya BERBICARA tentang perasaannya, mengapa perasaan itu muncul, sekaligus membuatkan saluran emosi untuknya. Semoga dengan begitu ia bisa memiliki modal berkomunikasi yang baik dengan siapapun juga, termasuk dengan pasangannya kelak.

Itu baru satu hal. Masih ada beberapa hal lagi yang bisa kita ajarkan pada anak-anak kita agar ia memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. InsyaaAlloh akan saya bagikan di tulisan berikutnya.

Semoga bermanfaat.




2 komentar:

  1. Hehehe...saya kangen masa-masa ini. Saat anak-anak masih TK mereka begitu antusias bercerita. Sekarang sudah klas 5 dan 4 SD, bercerita dibagi antara ke saya dan ke teman-teman.

    Eh, tapi masih ada si kecil yang baru 2 tahun. Masih ada kesempatan lagi.

    Salam kenal, Mbak.

    BalasHapus
  2. Hehehe...iya mbak, memang ngangenin...

    Kemarin ada teman anak saya main ke rumah, anak saya asyik sekali main sama temannya itu dan saya dicuekin hehehe... padahal waktu masih kecil dulu selalu main dan ngapain aja 24 jam sama saya...

    Tapi semoga walaupun mereka sudah menemukan teman2 dekatnya utk bercerita, mereka tetap ingat bahwa ada seorang teman yang selalu setia mendengarkan semua cerita2nya dengan sepenuh jiwa dan raga...yaitu ibunya 😊

    Salam kenal juga mbak Diah 😊

    BalasHapus