Beberapa waktu lalu saya terlibat
dalam sebuah rapat yang agak lucu. Mengapa “agak” lucu? Sebab, rapat itu
sebenarnya bukan rapat untuk membahas komedi, melainkan membahas keamanan komplek
perumahan setelah salah satu rumahnya kemasukan maling.
Nah, yang membuatnya lucu ialah
proses dan peserta rapatnya. Bagaimana tidak, belum satu peserta selesai
mengutarakan pendapatnya, sudah dipotong oleh peserta lainnya. Si peserta yang
memotong ini belum selesai bicara, sudah dipotong juga oleh peserta yang lain
lagi. Begituuuuuuu terus. Sampai-sampai ada momen di mana dua peserta yang
duduk bersebelahan berbicara bersamaan kepada forum, padahal yang mereka
bicarakan berbeda. Peserta rapat yang lainnya pun melongo. Lah, ini rapat atau
paduan suara sebetulnya???
Alhasil pendapat para peserta tidak
bisa tersampaikan dengan tuntas dan dimengerti secara utuh. Dan malah membawa
kerugian bagi semua peserta, sebab rapat menjadi lama dan muter-muter di tempat.
Hemm...kejadian agak lucu ini
menjadi bahan renungan bagi saya. Mungkin semua orang bisa bicara, namun ternyata
tak semuanya bisa mendengarkan (menyimak) dengan baik. Padahal Tuhan memberi
kita hanya satu mulut, tetapi mata dan telinga masing-masing diberi Nya dua.
Berarti sejatinya, kita diperintahkan untuk mendengar dan melihat
(menyimak/memperhatikan) dua kali lebih banyak dari pada bicara. Bukan
sebaliknya. Agar apa? Agar kita dapat mengambil hikmah, memetik pelajaran, dan
memahami dengan utuh apa-apa yang terjadi di sekitar kita, dan ketika tiba
giliran kita untuk bicara maka kita akan dapat berbicara (menyampaikan
pendapat/berkomentar) dengan tepat.
Lalu mengapa yang kerap terjadi
justru sebaliknya? Semangat 45 ketika diri sendiri bicara, tetapi tak mampu bersabar
mendengar saat orang lain yang bicara...
Ini karena ayah bunda yang baik, kemampuan
mendengarkan dengan utuh alias menyimak ini memang tidak muncul secara
tiba-tiba. Sebagaimana kemampuan bicara yang kita pelajari dan latih sejak
kecil dulu, mendengarkan/menyimak ini sejatinya juga butuh dipelajari dan dilatih
sejak dini.
Caranya?
Ada satu cara yang menarik untuk
melatihnya. Cara ini saya dapatkan dari sebuah cerita pendek berjudul
“Silent-Talk” karangan Aya Shofia dalam buku “Benih-Benih Kebaikan” terbitan
Wonderful Publishing tahun 2019. Singkat cerita, Arkam yang duduk di kelas 3 SD
ditegur oleh gurunya saat jam pelajaran bahasa indonesia. Penyebabnya, ia
diajak ngobrol terus oleh teman sebangkunya bernama Rio. Lepas ditegur, rupanya
Rio masih juga melanjutkan ceritanya pada Arkam tentang game terbaru yang
berhasil ia pecahkan rekornya. Sebenarnya Arkam tak terlalu tertarik dengan
cerita Rio, dan merasa tidak enak dengan gurunya, karena Rio bercerita saat
guru mereka sedang menjelaskan pelajaran.
![]() |
Cerpen "Slent-Talk" karangan Aya Shofia |
Pulang sekolah, Arkam menceritakan kejadian itu pada ibunya. Di situlah lalu ibunya mengajarkan Arkam untuk membuat kesepakatan Silent-Talk dengan Rio. Jadi Arkam dan Rio harus membuat kesepakatan kapan waktunya mereka berdua tidak boleh bicara dan menyimak betul-betul pelajaran dari guru (silent) dan kapan mereka berdua bisa ngobrol dan saling bercerita (talk).
Nah, sejatinya konsep silent-talk
ini bisa kita terapkan juga antara kita dengan anak-anak kita. Saat kita harus
bicara pada anak-anak kita (talk), minta pada mereka untuk mendengarkan dulu
apa yang akan kita sampaikan (silent). Sebaliknya, saat mereka sedang bicara
meski masih terbata-bata (talk), giliran kita mendengarkan sampai mereka
selesai mengutarakannya (silent). Jangan memotongnya, kecuali bila kita
terpaksa, dengan meminta maaf terlebih dulu pada mereka.
Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya dalam
dunia pengasuhan, maka cara terbaik dalam mengajarkan silent-talk ini kepada
anak-anak kita adalah dengan TELADAN. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya pula dalam
dunia pengasuhan, maka mengajarkan silent-talk ini adalah PROSES, butuh tekad
yang bulat, usaha yang kuat, kesabaran yang berlipat, dan doa yang terus
dipanjat. Namun demikian, percayalah ayah bunda sekalian, buah dari proses
panjang ini akan sangat manis terasa dan menjadi bekal berharga untuk anak-anak
kita menjalani kehidupannya.
-Self reminder-
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar