Sabtu, 30 September 2017

KALAU HANYA JADI IBU, UNTUK APA SEKOLAH TINGGI-TINGGI?

Begitu kata mama saya. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang kali beliau katakan kalimat yang sama, baik ketika ketemu langsung maupun lewat telpon. Dan selalu ditutup dengan kalimat “Ayo segera lamar kerja! Ijazahmu jangan hanya disimpan! Mumpung umurmu masih bisa. Sebelum terlambat seperti mama.”

Kata-kata mama seolah menantang batin ini untuk ribut.

Kalau sekarang saya kerja di kantor atau jadi PNS seperti harapan mama, nanti iin bagaimana nasibnya? Nggak mungkin kalau saya bawa-bawa. Sementara ayahnya dari senin sampai jumat kerja dari pagi sampai sore.

Kalau harus dititipkan? Dari lubuk hati saya yang paling dalam, sejujurnya saya tak ingin iin diasuh orang lain, selain saya dan ayahnya. Memang iin sudah mulai sekolah sekarang, tapi hanya 1,5 - 2 jam saja, supaya ia bermain dengan teman-teman seusianya, belajar bersosialisai dengan orang dewasa (guru-gurunya) dalam suasana yang menyenangkan. Selebihnya iin tetap makan, mandi, main, membaca buku, mewarnai, nonton film, kejar-kejaran di dalam rumah, cuci piring, bikin kue, tidur dan gulung-gulung di kasur dengan saya dan ayahnya.

Sampai pada suatu titik bimbang, ketika pulang ke malang, saya berkata pada papa dengan nada pasrah “Aku mau lamar kerja, biar nggak sia-sia papa sama mama nyekolahin aku sampai kuliah....”

Di luar dugaan saya, papa berkata..

“Lho, papa sekolahin kamu tinggi-tinggi bukan untuk lamar kerja, nduk. Kamu memang harus sekolah tinggi SUPAYA KAMU PINTAR. Kalau kamu nggak pintar, bagaimana kamu akan mendidik anakmu?”

Deg!

Saya terdiam...

Kata-kata papa menyadarkan saya pada sebuah tanggung jawab besar yang saya miliki setelah menjadi ibu, yakni MENDIDIK anak.

Sungguh saya merasakan bahwa mendidik anak itu amat sangat tidak mudah. Mengapa?

Pertama, seperti kata Bu Elly Risman, banyak dari kita yang tidak disiapkan oleh orang tua kita untuk menjadi orang tua, termasuk saya. Banyak dari kita yang mendidik dan mengasuh anak hanya berbekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik dan mengasuh kita. Padahal cara itu belum tentu benar, dan belum tentu cocok dengan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Sehingga seringkali kita sebagai orang tua kuwalahan berhadapan dengan anak. Hingga tidak asing terdengar para orang tua mengeluh “Duhh...anak-anak zaman sekarang ini kok....”

Kedua, sebab tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, dengan kurikulum yang runtut rapi, latihan soal dan ulangan, serta penerimaan rapot untuk mengetahui sejauh mana pemahaman ilmu menjadi ayah dan ibu kita serap. Padahal untuk jadi dokter yang ahli ada sekolahnya, untuk jadi pengacara yang handal ada sekolahnya, dll. Namun tak ada sekolah untuk jadi ayah dan ibu yang ahli.

Ketiga, karena anak itu seperti selembar kertas putih. Orang tuanya lah yang punya tanggung jawab utama untuk mewarnainya. Salah mewarnai, meski hanya sedikit saja, akan terbawa hingga ia dewasa nanti.

Keempat, masing-masing orang tua punya inner child. Bila dulu ketika kecil, para orang tua tumbuh dengan bahagia, maka akan terbentuk inner child yang positiv. Ini menjadi bekal yang sangat berguna ketika membesarkan anak-anaknya. Tapi bila dulu saat masih kecil, para orang tua ini pernah mengalami kekerasan baik fisik, verbal, psikologis, maupun seksual dan mendapat pola asuh yang salah, maka akan terbentuk “anak kecil yang takut/marah/kecewa/trauma” dalam dirinya. Dan inner child yang seperti ini akan memunculkan masalah bagi orang tua ketika mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sehingga orang tua seperti ini harus segera menyelesaikan unfinished bussiness dalam dirinya dulu sebelum lebih jauh berhadapan dengan anak-anaknya.

Dengan tantangan-tantangan super berat seperti itu, maka orang tua (termasuk ibu) MEMANG HARUS PINTAR. Dan salah satu jalan untuk menjadi pintar, ialah dengan bersekolah, syukur-syukur bila bisa sampai kuliah.

Dengan bersekolah dan dinamikanya, orang tua bisa mendapat banyak ilmu dan hikmah yang kelak bisa diajarkan pada anak-anaknya. Tapi bagaimana bila ilmu yang dipelajari di kuliah tidak nyambung dengan parenting? Seperti kata seorang teman pada saya “Aku dulu kuliah di jurusan X mbak, masa mau kuajarkan ke anakku?” Tak perlu khawatir, masih bermanfaat kok.

Dengan kuliah, kita jadi terbiasa membaca buku-buku, browsing di internet, ikut seminar, menghadiri kajian, dituntut berpikir kritis, melek informasi, dan belajar memecahkan masalah. Sehingga ketika menjadi ibu, kita pun jadi terbiasa untuk terus menerus belajar, terus menerus mencari ilmu dan informasi. Tak sekedar mengandalkan naluri ataupun cara orang tua kita dulu mendidik kita.

Dengan kuliah kita terbiasa berkomunikasi, berdiskusi dan membangun hubungan dengan banyak teman atau komunitas. Ini sangat bermanfaat karena relasi-relasi itu bisa dipertahankan hingga sekarang, dan malah bisa jadi grup-grup whats app yang bisa saling bertukar banyak informasi termasuk tentang parenting serta bisa saling memotivasi.

Itu semua bisa jadi modal yang sangat bermanfaat dalam mendidik anak.

Sehingga tak akan pernah sia-sia kesempatan untuk bisa bersekolah tinggi, meski sekarang “hanya” menjadi seorang ibu rumah tangga. Tak akan sia-sia ijazah yang didapat dengan perjuangan bertahun-tahun, meski sekarang tak dipakai untuk melamar kerja. Pun tak akan sia-sia ilmu yang didapat hingga berkuliah, meski sekarang lebih banyak di rumah saja. Sebab dengan sekolah, ibu jadi pintar. Sebab IBU MEMANG HARUS PINTAR.

Mari terus belajar!
Mari terus berkarya!

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar