Senin, 11 September 2017

BELAJAR DARI PARA ORANG TUA PENCIPTA GADGET

Bangun tidur lihat HP
Mau mandi lihat HP
Habis mandi lihat HP
Mau sholat lihat HP
Habis sholat lihat HP
Mau makan lihat HP
Habis makan lihat HP
Sambil nyetir motor lihat HP

Begitu kurang lebih bunyi pesan yang saya dapat dari sebuah grup Whats App. Ya, meski hanya sebuah persegi segenggaman tangan, namun HP alias smartphone alias gadget ini memang punya pengaruh yang luar biasa. Ia mampu mengubah rutinitas, sifat, cara berpikir, hingga perilaku manusia.

Kekuatan gadget ini juga mampu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Pernah suatu hari ketika saya dan keluarga sedang makan di restoran, datanglah satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak laki-laki duduk di meja sebelah meja kami. Setelah duduk dan memesan menu, mereka mengambil gadget masing-masing dan langsung sibuk sendiri-sendiri. Ada yang menatap gadget-nya dengan tampang serius, ada pula yang sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian minuman yang mereka pesan datang. Dan mereka pun minum, MASIH sambil menatap gadget masing-masing! Tangan kiri memegang sedotan, sementara tangan kanan memegang gadget dengan jempolnya yang terus bergerak. Hampir tak terjadi obrolan di antara mereka. Padahal mereka adalah satu keluarga yang duduk berdekatan dan berhadapan dalam satu meja! Weleh...weleh...

Rupanya, gadget ini pun tak hanya akrab di tangan orang dewasa, tetapi juga anak-anak, bahkan yang masih balita. Meski masih kecil, tidak sedikit anak-anak sudah lihai mengoperasikan gadget, malah ada juga yang lebih pintar dari orang tuanya. Dari mana mereka bisa tahu caranya? Tentu dari orang terdekat yang notabene adalah orang tuanya. Selain dikenalkan dengan cara diberitahu, tak jarang orang tua masih sibuuuk saja dengan gadgetnya ketika sedang bersama  anak-anak. Ada pula orang tua yang sengaja memberikan gadget pada anaknya agar bisa duduk manis dan tidak rewel. Maka tak heran bila muncul orang-orang dan anak-anak yang kecanduan gadget, tak bisa lepas dari gadget, bahkan hidup serasa berakhir bila gadget-nya hilang atau ketinggalan.

Lantas kalau orang tua awam sudah kecanduan gadget dan mengenalkan gadget pada anak-anaknya, bahkan pada yang masih balita, bagaimana dengan para orang tua pembuat gadget dan teknologinya ini? Dalam sebuah artikel menarik di majalah Intisari edisi November 2015 bertajuk “Kontradiksi Pendidikan Ala Lembah Silikon” disebutkan bahwa...

Alan Eagle yang bekerja di bagian komunikasi eksekutif Google, yang salah satu tugasnya ialah menulis pidato untuk direktur utama Google, bercerita bahwa anak perempuannya yang duduk di kelas 5 SD belum tahu bagaimana cara menggunakan Google. Sedangkan kakaknya yang duduk di kelas 8 baru belajar memakai Google. Sementara di sini anak SD sudah terbiasa googling untuk mengerjakan tugas sekolah. Eagle pun memilih untuk menyekolahkan kedua anaknya di Waldorf, sebuah sekolah alternatif di Amerika Serikat yang minim menggunakan gadget untuk kegiatan belajar mengajar, mengajari muridnya bersosialosasi dengan orang sekitar, dan rutin mengajak murid-muridnya bermain di tanah lapang atau bercocok tanam di lahan sekolah.

Bagaimana dengan Steve Jobs pendiri Apple? Dalam bukunya berjudul “Steve Jobs”, penulis Walter Isaacson menggambarkan keseharian keluarga Jobs di rumah. Setiap malam Steve makan malam bersama dengan keluarganya di sebuah meja makan di dapur mereka. Mereka berdiskusi tentang buku-buku, sejarah, dan lain sebagainya. Tak seorang pun yang mengeluarkan iPad atau gadget lainnya. Anak-anaknya pun tampak tak kecanduan tehadap gadget.

Evan Williams (pendiri Blogger, Twitter, dan Medium) bersama istrinya Sara Williams mengganti iPad dengan ratusan buku bagi kedua anak mereka. “Mereka bisa mengambilnya dan membacanya kapan saja” kata Evan.

Ada pula Pierre Laurent, mantan manajer pemasaran Microsoft dan Intel, menjauhkan anak-anaknya dari gadget hingga mereka cukup besar dan mampu menggunakanya sesuai kebutuhan. Anak-anaknya menyukai cerita, bermain dengan segala sesuatu, bernyanyi, membuat prakarya, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, dan berada di alam.

Wow! Mereka pencipta teknologi yang sehari-hari kita genggam di tangan dan kita lihatiiiin terus, ternyata SADAR bahwa tak seharusnya teknologi mengganti hal-hal berharga dan mendasar dalam hidup kita. Apa saja itu?

Pertama, meskipun gadget semakin hari kian canggih, namun tetap saja mereka mendorong anak-anaknya untuk memiliki kemampuan dasar dalam hidup, seperti bercocok tanam dengan cara tradisional dll. Sehingga ketika gadget atau teknologi tidak ada di tangan mereka, mereka tidak lantas mati atau dunia serasa kiamat. Mereka masih bisa survive!

Kedua, meski saat ini di gadget terdapat bermacam-macam sosial media, yang mampu menghubungkan kita dengan orang-orang dimanapun, nyatanya mereka tetap mengajarkan pada anak-anak untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar mereka secara langsung. Hal ini bisa membuat anak-anak peduli dan empati pada orang lain yang berada di sekitar mereka (bukan peduli pada orang-orang di tempat jauh yang sedang jadi viral di media sosial, namun cuek dengan orang di kanan kiri mereka).

Ketiga, meski dengan gadget canggih dan teknologi digital mereka bisa mendapat ilmu pengetahuan, ternyata mereka tetap mengajarkan dan membiasakan anak-anak mereka untuk membaca BUKU selembar demi selembar. Bagi saya pribadi, membaca buku manual dengan kertas-kertasnya tetap tak bisa tergantikan oleh buku-buku digital atau hasil pencarian google. Selain lebih aman untuk mata, saya sendiri merasa membaca buku manual membuat si pembaca menjadi lebih bijak dan sabar.

Keempat, sebagai orang yang berkecimpung di bidang teknologi dan sehari-hari bergelut dengan gadget, nyatanya para orang tua ini mampu hadir secara utuh baik fisik, pikiran, dan hati ketika sedang bersama anak-anak mereka. Meski mungkin secara kuantitas waktunya tidak banyak, namun mereka membuat waktu kebersamaan ini sangat berkualitas. Tentu hal ini sangat bermanfaat bagi pertumbuhan, perkembangan, dan masa depan anak-anak.

Kelima, para orang tua ini tentulah merupakan orang-orang yang update terhadap perkembangan teknologi, akan tetapi mereka tidak serta merta memberikan gadget pada anak-anak mereka begitu saja. Mereka justru memperkenalkan gadget pada saat mereka sudah yakin bahwa anak-anak mereka telah mampu menggunakannya dengan bijak. Tak seperti di sini, dimana bergadget anak orang maka harus bergadget pula anak kita, terlepas dari apakah mereka sudah mampu atau belum menggunakannya dengan bijak.


Semoga kita dapat belajar dari para orang tua pencipta gadget ini. Dan sebagai mana ilmu-ilmu parenting lainnya, bila kita ingin anak kita bijak menggunakan gadget, maka harus diawali dulu dari orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar