Sebetulnya
bukan pemandangan yang asing bila ada anak-anak yang menangis di sekolah tempat
iin belajar. Maklumlah, mereka semua masih balita. Namun apa yang saya lihat
hari itu cukup mengusik hati dan pikiran saya.
Siang itu ketika
saya sampai di pintu gerbang untuk menjemput iin, terdengar suara tangisan. Rupanya
seorang murid laki-laki yang sedang menangis. Ia duduk di teras kelas. Menangisnya
kencang. Air matanya deras. Kelihatan sudah mulai kelelahan, namun masih saja menangis.
Di sekelilingnya ada beberapa guru, orang tua murid dan murid lain yang belum
dijemput. Kebanyakan dari mereka hanya melihat. Tak satu pun yang menyentuhnya.
Lalu salah
satu guru mendekat untuk mengelap air matanya. Tapi guru yang sedari tadi duduk
di sebelah si anak berkata dengan dialek jawa yang kurang lebih artinya “Sudah jangan dilap, biar banjir saja
sekalian”. Kemudian seorang ibu lain malah berkata “Stooop! Stooop!”. Si anak masih menangis. “Tentu saja masih menangis, dia kan bukan angkot, kok di stop-stop?” pikir
saya. Tak lama kemudian guru yang mengelap air matanya tadi pergi karena ada
urusan di luar sekolah. Lalu guru yang duduk di sebelah si anak berkata “Nah bu guru itu mau pergi lho...kamu dipanggilin
polisi lho...”. Selepas itu saya tidak tahu apa yang terjadi, sebab saya
dan iin sudah harus pulang ke rumah.
Yang
mengusik hati dan pikiran saya dari kejadian itu ialah bagaimana orang dewasa, baik
guru maupun orang dewasa lain di sekitarnya MENGHADAPI anak yang sedang
MENANGIS itu (terutama guru, sebab itu terjadi di lingkungan sekolah).
Sejatinya,
menangis merupakan respon atas kondisi emosi yang sedang dialami. Menangis bisa
dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa, bisa laki-laki
ataupun perempuan. Terutama pada anak-anak, menangis adalah reaksi yang paling
mungkin untuk mereka lakukan. Terhadap kondisi emosi apa? Macam-macam. Anak-anak dan orang dewasa bisa menangis karena sedang sedih, takut, marah atau sebal, terkejut, terharu, bahagia, dll.
Lalu mengapa
menangis pada anak-anak menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh dengan
berkata “ah biar saja...nanti juga berhenti sendiri...dia memang biasa menangis...”
atau malah dijadikan bahan lucu-lucuan? Sebab menangis bisa menjadi PINTU bagi
anak-anak untuk BELAJAR tentang EMOSI APA yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka
perlu tahu MENGAPA mereka menangis dan APA yang harus dilakukan setelah
menangis. Sebab ini akan menjadi BEKAL yang sangat BERHARGA bagi anak-anak
bahkan hingga mereka dewasa, berumah tangga, dan kelak punya anak.
Bukankah
sering kita jumpai orang-orang atau malah mungkin kita sendiri, berada dalam
kondisi batin yang susah untuk diuraikan. Misalnya kita merasa kesal, kesal
karena apa? Kita kesulitan menguraikan penyebabnya. Pokonya kesal atau sebel.
Dan lama-lama menumpuk. Lalu stres, galau, baper, dll. Kemudian lari ke
tindakan-tindakan yang kurang bermanfaat atau bahkan negativ, seperti nonton
sinetron, browsing gosip, muter-muter tanpa tujuan di mall, atau bahkan bagi
yang remaja memilih untuk berteman dengan komunitas yang keliru, terjerat
pergaulan bebas, dan narkoba...(Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal
seperti itu). Salah satu penyebabnya ialah karena tak terlatih sejak dini untuk
mengenali emosi, mengelolanya, dan menyalurkannya dalam bentuk yang positiv
(tidak merugikan diri sendiri dan orang lain).
Jadi bila
ada anak menangis, apa yang mesti dilakukan ?
- Lihat
kondisinya, apakah ia bisa diajak berkomunikasi atau tidak. Bila ia masih
belum stabil atau mungkin sampai gulung-gulung dan meraung-raung, beri ia
kesempatan untuk menangis dulu, dengan memastikan bahwa ia tetap aman (tidak melukai dirinya dan sekitarnya).
- Bila
menangisnya sudah mulai reda, berikan SENTUHAN. Bisa dalam bentuk dipangku,
diusap punggungnya, atau dipeluk. Ini sangat bermanfaat karena memberi
rasa aman dan tenang baginya. Kita saja yang sudah dewasa, ketika menangis
pasti merasa lebih tenang bila diusap punggungnya, dipegang tangannya atau
dipeluk kan?
- Bila
anak yang menangis sudah bisa diajak berkomunikasi, tanyakan padanya
mengapa ia menangis. Bila ia belum mampu menjawab, bantulah dengan
bertanya lagi apakah ia sedih atau marah atau takut dll. Lalu tanyakan
lagi ia sedih atau marah atau takut pada apa atau karena apa.
- Selesaikan
masalahnya. Jangan menggantung atau membiarkan atau mengalihkan
perhatiannya pada hal lain.
Misalnya,
bila si anak menangis karena mainannya disita sementara oleh bu guru, sebab di
sekolah memang ada peraturan tidak boleh bawa mainan dari rumah, maka jelaskan
pada si anak mengapa mainannya disita dan tenangkan ia bahwa mainannya pasti
akan dikembalikan bila jam sekolah telah usai atau ketika ia akan pulang.
Tentu
keempat hal tersebut bisa jadi sangat kondisional, artinya tergantung pada situasi
dan kondisi saat kejadian. Tapi yang jelas, meremehkan anak yang menangis atau
menjadikannya bahan lucu-lucuan bagi orang dewasa di sekitarnya, bukanlah
tindakan yang bijak, dan akan berdampak bagi masa depannya.
Ini menjadi koreksi bagi saya pribadi.
Semoga
bermanfaat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus