Senin, 25 September 2017

JANGAN REMEHKAN ANAK YANG MENANGIS

Sebetulnya bukan pemandangan yang asing bila ada anak-anak yang menangis di sekolah tempat iin belajar. Maklumlah, mereka semua masih balita. Namun apa yang saya lihat hari itu cukup mengusik hati dan pikiran saya.

Siang itu ketika saya sampai di pintu gerbang untuk menjemput iin, terdengar suara tangisan. Rupanya seorang murid laki-laki yang sedang menangis. Ia duduk di teras kelas. Menangisnya kencang. Air matanya deras. Kelihatan sudah mulai kelelahan, namun masih saja menangis. Di sekelilingnya ada beberapa guru, orang tua murid dan murid lain yang belum dijemput. Kebanyakan dari mereka hanya melihat. Tak satu pun yang menyentuhnya.

Lalu salah satu guru mendekat untuk mengelap air matanya. Tapi guru yang sedari tadi duduk di sebelah si anak berkata dengan dialek jawa yang kurang lebih artinya “Sudah jangan dilap, biar banjir saja sekalian”. Kemudian seorang ibu lain malah berkata “Stooop! Stooop!”. Si anak masih menangis. “Tentu saja masih menangis, dia kan bukan angkot, kok di stop-stop?” pikir saya. Tak lama kemudian guru yang mengelap air matanya tadi pergi karena ada urusan di luar sekolah. Lalu guru yang duduk di sebelah si anak berkata “Nah bu guru itu mau pergi lho...kamu dipanggilin polisi lho...”. Selepas itu saya tidak tahu apa yang terjadi, sebab saya dan iin sudah harus pulang ke rumah.

Yang mengusik hati dan pikiran saya dari kejadian itu ialah bagaimana orang dewasa, baik guru maupun orang dewasa lain di sekitarnya MENGHADAPI anak yang sedang MENANGIS itu (terutama guru, sebab itu terjadi di lingkungan sekolah).

Sejatinya, menangis merupakan respon atas kondisi emosi yang sedang dialami. Menangis bisa dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa, bisa laki-laki ataupun perempuan. Terutama pada anak-anak, menangis adalah reaksi yang paling mungkin untuk mereka lakukan. Terhadap kondisi emosi apa? Macam-macam. Anak-anak dan orang dewasa bisa menangis karena sedang sedih, takut, marah atau sebal, terkejut, terharu, bahagia, dll.

Lalu mengapa menangis pada anak-anak menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh dengan berkata “ah biar saja...nanti juga berhenti sendiri...dia memang biasa menangis...” atau malah dijadikan bahan lucu-lucuan? Sebab menangis bisa menjadi PINTU bagi anak-anak untuk BELAJAR tentang EMOSI APA yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka perlu tahu MENGAPA mereka menangis dan APA yang harus dilakukan setelah menangis. Sebab ini akan menjadi BEKAL yang sangat BERHARGA bagi anak-anak bahkan hingga mereka dewasa, berumah tangga, dan kelak punya anak.

Bukankah sering kita jumpai orang-orang atau malah mungkin kita sendiri, berada dalam kondisi batin yang susah untuk diuraikan. Misalnya kita merasa kesal, kesal karena apa? Kita kesulitan menguraikan penyebabnya. Pokonya kesal atau sebel. Dan lama-lama menumpuk. Lalu stres, galau, baper, dll. Kemudian lari ke tindakan-tindakan yang kurang bermanfaat atau bahkan negativ, seperti nonton sinetron, browsing gosip, muter-muter tanpa tujuan di mall, atau bahkan bagi yang remaja memilih untuk berteman dengan komunitas yang keliru, terjerat pergaulan bebas, dan narkoba...(Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal seperti itu). Salah satu penyebabnya ialah karena tak terlatih sejak dini untuk mengenali emosi, mengelolanya, dan menyalurkannya dalam bentuk yang positiv (tidak merugikan diri sendiri dan orang lain).

Jadi bila ada anak menangis, apa yang mesti dilakukan ?
  1. Lihat kondisinya, apakah ia bisa diajak berkomunikasi atau tidak. Bila ia masih belum stabil atau mungkin sampai gulung-gulung dan meraung-raung, beri ia kesempatan untuk menangis dulu, dengan memastikan bahwa ia tetap aman (tidak melukai dirinya dan sekitarnya).
  2. Bila menangisnya sudah mulai reda, berikan SENTUHAN. Bisa dalam bentuk dipangku, diusap punggungnya, atau dipeluk. Ini sangat bermanfaat karena memberi rasa aman dan tenang baginya. Kita saja yang sudah dewasa, ketika menangis pasti merasa lebih tenang bila diusap punggungnya, dipegang tangannya atau dipeluk kan?
  3. Bila anak yang menangis sudah bisa diajak berkomunikasi, tanyakan padanya mengapa ia menangis. Bila ia belum mampu menjawab, bantulah dengan bertanya lagi apakah ia sedih atau marah atau takut dll. Lalu tanyakan lagi ia sedih atau marah atau takut pada apa atau karena apa.
  4. Selesaikan masalahnya. Jangan menggantung atau membiarkan atau mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Misalnya, bila si anak menangis karena mainannya disita sementara oleh bu guru, sebab di sekolah memang ada peraturan tidak boleh bawa mainan dari rumah, maka jelaskan pada si anak mengapa mainannya disita dan tenangkan ia bahwa mainannya pasti akan dikembalikan bila jam sekolah telah usai atau ketika ia akan pulang.

Tentu keempat hal tersebut bisa jadi sangat kondisional, artinya tergantung pada situasi dan kondisi saat kejadian. Tapi yang jelas, meremehkan anak yang menangis atau menjadikannya bahan lucu-lucuan bagi orang dewasa di sekitarnya, bukanlah tindakan yang bijak, dan akan berdampak bagi masa depannya.

Ini menjadi koreksi bagi saya pribadi.

Semoga bermanfaat.

1 komentar: